Home BERITA Tak Pernah Usai Kebijakan Diskriminatif Terhadap Kelompok Rentan

Tak Pernah Usai Kebijakan Diskriminatif Terhadap Kelompok Rentan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta mengadakan soft launching buku bertajuk “Suara-Suara Sunyi: Kisah Kelompok Minoritas di Pusaran Politik Indonesia” pada Sabtu (09/11). Diskusi ini membahas berbagai kelompok rentan di Indonesia bertempat di  Grand Keisha Hotel, Sleman.

Pito Agustin, salah satu penulis buku, menuturkan  para kelompok rentan seperti Penghayat, transpuan, Ahmadiyah, dan pemeluk agama minoritas kerap alami diskriminasi dan stigma negatif masyarakat. Salah satunya kelompok Ahmadiyah di Mataram yang mengalami pengusiran dan terpaksa mengungsi sampai saat ini.

“Mereka mengalami pengusiran sejak 2002 sampai hari ini. Mereka sudah berkeluarga dan seharusnya anak-anak mereka butuh pendidikan yang baik saat ini,” ujar Pito.

Rupanya periodesasi kepemimpinan, lanjut Pito, yang dilaksanakan lima tahun sekali ternyata tidak memberikan banyak perubahan dalam memberikan perlindungan kepada kelompok minoritas. Di beberapa kasus, pemerintah juga ikut andil dalam mendiskriminasi para  kelompok rentan.

“Di Depok ada kebijakan diskriminatif terkait dengan kelompok transpuan. Mereka dipersilakan untuk mendapatkan KTP. Tapi, dalam prosesnya mereka mendapatkan persekusi, stigma yang dilakukan oleh petugas di sana,” tutur Pito.

Hal serupa juga menimpa pada masyarakat Depok Jawa Barat yang memeluk agama Kristen. Pito menceritakan mereka mendapatkan intimidasi dan diskriminasi yang terstruktur oleh pemerintah setempat untuk menyerang masyarakat kristen yang mau mendirikan rumah ibadat.

Sedangkan peraturan terkait pembangunan rumah ibadah masih bergantung pada kebijakan pemerintah daerah, tokoh agama setempat dan rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) kabupaten/kota. 

Peraturan ini tercantum dalam Peraturan Bersama menteri Agama dan Menteri Dalam negeri no.8 dan no. 9 tahun 2006 dengan persyaratan khusus seperti mendaftarkan KTP pengguna rumah ibadah yang disahkan pejabat setempat dan dukungan masyarakat setempat yang lagi-lagi disahkan oleh kepala desa.

“Aturan diskriminatif ini menyerang masyarakat kristen yang mau mendirikan Gereja. Bahkan keterlibatan Kepala Desa dengan mengirim pesan whatsapp ke penduduk untuk jangan menandatangani pembangunan Gereja,” kata Pito.

Senada dengan itu, Samsul Maarif, ketua program studi Agama dan Lintas Budaya UGM mengapresiasi terbitnya buku ini. Kebijakan pemerintah dan kesadaran masyarakat Indonesia rupanya masih minim soal toleransi. Buku ini membuka mata terkait fakta lapangan yang jarang terlihat di media arus utama.

Masalahnya, jelas Samsul,  isu menyoal kelompok rentan itu masih belum terselesaikan sampai hari ini. Bahkan kelompok rentan kerap menjadi korban, terlebih setiap menjelang pemilu. Mereka hanya dimanfaatkan para calon seperti DPR/DPD sebagai bahan kampanye dan guna meraup suara dari kelompok rentan. 

“Saya kira menghadapi pemilu saat berulang itu lama-lama membosankan, maka makin menguatkan saja yang terjadi. Yang rentan akan semakin rentan dan penguasa akan semakin berkuasa,” ujarnya.

Menurut Samsul, akar kerentanan berawal dari cara pandang kolonial. Kolonial selalu memandang bahwa tidak ada kesetaraan yang terjadi pada manusia. Ia memberi contoh bahwa dulu Eropa merupakan sebuah pusat peradaban yang paling tinggi, sementara yang lainnya itu di bawah.

“Ada akal pikir yang terbangun di masa kolonial yang terus sampai hari ini yang diantaranya itu menjadi justifikasi kenapa rentan itu sering dianggap normal,” pungkas Samsul.

Reporter Ridwan Maulana | Redaktur Maria Al-Zahra