Home MEMOAR Masuk Arena, Hidup Tidak Pernah Tenang

Masuk Arena, Hidup Tidak Pernah Tenang

by lpm_arena
arena 2013
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Muhammad Faksi Fahlevi*

Bayangkan kamu dilahirkan di keluarga miskin, di kota miskin, di negara miskin, dan saat kamu masuk Arena dituntut menolak kemapanan. 

Lpmarena.com- Gila! Itu kesan pertama yang saya rasakan menjadi gerombolan Arena. Lalu senior bilang, “Kita harus menolak birokrasi dan kapitalisme, ini bukan persoalan uang, tapi martabat,” ungkapnya.

Waktu wawancara sama Mbak Ulfa, saya lihat tulisan, nasib baik memang tidak dilahirkan, dilahirkan tapi mati mudah, quote dari Soe Hok Gie, yang menambah kecemasan saya untuk masuk Arena. Apalagi ketika melihat dinding menyeramkan penuh kalimat angkuh dan tegas. Entah siapa yang menulisnya, tapi begitulah kurang lebih gambaran otak-otak penghuninya.

Sebenarnya, bukan itu yang ingin saya ceritakan. Beras sudah terlanjur jadi bubur, apa pun yang kita dapat di Arena adalah bekal yang baik menuntun ke masa depan. Mungkin, jika saya tidak masuk Arena, bakal menjadi penyesalan hidup yang akan saya rasakan.

Dalam banyak literatur sejarah, organisasi ini berani melawan kebijakan Orba yang sangat terkenal berbahaya, keras dikit hilang nyawa. Walaupun kondisinya berbeda di zaman saya, kampus keras, dikit hilang arah cari tuak murah, setel lagu Nirvana, kadang kalau ada Bung Jamal, disetellah lagu-lagu Lala Widy dan Gerry Mahesa!

Kecuali Isma, “No Drugs, No Alcohol” juga. Bahkan sampai sekarang, saya tidak tahu selera musiknya apa. Tapi saya beruntung satu angkatan dengan dia (2013), sebagai pemegang buku merah. Isinya catatan celotehan kita tentang keberanian, tekad, nyali, dan kegilaan utopia.

(Rifai Asy’ari (tengah), sedang bersama pasukan melakukan finishing SLiLiT)

Arena bagi saya tidak hanya lembaga literasi yang melahirkan penulis dan reporter saja. Arena itu sumber pengetahuan banyak hal, di antara yang selalu memikat hati saya sampai sekarang adalah sistem kaderisasinya yang konsisten, kuat, dan adaptif. Hal bisa dilihat alumninya menyebar di banyak sektor. Sektor ini terspektrum dari dosen, petani, bisnis, kiai, LSM, politik, dan jurnalistik tentunya. Sejauh pengetahuan saya, hanya dokter yang belum ada. 

Kuatnya sistem kaderisasi bisa dilihat dari bagaimana Arena bisa melahirkan orang seperti Rifai Asy’ari. Saya sebagai teman dekatnya tahu betul prosesnya di LPM Arena. Awal mendapat tugas nulis berita ia tidak bisa membuat paragraf berita di komputer jinjing Acer kesayangannya. Ia harus capek-capek nulis dulu di kertas, lalu disalin ke mesin ketik dengan alasan otaknya buntu—sebelum kenal ciu. Goalnya dia jadi Pemred pada akhirnya.

Terakhir, yang paling keparat, anak-anak Arena zaman saya itu 100% mengaku dirinya filsuf dari aliran filsafat tertentu. Bayangkan saja, Andi Robandi seorang Derridian. Andi berdebat isu UKT dengan Bung Jamal sang Althusserian, serta filsuf yang lainya. Bangsat memang diskusi sampai larut malam. “Pembacaan isu harus tuntas sampai akarnya Bung,” ungkapnya. Apalah saya yang hanya pengagum Mas Rimba, sang penakluk gunung-gunung di seluruh Indonesia.

(Arena 2010 dan 2013 melakukan pendakian ke puncak Gunung Lawu, pendakian dikoordinatori oleh Rimba (paling kanan))

Saya bangga jadi Arena. Apa pun jalanya, sekarang Arena tetap mengajarkan cinta (kemanusian), serta kebijaksanaan dalam cara berkawan. 

Selanjutnya untuk mereka para penindas, perampas, dan penjajah, hanya ada satu kata: “Lawan!”

Penutup, “I have always fought for concrete facts, for justice” (Fidel Castro). Semoga ketidaktenangan pikiran pada ketidakadilan terus mendorong kita untuk tidak lupa dengan cita-cita Arena, “Kancah Pemikiran Alternatif.” 

Selamat ulang tahun ke-50, Arena.

*Angkatan 2013, pernah jadi Koordinator Jarkom, lalu menjadi Wakil Pemimpin Umum (PU) Arena 2015/2016, dan tidak punya karya populer di LPM Arena | Foto Dokumentasi Pribadi