Oleh: Isma Swastiningrum*
“Moco ora tau. Diskusi ora melu. Nulis ora mutu. Wes muleh wae ra usah dadi mahasiswa.”
Lpmarena.com – Begitu kalimat yang tertulis di sekretariat Arena kala itu yang menggugah pikiran saya. Ya, sekretariat Arena yang sering berantakan, sebagai tanda jika ruang itu hidup. Kawan-kawan menyebutnya war zone-lah, rebellion zone, ruang hula-hula, atau gubug derita bersama. Saya ingin menyebut Arena sebagai rumah. Rumah di mana diri ini memang hobi untuk selalu dikontruksi dan didekonstruksi melalui otak-otak penghuninya. Dinding, buku, jendela, pintu, papan tulis, hingga perabot tak penting sudah pasti merekam. Pun sampai ulang tahun Arena yang memasuki usia 50 tahun di usia perak ini. Mereka juga menjadi tua sepertimu, Na. Penghuninya pun juga, lama-lama hilang, berganti, dan beregenerasi.
Lapar dalam banyak sisi, barangkali faktor itulah yang membawa saya pada Arena. Di usia 50 tahun Arena, saya ingin bercerita sejarah saya masuk Arena, kenangan-kenangan yang mengendap, hingga hal-hal yang saya pelajari dan menjadi runungan. Tulisan ini akan lebih banyak beraroma nostalgia, hehe. Sebenarnya ingin menulis yang lebih historis dari Arena yang digagas oleh Pak Slamet Effendy Yusuf (Pemimpin Redaksi Majalah ARENA, 1975-1978), tapi data saya belum cukup, jadi saya ingin menulis yang sifatnya lebih humanis saja. Alih-alih bersifat historis, penceritaan lebih ber-image romantis. Arena pernah punya catatan sejarah besar di lingkup Jogja dan Indonesia, dengan majalahnya yang beroplah tinggi dan disebut sebagai Tempo kecil.
Saya masih ingat pengalaman pertama kali datang ke Jogja. Sebelumnya, saya anak desa dari Cepu, Blora, Jawa Tengah, yang lulus SMA tahun 2011. Cita-cita awal saya ingin jadi matematikawan seperti cita-cita Lintang Samudra Basara dalam buku Andrea Hirata, “Laskar Pelangi”. Buku yang menginspirasi saya ketika SMA. Tiap kali mau ke sekolah Lintang harus bersepeda puluhan kilometer dan menghadapi ancaman buaya yang lewat di jalan. Saya begitu berhutang budi pada anak itu dan punya cita-cita heroik untuk melanjutkan mimpinya. Namun, seperti nasib pada umumnya yang tidak sesuai rencana, ayah menginginkan saya jadi abdi negara, sehingga saya harus mendaftar sekolah kedinasan hingga enam kali dan tragisnya gagal semua.
Tahun 2013 setelah menjumpai banyak kegagalan, saya memutuskan untuk mendaftar kuliah. Setelah browsing singkat, saya menemukan universitas yang terjangkau di otak saya kala itu, UIN Jogja. Motif memilih UIN sederhana, alasan yang pernah dikatakan oleh Dekan Fakultas Saintek, alm. Pak Akh. Minhaji dulu, UIN itu murah dunia akhirat. Ya, tidak ada alasan lain. Saya tak ingin memberatkan orang tua, apalagi saya anak pertama dan masih punya tiga adik. Ada tiga jurusan yang saya ambil di tes SBMPTN, saya masih ingat saat itu tes di Semarang. Jurusan itu terdiri dari: Matematika, Fisika, dan Filsafat, semuanya ambil di UIN. Ternyata, Tuhan memilihkan saya jurusan Fisika. Jurusan yang dekat dengan Matematika, atau setidaknya ada bau matematikanya. Saya sering ditanya kenapa saya kuliah ambil Fisika, sederhana, karena dekat dengan matematika.
