Oleh: Ahmad Taufiq*
Kepada pemeluk teguh:
Tuhanku,//Dalam termangu//Aku masih menyebut namaMu
Biar susah sungguh//Mengingat kau penuh seluruh
cayaMu panas suci//Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
…
(Chairil Anwar, Doa)
Lpmarena.com- Saya sudah menulis panjang untuk ultah Arena 50 tahun sejak Isma menjapri, sekira 2.500 kata. Tinggal ditambah 27.500 kata lagi sudah jadi novel berlatar persma menyaingi karya Muhidin M. Dahlan. Untuk saya yang kini lebih akrab dengan tumbuhan timbang tulisan, itu ngeri. Tapi soalnya, buat apa tulisan seperti itu, bukankah lebih mengerikan jika dibaca orang-orang? Untuk itulah, maka urung saya kirimkan: biar jadi catatan pribadi. Sebagai pengganti, saya menulis ulang, yang singkat, kalau bisa, tepat 500 kata seperti batasan minimal dari panitia. Itu pun harus dikurangi intro—dan intronya harus dipanjang-panjangkan agar pembaca bosan dan berhenti di paragraf pertama.
Begini, tahun 2010-2014 sepanjang di Arena, menjadi tahun-tahun paling memabukkan dalam hidup saya. Sepertinya, setengah sadar saya bergelut dengan wacana (kiri), musik koplo, organisasi, demonstrasi, dan yang paling penting sebisa mungkin tidak menulis berita. Ya, saya bagian dari mazhab sesat bahwa ber-Arena tidak harus menulis berita, bahkan tak harus menulis apa pun. Meski saat demonstrasi gabungan, saya sering kebagian menulis pers rilis, ya karena perwakilan dari Arena, atau saat diskusi gabungan lintas Persma UIN Suka juga harus menulis materi, karena wakil dari Arena. Arena di sini jadi semacam kutukan bagi saya. Ironis.
Yang pasti, pergumulan di Arena membuat saya seperti bisa menghayati perasaan Nietzsche, bersalaman dengan orang beragama hanya membuat saya ingin cepat-cepat cuci tangan. Semakin kuat beragama, terasa semakin menjijikkan, sehingga tak cukup dibasuh air tujuh kali ditambah debu. Itu intinya. Lalu Marx, bahwa candu (agama) tetap dibutuhkan untuk orang-orang yang kelewat melarat, sekadar agar tak buru-buru mengakhiri hidup. Tapi kalau cuma hidup, kecoak juga hidup. Orang-orang yang otaknya kosong digerogoti kecoak juga hidup. Buat apa hidup? Adakah alternatif di luar hidup selain mati? Inilah missing link yang tak ditemukan Darwin sampai ia mati. Sayang sekali. Pasti ia tak pernah masuk Arena. Kalau sempat masuk, minimal akan sedikit paham bahwa laku ber-Arena mirip ajaran Syekh Siti Jenar, urip sakjroning mati, mati sakjroning urip, yang disalahartikan jadi mendem kedanan.
Ya, masuk Arena membuat saya belajar mengenal hidup manusia. Termasuk hidup di ruang “antara”. “Antara” ini bisa bermakna ganda, ala Jawa di atas atau ala Yunani kuno yakni agora sebagai ruang antara oikonomos dan eklesia. “Antara” yang hilang di tengah derap modernisme-kapitalisme.
Begini, berdasar diagnosis, saya adalah penyandang sindrom autistik pasif sejak kecil. Saya sulit bersosialisasi, juga sulit berkomunikasi, sehingga ketika beranjak dewasa baru menyadari bahwa itu bagian penting untuk jadi manusia. Maka, dengan panduan buku sebangsa cara berkomunikasi dan bersosialisasi, Arena adalah ruang praktik saya. Namun, di Arena, tiba-tiba saya bukan belajar sosialisasi dan komunikasi, melainkan sosialisme dan komunisme. Wow. Ini bagi saya adalah lompatan luar biasa mengalahkan program lompat-lompatnya ketua Mao. Hingga ujungnya harus dipungkasi revolusi kebudayaan dalam diri saya. Maksudnya, saya mabuk.
