Home MEMOAR Arena, Arsene, sampai Arteta

Arena, Arsene, sampai Arteta

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Sabiq Gidafian Hafidz*

Lpmarena.com – Menyesal sudah masuk Arena, silam kala pada tahun 2011 Masehi. Sebagai ruang komunitas pers mahasiswa, ada beberapa hal yang patut untuk direnungkan—dirisihin ya boleh juga. Tempat sekumpulan orang yang berani-beraninya membaca buku dalam keadaan lapar. Ngerjain banyak hal yang tidak sepadan dengan harga nasi kucing. Tega ngegibahin orang yang sudah almarhum mulai dari Muhammad, Marx, hingga Tan. Hingga berat badanku yang menurun sampai titik terendah di angka 45 kg, dengan perbandingan tinggi badan 159 cm.

Arena tidak lebih dari ruang yang bagus untuk program diet. Ada Imro, mahasiswi ekonomi yang bergabung Arena, berakhir dengan skripsi tentang keberpihakan di tengah tema Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Mustinya tentang ekonomi pembangunan macam yang digaungkan oleh pasar bebas. Ya, minimal ngangkat-ngedukung fenomena ekonomi start-up yang kala itu marak. Tapi ya, gegara di Arena, jadi musti diet. Menakar mana yang sehat bagi tugas akhirnya.

Program diet Arena dalam beberapa hal emang kadang sungguh terlalu—badjingan. Alih-alih menakar bahwa dunia luar sudah dikontaminasi oleh hegemoni pasar bebas yang ngerembet sampai pada aspek kehidupan mulai dari pendidikan, gaya hidup, jajanan, hiburan, and so on. Arena dengan jargon “Kancah Pemikiran Alternatif”, entah kenapa menyaring hal-hal tersebut agar tidak dikonsumsi mentah-mentah. “Ngalternatif” apah atuh yeuh, hahaha.

(Liat noh itu Doel, gizi buruk!)

Cobalah bawa segelas kopi starbuck dan nongkrong di Arena. Sekalian sama makanan olahan mekdi, kokakola, dan hamberger. Pasti dicibir, makanan gelandangan, hahaha. Dikira bakal silau kalo bawa makanan gituan. Belum lagi ditanyain keberpihakan atas produk tersebut, yang dinyata pendukung genosida di Palestina. Padahal mah yah, Arena itu diisi oleh orang-orang miskin tapi angkuhnya minta ampun.

Tapi iyah, dalam beberapa praktiknya di Arena mendadak harus mengondisikan diri. Sebagai sebuah ruang persegi panjang. Berdinding coretan-coretan nggak karuan. Beberapa poster macam si Kastro kayaknya masih nempel di sana. Tiga rak bebukuan, serta seambruk koran, dan majalah hasil kerja ke-arena-an. Secara tidak langsung, ruang tersebut menuntut dicerminkan. Menjadi semacam panoptikon di Arena.

Bayangkan saja, pada jenjang tahun 2011-2016, itu merupakan era musik koplo. Jamal dan Dul pas masuk ke Arena, itu hanya terdengar sayup saja. Pun gitu, aku yang suka lagu perwibuan dan Monita Tahalea mendadak musti pake irpon. Atau yah, ketika di Arena cuman ada Amri dan Fai, barulah agak sedikit leluasa mendengarkan pakai spiker aktip lelaguan itu. Ditambah lagunya si Taylor Swift demenan Fai. Jadi, ada semacam lagu privat dan publik di sana.

Lugas yang sempet membaca buku-buku karya Tere Liye juga ciut ketika di Arena. Padahal apa yang keliru dari Habiburrahman El Shirazy, Andrea Hirata, hingga Via Vallen. Apa gegara karya mereka digandrungi semua orang—populer. Dan sesuatu yang populer itu musti dipertanyakan. Karena kegandrungan massa itu ya acapkali dikerubungin oleh kepentingan pasar. Entah itu pasar politik, macam koplo dikendarai parpol pas masa kampanye era Jokowi. Beberapa penulis moralis ditunggangi untuk melunakan semangat sosialisme (Pancasila butir kelima).

C:\Users\Gidafian\AppData\Local\Microsoft\Windows\INetCache\Content.Word\IMG_8625.jpg
(Arena turun ke jalan)

Begitulah Arena pada rentang 2011 hingga 2018. Aku pun lulus kuliah dengan tidak prematur seperti rekan lainnya, sehat sempurna 14 semester (jangan diikutin). Setelahnya, bekerja seperti orang-orang pada umumnya. Meskipun, suka ada bisikan-bisikan yang ngatain apakah perusahaan di mana bekerja itu punya prinsip keberpihakan, ato malah menyengsarakan alam, and so on. Ta’awudz aja…

Dilema selekas dari ruang-ruang seperti Arena, ya emang begitu mungkin yah. Tidak banyak ruang kapital yang mewadahi orang-orang pos-komunitas. Ngeliat ke inaprogress, ya gitu. Tan yang dulunya dari penjara ke penjara, sedang Malaka diprojekin jadi dari kafe ke kafe. Ya…, ya…, ya…. Meskipun ada salah satu karuhun yang bilang amorfati, ah amortai ini mah, hahaha.

Arena sebagai komunitas keberadaannya menjadi penting. Ceruk untuk menjaga kewarasan hanya bisa hadir lewat ruang-ruang seperti ini. Ada keyakinan atas diskontinuitas yang akan lahir dari ruang-ruang tersebut. Memicu-labrak narasi besar yang sudah lama menunggangi kuda liar bernama kebebasan.

___

Ah yah, aku di Arena sebagai desainer grafis merangkap sebagai pertukangan—mirip-mirip Ussop kalo di wanpis mah. Posisi yang termarjinalkan, karena acapkali dipaksa menulis oleh Lugas, Jamal, Isma, Ulfa, Robandi, dan itu menyiksa—alm. Marx ngeliatnya itu pencurian nilai lebih loh. Hingga pada satu titik, aku dan Agus Teriyana berkongsi. “Emangnja perdjoeangan itoe tjoeman soal toelis menoelis! Dasar Arena ortodoks,” begitulah suara dalam hati kami berdua. 

*Sempat mengabdi di Divisi Perusahaan, tukang desainer dan layouter, hingga Pemimpin Umum (PU) LPM Arena periode 2015/2016Foto Dokumentasi Pribadi