Ketika ke Jogja pertama kali, saya diantarkan Bapak naik sepeda motor tuanya. Saat itu usia beliau 64 tahun (sekarang usianya 74 tahun) dan masih kuat sepeda motoran Cepu-Jogja. Saya masih ingat kesan pertama melihat UIN, malam itu tidak sengaja motor Bapak berhenti di pinggir jalan raya depan rektorat UIN sekarang. Saya tak menyangka UIN di mata saya malam itu terlihat besar dan benar-benar di luar ekspektasi. Entah kenapa malam itu ada perasaan bangga, lalu Bapak membawa saya ke Malioboro. Di jalanan Malioboro dekat Benteng Vredeburg, saya dan Bapak tidur di pinggir jalan ditemani suara angklung dan pengamen jalanan bersama beberapa perantau atau para homeless lain. Saat itu tidur di jalan masih diperbolehkan. Di sisi lain, sudah menjadi rahasia umum kebanyakan masjid di Jogja sangat eksklusif, hanya dibuka ketika waktu solat saja. Kalau di Semarang kami sering izin menginap di masjid untuk kegiatan yang hanya sehari dua hari, kalau di Jogja kami tidak bisa.
Setelah saya masuk UIN, saya mendaftar berbagai ekstrakurikuler kampus atau Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Saya dan salah seorang teman Fisika kala itu berkeliling student center (SC), aneka UKM kami masuki sekretariatnya, yang paling saya ingat ketika masuk ke sekret PSM Gita Sava (diminta nyanyi), Teater Eska (disambut Mas Surya), Mapalaska (ditanya pernah naik gunung apa), dan Al-Jamiah (yang banyak hadrohnya). Bahkan saya samar-samar ingat pas daftar Arena pertama kali. Kalau tidak silap, saya daftar Arena pas buka stand di depan poliklinik UIN, tak jauh dari masjid. Kalau tidak salah, angkatan yang menangani angkatan saya adalah gank-nya Mbak Ulfatul Fikriyah, Anisatul Ummah, Lugas Subarkah, dkk. Saya mengisi formulir, lalu mengumpulkan tulisan, dan dimulailah petualangan ke-Arena-an. Mengikuti In House Training (IHT), menjadi anak magang, upgrading, jadi pengurus, hingga demisioner.
(Arena Angkatan 2013 tengah berdiskusi sambil masak memasak)
Saya masuk Arena tahun 2013, kawan-kawan seangkatan Arena yang masih saya ingat: Anis Nur Nadhiroh, Rifai Asy’ari, Khairul Amri, Mutiara Nur Said, dan M. Faksi Fahlevi. Lainnya, sebagaimana hukum rimba di Arena, banyak yang tidak bertahan sampai LPJ terakhir Rapat Tahunan Anggota (RTA) dan hanya menyisakan segelintir orang. Mungkin belajar di Arena lebih berat daripada belajar di kelas.
Saking asyiknya ber-Arena, kegiatan yang dilakukan tak cuma diskusi dan mikir yang tak perlu dipikir, tapi juga melakukan quality time bersama. Di sana kami renang-renang (bagi yang bisa renang), kecek (yang tak bisa renang), makan bersama di dekat sawah, sampai kegiatan mancing. Quality time dulu dikoordinatori oleh Wakil PU Abdul Rouf. Umbul Pajangan menjadi spot favorit kami untuk liburan murah meriah. Konsumsinya kami kumpulkan dari bantingan seikhlasnya. Pembelajaran tak terlupakan juga yang saya dapat di Arena adalah bagaimana saya bisa memahami karakter masing-masing anggota Arena sendiri.
Selama berkuliah di UIN Jogja, sebagian besar waktu, saya habiskan di Arena. Bahkan saya lebih menikmati perkuliahan di Arena daripada perkuliahan di Fisika. Menjalani pembelajaran Fisika ternyata tak seasyik belajar berpikir kritis yang diajarkan Arena, akibatnya, kuliah saya hanya sekumpulan absen saja. Iya, saya ada dan rajin masuk kelas, tapi soal ilmu Fisika saya tak bisa menjelaskan banyak. Otak INTJ saya lebih encer menganalisis fenomena sosial berkaitan dengan Pedagang Kaki Lima (PKL) dan sektor informal dibandingkan menganalisis mekanika fluida, elektronika digital, dan listrik magnet.
Di Arena pula saya merasakan kembali perasaan welas asih sekaligus prihatin, meski dalam keadaan miskin, kami diminta untuk k(e)reatif, gimana pun caranya terus tumbuh dan tidak menjadi bodoh. Saya menemukan sahabat-sahabat yang ikatannya masih kuat sampai saat ini, dan tak kalah penting saya menemukan saudara-saudara yang masih berhubungan hingga sekarang. Jika ditanya, salah satu harta terbesar saya, saya akan menjawab Arena.
