Home BERITA Senjata Api dan Kekerasan Aparat Bentuk Penyelesaian Konflik HAM di Indonesia

Senjata Api dan Kekerasan Aparat Bentuk Penyelesaian Konflik HAM di Indonesia

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com – Social Movement Institute adakan diskusi bertema ‘Apa Kabar Pelanggaran HAM Hari Ini?’ dalam rangka memperingati Hari HAM Sedunia. Diselenggarakan di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyrakat Desa (APMD) pada Selasa (11/12) untuk merefleksikan realita penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Indonesia. 

Usman Hamid, Direktur eksekutif Amnesty International Indonesia memaparkan salah satu dari isu permasalahan HAM adalah represif aparat. Seperti yang terjadi pada penembakan siswa di Semarang, penanganan konflik di Kendeng dan Rembang, senjata selalu menjadi penyelesaian konflik. 

“Sifatnya beragam dari mulai ketersinggungan, merasa tersinggung karena dipepet, atau ekonomi terganggu. Senjata api cepat digunakan. Tembak mati. Negara tidak lagi melihat kepentingan bangsanya tapi kepentingan ekonomi  dari pemerintah dan perusahaan,” jelas Usman.

Usman melanjutkan, kekerasan menjadi penyelesaian konflik yang ada di Indonesia. Bahkan konflik terhadap alam, polisi menggunakan kekerasan dan tindakan represif. Misalnya kasus pembabatan hutan di tanah Papua untuk pembangunan PSN membuat tersingkirnya masyarakat adat secara paksa. 

“Kayu Merbau  yang bisa menghasilkan ratusan triliun yang dipikirkan bagaimana itu bisa direproduksi menjadi perkebunan sawit, jadi masyarakat adat yang ada di gunung-gunung itu tidak lagi dipikirkan,” ujarnya.

Sama halnya dengan konflik pembangunan pabrik semen di Kendeng yang diceritakan Sukinah. Ia bersama 81 ibu-ibu lainnya yang menolak pembangunan pabrik semen justru dihadapkan dengan ratusan aparatur negara. Terdiri dari polisi, TNI dan brimob. 

Padahal Sukinah hanya ingin menyampaikan aspirasinya, bahwa pembangunan pabrik semen itu berdampak buruk bagi masyarakat di sekitar. “Pabrik semen itu jadi udaranya kotor, pertanian yang awalnya subur akan dikeruk dan akhirnya hilang. Menyampaikan ini saja kami dihadapkan dengan aparat yang membawa senjata panjang atau pistol,” tutur Sukinah.

Di lain kejadian tatkala Sukinah bersama ibu-ibu membangun tenda di depan pabrik semen sebagai bentuk penolakan, aparat justru mengatakan ‘Kalau sampai ada satu laki-laki yang ikut akan langsung kami tembak’. 

“Kami sebagai ibu-ibu disitu tentu sangat ketakutan dan hanya bisa menangis,” lanjut Sukinah.

Fatia Maulidiyanti selaku koordinator KontraS berpendapat narasi HAM hari ini telah dibajak oleh negara dan korporasi. Keberpihakan pada masyarakat patut dipertanyakan. 

“Kalau memang pemerintah itu peduli dengan masyarakat desa kenapa pada akhirnya sawah mereka ladang mereka dirampas. Terus petaninya mau kemana?” papar Fatia.

Fatia meragukan berbagai kasus HAM dapat terselesaikan dengan adil. Hal ini didukung dengan keberpihakan aparatur negara pada penguasa negeri. Pun dari sisi regulasi juga masih terdapat banyak pasal karet yang mengkriminalisasi masyarakat, seperti UU ITE. 

 “Hari ini kita tidak bisa lagi berpangku tangan dan meminta sama negara untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang terjadi, karena toh presidennya juga adalah pelanggar HAM,” pungkasnya.

Reporter  Ilham Khairun (magang)  |  Redaktur Maria Al-Zahra