Lpmarena.com-Massa aksi yang tergabung dalam Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) bersama Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) melakukan aksi peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia pada Selasa (10/12) di Tugu Yogyakarta. Dalam aksi tersebut, para buruh menyampaikan tuntutannya terkait upah layak dan mendesak Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) untuk menetapkan Upah Minimum Sektoral (UMS).
Aksi dimulai dengan orasi dari berbagai perwakilan, kemudian massa aksi beriringan menuju kantor Gubernur DIY untuk melakukan audiensi dengan Pemerintah Daerah. Dalam audiensi, Irsyad Ade Irawan, Ketua MPBI, menilai Permenaker Nomor 16 Tahun 2024 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2025, yang menginstruksikan kenaikan upah pekerja nasional sebesar 6,5% tidak layak bagi buruh di DIY. Hal ini dikarenakan adanya ketimpangan upah pekerja antar daerah di Indonesia.
Kemudian Irsyad memberikan perbandingan ketimpangan tersebut. Misalnya di DIY yang upah pekerjanya rendah, kenaikan upah 6,5% tidak akan berpengaruh secara signifikan. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan DKI Jakarta yang upah pekerjanya sudah layak.
“Yogyakarta itukan upah minimumnya 2,4 juta, kalau ditambah 6,5% mungkin tambahnya hanya sekitar seratus ribu, kalo buruh di Jakarta itu pasti sudah sangat bersyukur karena 6,5% dari lima juta,” jelasnya.
Sedangkan kebutuhan yang harus dipenuhi, lanjut Irsyad, berdasarkan Permenakertrans Nomor 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak mencakup pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, transportasi, serta rekreasi dan tabungan. Menurut survei yang dilakukan pada 5 Pasar Induk di DIY, harga kebutuhan tidak jauh berbeda dengan daerah lain yang memiliki besaran upah lebih tinggi.
“Di Yogyakarta untuk hidup layak itu ada di angka 3,5 sampai 4 juta, itukan masih kurang kalo kenaikannya 6,5%. Maka dari itu, perlu ada program lain yang bisa didiskusikan dengan Pemerintah DIY agar buruh bisa hidup lebih layak,” ujarnya.
Senada dengan itu, Harsono, perwakilan Dewan Pimpinan Daerah Serikat Pekerja Nasional DIY, mengatakan bahwa harga barang yang diproduksi di Yogyakarta dan daerah lain tidak jauh berbeda. Dengan pabrik dan tingkat produktivitas yang sama, namun besaran upah yang diterima jauh berbeda.
“Saya sendiri selaku buruh dari pabrik tekstil, produk yang kita hasilkan dari Yogyakarta dan yang dihasilkan di daerah lain itu sama harganya, tetapi kenapa besaran upahnya itu bisa berbeda?,” ujarnya.
Menanggapi tuntutan ini, Tri Sakti, Asisten Ekonomi dan Pembangunan Sekretaris Daerah DIY, berdalih bahwa pemerintah daerah menaikan upah sebesar 6,5% mengikuti ketentuan dari pemerintah pusat. Ia mengatakan kenaikan upah sektoral hanya diterapkan pada daerah yang ekonominya bertumbuh untuk menjaga relasi antara buruh dan pengusaha.
“Terkait upah sektoral nanti ada kajian, antara daerah yang sektornya tumbuh dan tidak tumbuh, ini juga bentuk menjaga keseimbangan antara pekerja dan pengusaha,” ujarnya.
Mendengar jawaban tersebut, Irsyad menanggapi bahwa seharusnya gubernur wajib menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan dapat menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Menurutnya, pemerintah harus melihat realitas kehidupan masyarakat dan tidak hanya mengacu pada ketentuan pemerintah pusat.
“Kalau gubernur yang memikirkan dan mempertimbangkan dengan baik kesejahteraan pekerja, ya maka kewenangannya atau dampaknya itu dapat dilaksanakan dengan menetapkan UMS di kabupaten/kota pada 2025,” jelasnya.
Irsyad berharap keputusan yang diambil oleh Pemerintah DIY setelah audiensi ini harus mengacu pada tuntutan pekerja dan buruh. Jika keputusan tetap tidak berpihak kepada kesejahteraan buruh, maka mereka menganggap audiensi ini hanya acara formalitas saja.
“Kalau keputusan yang diambil tidak terlaksana, misalnya upah minimum yang tidak mencapai KHL dan tidak ada upah minimum sektoral, maka tadi itu hanya acara-acaraan, hanya seremoni,” pungkasnya.
Reporter Hadziq Hibran (Magang), Affan Patria (Magang) | Redaktur Niswatin Hilma