Berproses di Arena
“Jangan kalian pikir argumen-argumen kalian, teori-teori kalian, sampai celetukan-celetukan kalian tidak mempengaruhiku secara personal. Itu semua punya pengaruh yang besar di aku,” begitu kira-kira kata Khairul Amri di salah satu diskusi yang pernah kami lakukan di sekret Arena. Amri dulu pernah menjadi Kepala Divisi Pengembangan Sumber Daya (PSDM) Arena, dan menjadi sosok penting yang merumuskan silabus diskusi di Arena. Perkataan Amri itu masih saya ingat dengan kuat dan saya bersepakat dengannya. Diskusi yang terjadi di Arena bukan masalah kecil, tapi juga mengubah pola pikir, sampai-sampai saya pernah berasumsi: merugilah anggota Arena yang tak pernah diskusi dan jarang berdiskusi di Arena.
Ketika saya masuk Arena kala itu, yang jadi pemimpin redaksinya adalah Mas Robi Kurniawan dan PU-nya Mas Taufiqurrahman Sn. Mas Robi di suatu diskusi di sekret juga pernah bilang, ketika bertanya apakah organisasi itu wajib atau sampingan? Orang akan punya jawaban yang bermacam-macam. Mas Robi sampai pada pemikiran jika organisasi itu bukan sampingan, tapi kewajiban. Mengorganisasikan diri itu kewajiban, entah dalam keluarga, pekerjaan, hingga arti umum suatu perkumpulan. Organisasi merupakan pekerjaan kolektif, dan tidak dikatakan organisasi jika satu sama lain tidak mempedulikan.
Jika seseorang masih bertanya, “apa yang aku dapat dari organisasi?” Sudah pasti dia tak akan hidup dalam organisasi itu. Meskipun modal aktif berorganisasi itu sangat mudah: tinggal datang. Mungkin kita tak tahu banyak, tapi lama-lama kita akan belajar. Misal ketika bahas tentang Marx; seseorang akan bertanya, makanan apakah itu? Apakah bentuknya menyerupai bakpia atau semacam bubuk bedak? Hal ini membuat seseorang penasaran, mencari tahu, dan lama-lama paham, atau paling tidak mengenal.
Arena seperti universitas yang lengkap. Tak hanya soal berpikir dan berargumen, Arena juga mengajari saya terkait seni, seperti musik dan film. Saya masih ingat bagaimana Mas Sabiq Ghidafian Hafidz yang punya sense musik yang beyond itu memperkenalkan kami dengan aliran-aliran musiknya itu. Dari beliau saya mengenal Sisir Tanah, ERK, Pink Floyd, Radiohead, Pidi Baiq, Enya, Secret Garden, sampai musik-musik Nordik yang saya tak tahu itu siapa dan alirannya apa. Kalau saya dulu penggemar lagu-lagu Ada Band, Chrisye, Melly Goeslaw, dan Gita Gutawa; semenjak ikut Arena, selera musik saya jadi berkembang. Aneka preferensi yang dimiliki oleh anak-anak Arena ikut saya nikmati, dan mengubah alam bawah sadar saya.
Saya juga masih ingat saat Mas Sabiq suka mendengarkan lagu “Shine On You Crazy Diamond (Pts. 1-5)”. Lagu yang bercerita tentang perjalanan hidup Syd Barrett, anggota Pink Floyd yang terkena masalah kesehatan mental. Liriknya penuh dengan simbolisme akan kejeniusannya. Sebagian anak Arena memang agak-agak mirip dengan Syd Barrett, tapi untungnya mereka tidak sampai gila karena tekanan hidup, justru berkat tempaaan Arena, dia jadi lebih hidup, sebab terbiasa hidup dalam tekanan.
(Komputer tabung Arena circa 2013-2016)
Tak hanya musik, di komputer tabung Arena yang gaek kala itu, Mas Sabiq juga mengoleksi banyak film mancanegara dari banyak benua yang bisa mengubah otak paling bebal sekali pun. Salah satu film yang menjadi perbincangan kami dulu adalah “Captain Fantastic” (2016). Film ini bercerita tentang tarik menarik antara idealisme dan realitas. Orangtua yang membesarkan enam anak dengan kurikulum ala mereka sendiri dalam hal seni bertahan hidup, berpikir kritis, mendalami filsafat dan sastra, tak lupa melawan kapitalisme. Anak-anaknya dijauhkan dari peradaban modern, dan hidup di hutan belantara, meski pada akhirnya, konflik benturan nilai dan budaya terjadi. Nah, intinya, masuk Arena tuh kurang lebih kayak kamu masuk di dunia Captain Fantastic.
