Oleh: Wulan Dwi Agustina*
Lpmarena.com- Banyak orang berlalu-lalang, seperti biasa gedung yang sering orang menyebutnya Student Center ini hampir tidak pernah sepi dari manusia ketika sore hari. Baik mereka yang benar-benar ingin atau mengabdikan diri untuk berorganisasi, maupun hanya sekedar numpang mengakses wifi, tak sedikit juga mereka yang sengaja mampir untuk berkencan dengan pasangan. Sedangkan aku, mahasiswa semester tiga yang mencoba iseng cari kegiatan di sarang lelaki gondrong yang “katanya” progresif ini.
“Cita-cita kamu apa Wulan?” tanya seorang perempuan berkacamata di sesi wawancara rekruitmen yang kemudian aku tahu namanya Iim. Dia salah satu pengurus di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Arena, salah satu dari beberapa Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang aku pilih dan apply sebagai tempat mengisi waktu sebagai mahasiswa. Semester tiga barangkali memang masih giat-giatnya mahasiswa mengikuti banyak kegiatan.
“Mau jadi istri solehah,” jawabku bercanda, menanggapi pertanyaannya yang barangkali juga bukan pertanyaan yang dipakai sebagai tolok ukur diterimanya aku di UKM yang banyak mas-mas gondrongnya pada waktu itu. Pun tidak juga aku berekspektasi bahwa UKM ini bisa mengantarkan aku menuju masa depan menjadi istri solehah yang aku ucapkan kepada Iim. Kami pun tertawa bersama. Benar saja, beberapa lama berproses di LPM ARENA, tidak sama sekali membentuk image diriku sebagai istri solehah versi ikhwan yang dekat denganku.
ARENA, dari kacamata teman-teman mahasiswa lain barangkali ruang yang cukup maskulin. Itu juga yang aku rasakan di awal perkenalanku terlibat di lembaga pers kampus satu ini. Dihuni oleh mayoritas laki-laki yang pada saat itu hampir sebagian gondrong, memakai pakaian yang kurang rapi (celana sobek di dengkul dengan t-shirt belel), mayoritas perokok aktif, dan tiap orang yang ada di dalamnya menurut sebagian teman kuliahku punya watak yang keras, walaupun untuk yang terakhir aku secara pribadi tidak mengamini hal tersebut apalagi setelah masuknya rekan sekelas dan sejurusanku di ARENA. Dengan tubuhnya yang gempal dengan pipi chubby, belum lagi caranya menegur sapa rekan-rekan se-persma bahkan se-Student Center sedikit memunculkan kesan baru menjadi ARENA yang lebih hangat dan ceria. Walaupun tetap saja, setelah masuk kita masih tetap dan selalu disuguhkan dengan Materialisme Dialektika Historis (MDH) Karl Marx, eksistensialisme Sartre, psikoanalisis Sigmund Freud, dan masih banyak lagi pemikiran-pemikiran para filsuf. Sungguh, dari sekian nama rasanya banyak yang jangankan pemikirannya, namanya saja terasa asing di telingaku yang merupakan alumni Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) ini.
Di dalam bayanganku, berproses ARENA berarti belajar menulis, menulis, menulis, liputan. Ini tentu akan menjadi ruang yang banyak membantuku dalam menjalankan pekerjaanku yang saat itu juga bekerja di salah satu media lokal, selain juga mengisi kegiatanku sebagai mahasiswa yang saking teledornya sampai telat daftar ulang. Nyatanya, ber-ARENA bukan hanya perihal menulis layaknya humas kampus yang memberitakan berbagai peristiwa di kampus. Kami menulis, kami berdiskusi, kami turun ke jalan untuk demonstrasi, kami liputan, kami meng-create acara atau event, kami berseni, dan tidak ketinggalan kami juga bersenang- senang. Betapa multitalent-nya orang-orang yang ada di dalamnya.
Belajar Gender di Ruang yang Cukup Maskulin
(Malam Sastra Arena edisi Sabtu, 28 Februari 2015)
Arena, ruang yang cukup maskulin ini setelah aku ingat-ingat kembali, selain mengajarkan dan memberikan experience tentang “Pers yang berani” bagiku, di sini juga untuk pertama kalinya aku ingin mendiskusikan gender secara lebih mendalam dan terbuka. Walaupun dengan ruang yang cukup maskulin dan didominasi oleh para laki-laki pada saat itu, banyak juga pertanyaan yang keluar, “Apa pentingnya dan kepentingannya mendiskusikan perihal kajian Gender di sini?” But, ruang yang cukup demokratis ini pada akhirnya memasukan Kajian Gender dan Feminisme pada timeline diskusi juga.
Mempelajari gender nyatanya cukup memberi perspektif baru bagi ARENA dalam melakukan kegiatan jurnalistiknya, dalam mengkaji dan mendiskusikan isu yang akan diangkat, dalam peliputan dan penulisan, dalam men-treat narasumber ketika melakukan wawancara, maupun dalam menjalankan tugas keorganisasian. Kajian Gender juga menjadi lebih menarik bagiku, ketika rupanya aku mendapatkan banyak partner berdiskusi yang cukup menarik dan menyenangkan di circle ARENA, dari situ juga menghubungkan aku dengan ekosistem, maupun orang- orang yang juga konsen dengan kajian maupun isu- isu gender di luar circle ARENA.
Hal ini pula yang mengantarkan aku bertemu dengan kekasih yang juga punya perspektif sensitif gender dalam banyak obrolan kami. Tidak hanya di situ, aku dan jurnalis gondrong yang sama-sama belajar dan mengkaji persoalan gender dan mengimplementasikan dalam hubungan percintaan maupun rumah tangga yang akhirnya kami jalani ini, cukup menganggap bahwa perspektif kesetaraan gender yang pernah aku kaji di ARENA maupun di ekosistem jejaring sedikit banyak memberikan pengaruh yang positif dalam proses kehidupan yang aku jalani bersama kekasih hatiku.
And last, thank you ARENA atas ruang yang cukup demokratis untuk aku dan teman-teman berproses. Di hari jadi yang ke-50 semoga selalu menjadi ruang aman untuk setiap insan berposes dan berdialektika. Semoga selalu menjadi Kancah Pemikiran Alternatif, dan tak kehilangan gonggongan.
*Perempuan pecinta mas-mas gondrong yang masuk di ARENA pada tahun 2014. Pernah menjadi bagian dari Divisi Jaringan Komunikasi (Jarkom) ARENA dan menjadi redaktur online pada lpmarena.com. Suka menari pada malam sastra ARENA, hobi berenang dan bersenang-senang dengan kamerad ARENA | Foto Dokumentasi Pribadi