Membentuk yang Remuk
“Tuhanku//Aku hilang bentuk//Remuk”.
Jika begawan Tan Malaka menyabda “terbentur, terbentur, terbentuk”, saya merasa laiknya sajak Chairil, “hilang bentuk, remuk”. Sudah begitu, masuk pula di organisasi tanpa bentuk.
Untuk itulah, sepertinya tulisan ini yang mulanya tanpa arah, sekarang sudah punya tujuan. Yakni membentuk yang remuk itu. Biar saya urut pelan-pelan. Ya, di Arena saya belajar mengenal. Sekali lagi, saya baru belajar berteman. Sesuatu yang mungkin orang lain mampu menjalaninya dengan sangat mudah.
Di markas Arena gedung SC, gedung yang lebih mirip tempat penangkaran satwa jinak, pertama kenal yang saya ingat adalah aktivis perempuan (((senior))) Arena. Nampak berkeringat karena sibuk dengan berkas-berkas, lalu ketika saya masuk, tiba-tiba kami salaman, “Panggil aku Anik saja, gak pake mbak,” katanya singkat, bernuansa egaliter. Dan ingatan saya melayang pada bukunya Pramoedya, “Panggil Aku Kartini Saja”. Ini pasti organisasi ngeri pikir saya. “Iya, Mbak.” Sampai sekarang saya memanggilnya mbak.
Lalu, saya ikut IHT 1, ada sekira 75 peserta “terseleksi” dari 119. Saya, yang ingin belajar berteman, pusing jika harus menghafal semuanya. Maka saat seleksi alam berlangsung, perlahan saya hafal teman seangkatan saya ketika sudah sama-sama jadi pengurus. Biar saya tulis ulang dari diari. “Intan, perempuan dramatis dan enerjik. Robi, pemuda serius seperti Tan Malaka. Juju, anak Melayu yang gigih berintegritas. Folly, lebih gigih lagi. Ayu, relijius, ulet, cerdas. Indah, tidak kalah ulet dan cerdasnya, dan taat beragama laiknya perempuan Betawi. Taufiq, mengagumkan, bisa jadi penghubung semua. Rimba, lucu dan cerdik, suka alam liar. Hari, alias Pongge, bisa jadi pemuda revolusioner seperti kakeknya (sensor). Lalu Bayu, pendekar sakti nan misterius dari Ponorogo…..”
Dan era kepengurusan Syukur, lalu Ulfa-Anik adalah era yang mendukung program pribadi saya. Saat itu, kegiatan yang banyak selain diskusi dan aksi, adalah makan-makan (disubsidi dana Arena selain bantingan), ngopi-ngopi, dan jalan-jalan.
Soal jalan-jalan, barangkali jenis jalan-jalan Arena itu bisa dianggap masuk akal jika kita hidup di era Mataram Kuno. Bayangkan saja, kita pernah ke Candi Sambisari sebagai bagian dari program pendidikan anak magang yang dipimpin Folly, dengan jalan kaki dari SC sampai ke situs, melewati jalur khusus masuk gang-gang sempit, pematang sawah, menyeberang sungai. Kalau ini bagian dari pendidikan jurnalistik, apakah ini masuknya jurnalisme alam liar? Ini pasti pengaruh Rimba.
Begitu pula saat tahun baru (2012), ketika yang lain berhamburan di jalan raya menikmati gebyar kembang api, kita menikmatinya dengan zikir tengah malam di pelosok desa dengan iringan hujan yang sangat deras, lalu paginya terjun susur goa. Bagi saya waktu itu, kata “Arena berzikir” adalah semacam oksimoron. Begitu juga jurnalisme dengan susur goa, diiringi dengan kisah dedemitan. Ini jurnalisme manusia purba atau investigasi alam gaib? Yang ini juga pasti idenya Rimba.