Atau film “The Secret Life of Walter Mitty” (2013) tentang seorang layouter majalah “LIFE” yang akan mengeluarkan edisi akhir majalah. Tokoh utamanya bernama Walter ditugaskan mencari Sean O’Connell, fotografer yang hidup bebas. Petualangan pun dimulai di tengah kejaran deadline. Walter sampai ke savana Islandia, menghadapi erupsi gunung berapi, sampai Sean ditemukan di pegunungan Himalaya. Kalau kau pernah mendengar lagu Jose Gonzalez berjudul “Step Out” (OST film Walter ini), nah, seasyik lagu itu filmnya. Mungkin dari film ini, Mas Sabiq ingin mengajak anak-anak Arena untuk keluar dari zona aman, menghargai momen kecil, mengejar mimpi, dan menjalani hidup yang benar-benar hidup, bukan sekadar menjalani jadwal.
Berhenti, kita nyanyi sebentar selarik lagu Mas Danto (Sisir Tanah) yang sering diputar di masa saya berproses kala itu, “Bakar petamu jejak baru, bakar petamu jejak baru, panjang umur, keberanian, mati kau kecemasan dan ketakutan….”
Lanjut, Arena juga harus sadar, dia punya banyak pencerita yang baik. Saya tiba-tiba mengingat dongeng-dongeng lucu yang diceritakan oleh Mas Opik ketika moment IHT atau Mas Rimba tentang cerita gempa bumi di Jogja dan ayam-ayamnya ketika acara Malam Sastra. Mas Opik misal, dia bisa bercerita dengan sangat artikulatif terkait kisah Adam dan Hawa yang drop out dari surga dengan bahasa sehari-hari. Adam diturunkan di Hindustan, Hawa diturunkan di Jeddah. Mereka saling mencari, bersyair, bermain gitar sambil nyanyi lagunya D’Bagindas (“bertahan satu cinta, bertahan satu C.I.N.T.A”), Adam melantunkan lagu buat si Hawa. Hingga akhirnya mereka bertemu di Arafah. Atau kisah penculikan Shinta oleh Rahwana yang begitu dramatis bisa dia ceritakan. Dia bercerita tak hanya bercerita per se, bagian paling menariknya, dia juga memberi sudut pandang baru yang tak pernah dipikirkan orang lain. Misal, hal ini yang pernah saya arsipkan dari dongeng Mas Opik, ketika Shinta diculik Rahwana, Rama menanyakan kesucian Shinta. Ada kegelisahan di hati Rama yang meragukan kesucian Sinta. Rama bertanya-tanya, “Apakah Rahwana menjamahmu? Memperkosamu? Sudah di’apa’kan saja kamu sama Rahwana?” Terus, Rama mendiamkan dan menjauh dari Sinta.
Kemudian, Sinta menjelaskan, “Rahwana cuma sekali menyentuhku, saat ia meculikku, setelah itu ia tak pernah menyentuhku lagi, ia sangat menghargai aku sebagai perempuan. Jika kamu cinta padaku, kamu tidak akan meminta apa-apa padaku sekali pun aku sudah tak suci lagi. Kau inginkan tubuhku yang suci, sedang tubuh itu sendiri tak memiliki apa-apa, tak tahu apa-apa, dan tak seorang pun di dunia ini yang tubuhnya suci. Kau menuntut kesempurnaan dariku, sedangkan dirimu sendiri tak sempurna. Justru Rahwana dengan cintanya telah menunjukkan kebesaran hati sesungguhnya. Meski nyawanya terbunuh di tanganmu, ketulusan cintanya tak akan terbunuh”. Di Arena, kami diajarkan untuk mencari alur lain, logika juga seolah dijungkirbalikkan jadi jalan-jalan lain yang lebih membuat penasaran.
Di generasi Arena setelah saya, orang-orang unik tak berhentinya berdatangan dengan deras. Saya membayangkan Arena seperti suaka bagi orang-orang yang semangat pemberontakannya perlu diwadahi, orang-orang tersingkir dan ter-bully yang butuh ditemani, orang-orang yang kecerdasannya luber-luber dan bingung mau diapakan, jiwa-jiwa tua (old soul) yang kecele, juga suaka bagi mereka yang tak punya “rumah” pulang. Di generasi baru Arena saya mengenal Doel, Muja, Wulan, Niam, Ilo, Ajid, Hedi, Sidra, Bagus, Luthfi, sampai Dina dan Aul; mereka memiliki warna mereka sendiri yang mengisi kanvas besar ke-Arena-an dengan karakter mereka masing-masing.
