Lpmarena.com – Jaringan Gusdurian adakan Simposium Beda Setara yang bertajuk “Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) Sebagai Kritik Sosial untuk Kewargaan yang Berkeadilan” di Convention Hall pada Kamis (14/11). Dalam forum tersebut dipaparkan realita kebebasan beragama yang terjadi di Indonesia.
Beka Ulung Hapsara, komisioner Komnas HAM 2017-2022, menuturkan pelanggaran terkait KBB yang paling sering terjadi adalah adalah pelarangan pembangunan rumah ibadah. Ia menegaskan pelanggaran KBB termasuk dalam pelanggaran HAM.
“Pelarangan ibadah itu negaralah sebenarnya yang harus kita mintai pertanggung jawaban, karena ada dalam konstitusi,” tuturnya.
Alasan pelanggaran KBB adalah pelanggaran HAM, dalam penjelasan Beka, ada tiga alasan. Pertama, KBB adalah bentuk kebebasan berfikir secara hati nurani. Kedua, menetapkan agama atas pilihan sendiri, bukan karena paksaan orang lain. Ketiga, kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan sesuai dengan pengamalan ibadah masing-masing.
“Bagaimana ada tekanan-tekanan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat lain dan segala macam, sehingga tadi ngomong pertimbangan moral, agama dan yang lain sebagainya menjadi tidak berjalan dengan semestinya,” ungkap Beka.
Beka memberikan contoh dalam produk-produk hukum yang ada. Seperti peraturan bersama menteri tahun 2006, menteri agama dan menteri dalam negeri dalam pembangunan rumah ibadah. Kemudian Surat keputusan Bersama (SKB) tentang Ahmadiyah yang ambigu.
Ihsan Ali Fauzi, anggota Sekber Koalisi Advokasi KBB Indonesia menceritakan pelanggaran tersebut bukan hanya Islam dengan Kristen. Bahkan dalam satu agama yang beda aliran pun saling membatasi soal peribadahan.
“Misalnya sekarang ini di Kota Bogor ada rencana pembangunan rumah masjid namanya Masjid Ibnu Hambal. Tetapi diprotes oleh teman-teman NU. Banyak dari NU karena pemrakarsa pembangunan masjid ini cenderung wahabi dan cenderung keras gitu,” jelas Ihsan.
Ihsan juga mengatakan bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan seringkali disebabkan oleh paham mayoritarianisme yang terbangun di masyarakat pada rezim demokrasi ini. Mayoritarianisme adalah sistem struktural yang terbangun dalam masyarakat dan pucuk tertinggi pimpinannya hanya berpihak pada satu kelompok.
“Seperti ada Pilkada, ada proses elektoral yang memungkinkan orang untuk memenangkan mayoritarianisme. Ketika terjadi konflik di antara satu kelompok dengan kelompok lain, negara tidak bisa netral. Dia cenderung punya insentif untuk mendukung kelompok yang lebih besar,” tuturnya.
Ihsan menjelaskan dampaknya adalah kerukunan yang diciptakan hanyalah kerukunan semu. “Di mana kelompok yang lebih lemah, didesak untuk tunduk kepada kelompok yang lebih besar. Lewat apa yang disebut sebagai perjanjian damailah, dengan materailah, atau ada polisi di depannya,” ujarnya.
Menurut Beka, sebenarnya negara tidak boleh begitu saja melarang ada sistem lokal, tradisi adat, dan budaya-budaya lokal yang memiliki keunikan tersendiri. Ketika ada masalah-masalah terkait dengan agama atau keyakinan, tidak bisa kemudian hanya dengan satu perspektif saja, seperti perspektif hukum dan diserahkan pada interpretasi aparat.
“Negara wajib mengambil tindakan yang tepat dan diperlukan guna mengatasi tindakan intoleransi berbasis agama atau keyakinan, namun tidak terbatas pada diskriminasi dan ujaran kebencian. Apalagi sekarang di media sosial banyak sekali orang yang kemudian menyatakan kebenciannya masih harus diselidiki,” pungkas Beka.
Reporter Sadrah Tawang Mahari | Redaktur Maria Al-Zahra