Home CATATAN KAKI Selalu Ada Sesuatu di (dalam) Jogja

Selalu Ada Sesuatu di (dalam) Jogja

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Selo Rasyd Suyudi*

Itu Ahad siang menjelang sore tanggal 8 di penghujung tahun, 23 hari sebelum tahun 2025, di Gelanggang Teater Eska, tiga penulis bebarengan mengadakan peluncuran buku mereka: satu novel realis, satu kumpulan reportase dan memoar, dan satu novel romantisme gelap (dark romanticism)

Satu menceritakan kehidupan para pekerja sektor informal yang rawan, yang punya stigma mengganggu dari kacamata penguasa, serta memperlihatkan peran penting kerja-kerja pengadvokasian; satu menceritakan bagaimana perubahan-perubahan yang terjadi di tempat tinggal si penulis, Gunungkidul, berubah, dan jauh dari narasi-narasi media arus utama yang fokus pada pembangunan berikut dampak positifnya, dan; satu lagi, mengisahkan pesimisme, pembunuhan, dan pergulatan batin para tokohnya, yang cekcok dalam pencarian identitas di tengah kehidupan urban dan modernitas.

Buku tersebut adalah Kaki Lima, Menanam Hantu di Bukit Batu, dan Kronik Pembunuhan Selma. Para penulisnya: Isma Swastiningrum, Jevi Adhi Nugraha, dan K.A. Sulkhan. Ketiganya sama-sama mengenyam pendidikan di Yogyakarta (Isma dan Jevi di UIN Sunan Kalijaga, sedang Sulkhan di Universitas Gadjah Mada) dan sama-sama mengenal satu sama lain sebelum satu per satu dari mereka minggat dari almamaternya. 

Lewat masing-masing bukunya, mereka berefleksi dan menceritakan pengalaman ketubuhannya akan Jogja saat mendatangi suatu tempat, bertemu orang-orang, mengikuti sebuah kegiatan, lalu kemudian menuangkannya dalam sebuah karya yang sama-sama berlatar kota pendidikan tersebut.

Dua buku yang tersebut di awal, meski berbeda dalam mediumnya tetapi punya satu garis tegas yakni keberpihakan. 

Di buku Isma, saya dapat lihat dan merasakan, ia punya kesadaran jika kehidupannya tidaklah terdiri dari tubuh pribadi semata, sehingga sekonyong-konyong ia menjadi sosok yang antipati terhadap kehidupan masyarakat sekitar, tidak. Secara sadar ia pun punya tubuh sosial yang berisi teman, kerabat, keluarga, dan masyarakat. Ia punya tanggungjawab pula terhadap mereka, sebagai pembaca seperti yang dikata Gramsci sebagai “intelektual organik”.

Dari sana, tak ayal saya melihat novel Kaki Lima bikinan Isma adalah buku yang menandakan dimana hidupnya didedikasikan untuk mereka; orang-orang terpinggir, mengingat melihat mediumnya adalah sastra. Isma tentu punya kebebasan untuk menentukan tema selain tema yang barangkali cukup “berat” ini. Jawabannya jelas, Isma tak melakukannya, ia memilih kehidupan pekerja dan aktivisme sebagai temanya, ia “ingin menulis cerita yang berpihak pada para pekerja biasa,” paparnya dalam pengantar, yang satu di antaranya ialah Pedagang Kaki Lima (PKL).

Dalam bukunya, Isma, di bagian fragmen satu, saya tertarik saat dirinya memperlihatkan bagaimana solidaritas Mak’e, pedagang angkringan, terhadap Kaum Miskin Kota (KMK) dengan membedakan harga untuk masing-masing golongan yang ia sebut sebagai Wong Njero (orang dalem), terdiri: gelandangan, pengamen, pedagang asongan, pemulung, dan seterusnya—yang akrab disebut sebagai bocah-bocah oleh Mak’e. Kemudian ada Wong Mager ialah sopir-sopir truk besar, pegawai negeri rendahan, dan sejenisnya. Dan Wong Njobo (orang luar) adalah para wisatawan dan golongan menengah ke atas.

“Dan ini Le yang paling penting: harga. Kamu harus bedakan tiga golongan yang sudah Mak jelaskan tadi. Selisih haarga masing-masing golongan kalau Mak rata-rata 500 rupiah. Kalau es teh buat wong njero utawa bocah-bocah Rp. 1.500, untuk orang Mager Rp. 2.000, dan untuk orang luar Rp. 2.500,” Mak’e merinci (hlm. 16).