Pasca-Arena: Komitmen dan Loyalitas
(Tembok Arena circa 2015)
Arena pernah dikritik kenapa yang ditulis yang jelek-jelek semua? Mungkin yang bertanya ini belum paham terkait tugas media sebagai watch dog (anjing penjaga) yang mengawasi dan mengontrol kekuasaan, dengan tujuan memastikan integritas, transparansi, dan akuntabilitas lembaga (dalam konteks ini universitas). Hingga sekarang saya masih bangga pada Arena yang terus menjaga kualitas kekritisannya, istilahnya jadi SLiLit di antara gigi atau jadi kerikil dalam sepatu. Memang kecil, tapi sangat mengganggu.
Saya juga pernah berada dalam fase begitu produktif berkarya, saking seringnya, jujur, saya jadi tidak enak sama teman-teman. Jika sebagian anggota Arena masih menganggap kegiatan menulis sebagai pekerjaan yang tidak perlu-perlu amat, maka bagi saya menulis adalah telah menjadi kebutuhan, bukan sunnah atau kewajiban lagi, tapi kebutuhan. Entah kenapa saat itu, jika saya tak menulis ada rasa kurang, seperti halnya orang lapar harus makan, maka ketidaklengkapan saya harus diisi dengan menulis. Tak hanya menulis, saya juga mencoba untuk aktif melakukan kerja-kerja pengarsipan, hingga saya lulus dari Arena, paling tidak yang tercatat di arsip, saya sudah menulis sekitar 188 tulisan online, belum ditambah tulisan di SLiLit, majalah Arena, dan blogspot. Kalau dihitung-hitung selama saya di Arena, seminggu paling tidak saya menulis satu tulisan. Di Arena, tak terhitung sudah berapa kali saya mendapat kritik, baik di dari narasumber di rektorat, hingga kawan-kawan sendiri. Kritik-kritik itulah yang membentuk saya.
Kenapa saya aktif menulis? Hm, mungkin sudah jadi panggilan natural. Saya juga ingat ungkapan scripta manent, verba volant (yang tertulis akan abadi, yang terucap akan binasa). Di tembok Arena saya pernah membaca kalimat ini, “Bagi insan Arena, aktivitas menulis adalah aktivitas mengabadikan sejarah perlawanan.” Sekali-kali kita memang perlu membuat rusuh agar berkembang. Rusuh dengan kebijakan rektorat yang tak adil, rusuh dengan argumen-argumen yang gak ngotak, rusuh dengan penindasan, penjajahan, dan pembungkaman. Tentu menulis bukan jalan ninja satu-satunya jika berbicara tentang ke-Arena-an, masih ada bidang-bidang lain seperti layouter, desainer, fotografer, sampai dulu perusahaan yang mencari iklan dan menjual bulletin SLiLit.
Arena tidak hanya sebagai newspaper, tetapi juga viewspaper, dan lebih keren lagi, alternativepaper. Arena perlu menguatkan prinsipnya sebagai media “alternatif”, di mana istilah ini merujuk dalam sejarahnya pada proses perjalanan yang berdarah-darah, bukan jalan mainstream yang lurus-lurus saja. Pun ketika tulisan di Arena jadi, kita juga tak bisa menghalangi kritik itu datang. Sebagaimana kata AS Laksana, kritik yang baik adalah kritik yang bisa “menghantam kepala”. Artinya, kritik yang tak hanya bahas permukaan, tapi juga mengenai inti masalah atau kekurangan, yang membuat seseorang sadar dan merenung.
Memahami logika yang ada di balik keputusan menjadi skill penting di tengah situasi yang anomie. Anomie, suatu kondisi masyarakat yang kehilangan nilai, moral, dan hukum. Istilah ini dikenalkan oleh Émile Durkheim, sosiolog Prancis, ketika menjelaskan kondisi individu yang kehilangan arah, disorientasi, ketidakpastian, karena runtuhnya norma-norma sosial yang memberikan panduan hidup. Individu yang terasing, tak punya tujuan dan dukungan sosial. Apalagi di tengah berbagai delusi keagungan maya.
