Lpmarena.com–Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, dan International Media Support (IMS) menggelar diskusi online yang bertema ‘Pendampingan Bagi Jurnalis dan Pembuat Konten Digital Korban Kekerasan Berbasis Gender’ pada Rabu (18/12). Diskusi ini membahas tentang perlindungan jurnalis perempuan dan konten kreator yang kerap menjadi korban kekerasan berbasis gender.
Ira Rachmawati, Satgas AJI Indonesia, memaparkan hasil riset yang menunjukkan bahwa 82,6% dari 852 jurnalis perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual. Menurutnya, angka ini sangat mengejutkan, terlebih banyak dari korban tidak mendapatkan pendampingan hukum yang memadai. Bahkan, pendampingan psikososial bagi korban juga terbilang minim.
“Apakah korban kekerasan menerima bantuan hukum dari perusahaan pers? Ternyata 60,9% tidak, dan 39,1% tidak mendapatkan perlindungan yang maksimal dari perusahaan pers mereka,” ujar Ira.
Ia juga menjelaskan bahwa pelaku utama kekerasan seksual terhadap jurnalis perempuan seringkali adalah rekan kerja, yang memanfaatkan relasi kuasa dan senioritas. Selain itu, pelaku juga sering menganggap candaan seksual sebagai guyonan belaka. Padahal telah banyak korban yang mengalami trauma akan hal tersebut.
Tak berbeda jauh bagi kalangan konten kreator digital, Eva Danayanti, perwakilan IMS, mengungkapkan hasil survey yang dilakukan terhadap 312 pembuat konten digital dari 38 provinsi. Secara keseluruhan, 63% menunjukkan konten kreator pernah mengalami serangan digital dan riskan terjadi Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO). Dari jumlah tersebut, 58% di antaranya adalah perempuan.
“Keamanan teman-teman konten kreator ini yang sebenarnya juga masih jadi tantangan buat kita. Karena tidak secara langsung dilindungi dengan undang-undang pers,” ucap Eva.
Ia juga menjelaskan keadaan dilematis bagi konten kreator. Karena sejauh ini, belum ada Undang-Undang (UU) yang secara khusus mengatur dan melindungi konten kreator dari serangan digital. Sehingga keadaan para konten kreator ini sangat riskan untuk mendapatkan kekerasan.
Oleh karena itu, Ira dan Eva sependapat agar setiap instansi pers dan konten kreator mesti memiliki Standard Operating Procedure (SOP) yang jelas. Sebab dengan adanya SOP ini, jurnalis dan konten kreator digital dapat memahami dampak dan risiko dari serangan digital ini. Sehingga mereka mengetahui langkah yang harus diambil untuk melindungi diri.
Uli Pangaribuan, perwakilan LBH APIK Jakarta, menekankan pentingnya keberanian korban untuk melapor. Namun menurutnya, banyak korban yang enggan untuk melaporkan kejadian tersebut karena takut disalahkan atau dikenakan pasal pencemaran nama baik yang tercantum dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
“Kita lihat dari adanya UU ITE, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan beberapa Peraturan Daerah, itu masih diskriminatif terhadap korban kekerasan seksual,” pungkas Uli.
Reporter Almuttaqin (magang) | Redaktur Ridwan Maulana | Ilustrator koransulindo.com