Membaca bagian ini, ingatan saya terlempar kepada tulisan Gusti Aditya berjudul “Nasi Kucing, Satire Terbaik untuk Pemerintah Yogyakarta”—yang saya mengamini bahwa angkringan sebagaimana dikata si penulis, “playmaker sakti mandraguna”, akibat dapat memberi porsi yang pas dengan harga yang tidak mahal. Dan Mak’e, dalam cerita Isma, adalah pahlawan bagi kalangan menengah ke bawah—yang bekerja untuk menyambung hidup dari ke hari (bukan memperkaya diri), dan bukti bagaimana konsep ‘warga bantu warga’ selalu yang nyata terjadi saat negara atau pemerintah selalu absen dalam membantu rakyat.

Nafas keberpihakan yang sama terlihat dalam Jevi. Saat di lain sisi orang banyak berpesta atas jor-joran pembangunan yang terjadi, bukunya menjadi satu bentuk protes terhadapnya. Ia mencatat, melihat, sekaligus merasakan perubahan yang terjadi pada kampung halamannya. 

Di buku kumpulan reportase dan memoarnya ini, ia menunjukkan bahwa beginilah wujud asli dari Gunungkidul: jauh dari apa yang dikata orang di media-media mainstream; dan beginilah wujud asli pembangunan: selalu dilihat sebagai penggenjot ekonomi sedang warga dan alam, selalu disisih-singkirkan.

Di tulisan “Pantai di Gunungkidul Tak Seindah Dulu: Kebanyakan Promosi Padahal Banyak yang Perlu Dibenahi” misalnya, Jevi menggerutu (ya, hampir semua tulisannya di bukunya saya lihat adalah gerutuan—gemertak sebal terhadap pemerintah) bagaimana ambisi rencana Pemkab untuk menjadikan pantai di Bumi Handayani itu sebagai “Bali” kedua adalah proyek sembrono. Proyek yang hanya akan merusak alam dan ekosistem semata.

Dan lagi, di esai setelahnya, saya ditampakkan bagaimana warga lokal selalu saja menjadi penonton atas kemewahan yang terjadi di sana, yakni lewat “Darurat Gunung Sewu: Kalau Uang Sudah Berbicara, Gunung Pun dihancurkan!”

“Keinginan warga Gunungkidul itu sebenarnya sangat sederhana. Kami cuma pengin hidup tenang dan tentram tanpa dibayang-bayangi “kutukan alam” akibat tangan-tangan berlumur darah yang terus-terusan mengeksploitasi alam secara berlebihan.” Tulis Jevi.

Nada berbeda saya temukan dalam K.A Sulkhan, lewat Kronik Pembunuhan Selma ia membidik masyarakat lewat scope psikologis dan eksistensialis. Ia membuka kemudian menjajakannya pada pembaca sisi gelap dari manusia—yang mau tidak mau, diakui ataupun tidak, selalu ada di dalam diri. Sulkhan juga merongrong pembaca untuk kembali mempertanyakan ulang nilai-nilai moralitas dan identitas kita dalam kehidupan modern sekarang.

Melalui ketiga buku ini, meski cukup berbeda dan cukup jauh secara genre dan tema, namun ketiganya satu padu sewaktu saya melihat bahwa kesemua-semuanya berlatar Jogja, dan para penulis menyoroti Jogja dalam kacamatanya masing-masing. Dalam artian dari ketiganya Yogyakarta tidak lagi hanya kota istimewa yang dikenang dengan romantisme dan nostalgia. Ia berubah menjadi ruang yang berlapis: ada kehidupan yang tertindas, ada ekosistem yang terancam, ada manusia urban yang bergulat dengan batin mereka.

Para penulis menantang untuk melihat Yogyakarta secara utuh—bukan hanya dari apa yang terlihat indah di permukaan, tetapi juga dari lapisan-lapisan yang sering diabaikan atau (seringkali) sengaja ditutupi. Karena mungkin, di balik kemegahan dan pesona Jogja, ada cerita-cerita getir yang perlu didengar dan butuh uluran tangan.

*Penulis kadang ketiduran, kadang gak ngapa-ngapain seharian–lebih sering tidak berguna
Editor Maria Al-Zahra  |  Ilustrator Nabil Ghazy