Soal dunia digital, Kakak Ahmad Jamaludin atau yang kerap disapa Bung James (pemuda yang penuh keresahan, yang mendalami pemikiran Byung-Chul Han) itu pernah ngobrol santai dengan saya, Anis, dan Maya di suatu sore di depan sekret dengan kursi besi yang dudukannya bolong-bolong itu. Kami bercakap-cakap tentang media sosial dan para aktivisnya. Orang yang terlalu aktif di medsos aktif di dua dunia (dunia saat ini dan dunia bayang-bayang). Orang mudah membagikan perasaan dan pemikirannya yang kebanyakan semuanya “asumsi” atau spekulasi atau singkatnya tidak jelas (ora cetho) karena sok tahu, asal comot gagasan, tulisan, statement orang. Bahkan di titik yang sangat narsis, fenomena menyukai status sendiri sebagai bentuk penghargaan pada diri sendiri katanya. Padahal bentuk penghargaan ke diri sendiri ini bisa lewat banyak cara selain “nyetatus” dan me-like-nya sendiri.
Saya juga ingin berefleksi dengan pertanyaan lanjutan, apa yang orang susah punya saat ini? Barangkali saya akan menjawab: kesetiaan dan loyalitas yang mendalam akan apa pun yang sudah menjadi pilihan hidup. Saya teringat dengan ucapan kawan saya saat kami bersepedahan bersama, pertanyaan dia cukup filosofis, “Kenapa orang mudah sekali berganti minat, haluan, pekerjaan, hingga program studi? Di mana komitmennya?” Di titik ini saya juga mulai sadar, jika setiap pilihan yang kita ambil apa pun itu akan selalu mengandung ketidakpuasan dan keluhan. Bukankah Allah SWT telah berfirman dalam Surat Al-Ma’arij ayat 19, “Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh.” Ayat ini semacam jadi ultimatum agar jangan sering mengeluh. Tapi intinya, dalam perjuangan kita tak bisa memilih hanya yang baiknya saja, lalu mengeliminasi hal-hal yang tak mengenakkan dan penderitaan. Di Arena, saya juga pernah mendengar pertanyaan, apa yang paling mendekatkan kita selain penderitaan yang kita rasakan bersama? Justru dengan penderitaanlah seseorang bisa menguji dirinya dan menunjukkan kualitas diri yang tak tertutupi kabut-kabut.
Di masa mendatang, saya ingin ada bahasan pula terkait: Bagaimana posisi anak-anak Arena di tengah belantara intelektual Indonesia? Distingsi apa yang dimiliki Arena? Menentukan karakter diri dari jalur ke-Arena-an secara sadar adalah ciri khas yang membedakan Arena dari lainnya. Di lingkungan seperti UIN, banyak orang pintar, namun hanya sedikit yang berkarakter, dan Arena memiliki yang sedikit itu. Membaca dan menulis adalah kebutuhan bagi Arena, sebuah fondasi yang membentuk karakter. Saya percaya, Arena bukan hanya komunitas intelektual, tetapi juga ruang di mana karakter dibentuk dan dipertahankan dengan kesadaran penuh. Inilah yang membuat Arena unik dan istimewa di tengah arus intelektual Indonesia.
Tantangannya, setiap anggota Arena memiliki potensi, namun tidak semua dapat beraktualisasi. Tinggal seberapa konsisten anggota berjalan di titian ilmu? Seberapa berdedikasi Arena dalam bekerja dalam diam? Sekonsisten apa Arena berkomitmen pada jalan intelektual? Kecintaan pada ilmu yang diiringi dengan komitmen tinggi, terlihat dalam ungkapan seperti, “Saya menikmati pekerjaan saya. Saya menikmati hidup saya. Bahkan, 50 tahun lagi, saya akan setia pada hidup yang saya pilih.” Asketisme ilmu pengetahuan ini penting, kawan.
Terakhir, saya ingin menutup tulisan ini dengan perkataan Nietzsche yang pernah disadur oleh Mas Opik dalam suatu dongeng, “Jadilah air laut yang menampung banyak air keruh tanpa harus menjadi keruh.” Sekali lagi, selamat ulang tahun ke 50, Na!
*Pemimpin Redaksi LPM Arena 2016/2017, bersama kawan-kawan menerbitkan majalah Arena bertajuk “Sektor Informal” | Foto Dokumentasi Pribadi