Lpmarena.com–Jaringan Gusdurian Yogyakarta adakan diskusi dalam rangka memperingati Hari HAM Sedunia pada Jum’at (11/12) di Griya Gusdurian Yogyakarta. Diskusi ini membawakan salah satu tulisan Gus Dur yaitu Wawasan Keadilan Internasional Bangsa Kita.
Himawan Kurniadi dari Forum Cik Ditiro memaparkan, Gus Dur secara baik menanggapi pelanggaran HAM dengan meminta maaf secara personal kepada korban pelanggaran HAM. Baginya, hal tersebut belum pernah dilakukan kepala negara dalam sejarah Indonesia.
Adi melanjutkan tidak hanya itu, upaya tersebut dapat dilihat dengan pergantian Panglima TNI yang tidak hanya berasal dari Angkatan Darat. Banyak peristiwa pelanggaran HAM yang melibatkan Angkatan Darat dibaliknya.
“Sebenernya udah dicoba itu tuh meruntuhkan militeristik, bahkan dari Gus Dur. Panglima TNI tuh bergantian, kadang Angkatan Darat, kadang Angkatan Laut, kadang Angkatan Udara. Mungkin, kalau Gus Dur lanjut jadi presiden, dibongkar tuh mereka wataknya, milteristiknya, candradimukanya, aliran dana, perekrutan, pendidikan, dan segala macem,” kata Adi.
Adi menuturkan di Indonesia, mulai dari urusan remeh-temeh hingga berskala besar selain dipengaruhi kekuatan kapital global, ada peran Angkatan Darat bermain. Sehingga ketika membicarakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM juga tidak bisa lepas dari pembahasan angkatan darat.
“Dari rentetan panjang permasalahan HAM itu Angkatan Darat. Kita bisa melihat contoh ekspansi Papua tidak lepas dari Angkatan Darat. Peristiwa 1998, itu juga Angkatan Darat,” ujarnya.
Angkatan Darat yang memiliki watak militeristik, lanjut Adi, membuat penyelesaian kasus pelanggaran HAM menjadi sulit. Terlebih aktor-aktor yang terlibat masih hidup dan menduduki posisi strategis dalam negara.
Adi menyoroti peran Komnas HAM dalam penyelesaian pelanggaran HAM. Komnas HAM berdiri karena ada dorongan internasional, tekanan internasional, dan menjadi konsolidasi internasional. Namun, itu sulit terwujud ketika kondisi geo-politik, ekonomi, belum dapat teratasi.
“Kita melihat kasus pembunuhan Munir. Bagaimana dia mulai membongkar boroknya Angkatan Darat, dan pada akhirnya harus meregang nyawa. Nah, itu problem yang saat ini masih berjalan,” jelas Adi.
Adi menambahkan bahwa pengungkapkan akar pelanggaran HAM muncul salah satunya karena faktor ekonomi, yakni ekspansi. Selain itu, kasus pelanggaran HAM juga berkaitan erat dengan kepentingan geopolitik. Sayangnya ranah tersebut selalu dikuasai militer.
Disisi lain, Kharisma Wardhatul berpendapat bahwa faktor ketimpangan ekonomi menjadi pelemahaan kesadaran masyarakat terhadap kasus pelanggaran HAM. Menurutnya, kita semakin sulit untuk menentukan siapa musuh bersama.
“Kita dibiaskan dengan krisis ekonomi dan disibukan dengan urusan masing-masing. Bahkan kita juga dipecah-pecah. Kadang menyampaikan begini akhirnya menjadi musuh sesama rakyat,” tegasnya.
Dalam perkembangan HAM, manusia tidak hanya dilekatkan hak untuk hidup, berkembang, dan berbicara. Kharisma menambahkan bahwa hak mendapatkan akses pendidikan yang layak, hak atas pekerjaan yang layak menjadi hak yang melekat ke dalam diri manusia.
Ia menekankan tanggung jawab negara dalam memenuhi hak masyarakatnya. Negara harus menjamin masyarakatnya untuk memiliki hak kebebasan beragama, hak untuk mendapatkan rasa aman.
“Negara harus punya upaya agar setiap orang terpenuhi hak-haknya. Hak pendidikan, hak pekerjaan, secara sosial-budaya pantas untuk diperjuangkan,” lanjutnya.
Geza Bayu, sebagai moderator menuturkan bahwa terlibatnya golongan militer ke dalam politik praktis juga menghambat penyelesaian kasus pelanggaran HAM. “Watak militeristik yang sudah mendarah daging pada akhirnya menimbulkan anggapan bahwa HAM itu sebagai penghambat kemajuan,” ujarnya.
Di era Jokowi misalnya, posisi strategis pemerintahan tidak hanya diisi dari golongan purnawirawan militer, namun juga melibatkan institusi kepolisian.
“Ada dua yang harus kita lawan. Watak pertama militeristik yang menindas, menggunakan alat-alat negara untuk misalnya menggusur masyarakat adat. Yang kedua adalah golongan oligarki oportunis, yang memanfaatkan kesempatan hanya untuk kepentingan golongannya,” pungkas Geza.
Reporter Fathia Fajrin Dewantara (magang) | Redaktur Yudhistira Wahyu Pradana | Foto GusDur.Net