(Susur alam Arena)
Rimba memang kawan yang (terpaksa) salah masuk UKM, karena UKM pecinta alam Mapalaska biaya daftarnya mahal sementara Arena gratis. Jadinya Arena diseret sesuai kemauan udelnya, dengan kemampuan manipulasinya yang sangat memukau itu. Hingga pernah kawan-kawan diajak naik Gunung Merbabu sampai terjebak badai di sana, dengan tenda banyak lubang. Tapi yang ini saya tak ikut jadi saksi, selain mendengar cerita betapa kapoknya mereka.
Kemudian mengenai ngopi-ngopi, saya jadi mengenal aneka kafe atau kedai-kedai kopi di Jogja. Mulai Blandongan dan Kebun Laras, sejenis kafe hasil asimilasi budaya ngopi Pantura Jawa dengan Jogja, dengan segmen mahasiswa melarat. Menyusul kafe Blackstone yang legendaris, berdinding hitam bernuansa kelam, yang bergumul di dalamnya jurnalis, artis, dan aktivis under (sultan) groud, dengan segala dinamika urusan yang paling uluhiyah hingga (terutama) perut dan under-nya. Satu-satunya kafe yang pemiliknya bisa jualan secara subversif.
Pernah kita capek-capek jalan dari SC kesana sekira jarak 1 km, tiba-tiba Mas Buyung, sang pemilik bersabda, “kafenya tutup, kalau mau di sini Wifi-an, monggo. Tapi beli kopi dan cemilannya di luar saja bawa kesini.” Untuk itulah, terkadang kami sebagai pengunjung juga tak mau kalah subversif. Maksudnya, kami ngopi di situ tapi bawa minuman sasetan sendiri, bawa kompor mini sendiri. Rebus kopi sendiri! Ini jelas ulahnya (lagi-lagi) Rimba. Liar kawan satu ini.
Akhirnya Blackstone mati karena lahannya digusur, tapi tidak mati di catatan saya. Kafe ini pernah jadi tempat penghubung antara Arena dengan LPM Ekspresi UNY, suatu persma yang paling setia membersamai Arena. Mungkin karena nasibnya mirip. Yang jelas kita sering ngopi bersama di situ. Saling lirik program kerja dan program keluarga gagal berencana. Ekspresilah yang berjasa menyambungkan Arena kembali dengan persma lain setelah secara tak sengaja Arena menerapkan kebijakan isolasionis.
Jalinan antar persma itu membawa berkah tersendiri, wujudnya adalah keberadaan website lpmarena.com yang lebih layak setelah Taufiqurrahman Sn (PU dua dunia), bermalam (catat: ditemani saya, hahaha) di markas LPM Pendapa mempelajari website. Suatu prestasi yang mengantarkan dirinya ke kursi kepemimpinan setelah masa transisi (dengan Pongge, sang pemuda revolusioner, sebagai Pj. PU) karena ada semacam “kudeta” atas kepengurusan sebelumnya dengan drama penculikan Mbak Ulfa sebagai PU ke kos-kosan Juju. Namun, akhirnya kursi keramat PU itu dijadikan pijakan Taufiq memasuki dunia lain. Maksudnya, dia pernah beberapa hari hilang dari peredaran SC, sehingga Arena sempat vacum of power. Tapi tiba-tiba dia nongol di televisi ikut acara Uji Nyali, dirasuki demit bernama Mbah Darjo setelah sibuk bermain gamelan Balekambang. Menggegerkan sekali.
(Masa-masa itu, dari kiri ke kanan: Taufiq, Opik, Bayu, Rimba, dan Folly)
Pada era kepemimpinan Taufiq ini sepertinya Arena lebih kaffah lagi dalam urusan perklenikan. Acara pelatihan di tengah hutan, hutan jati lalu hutan bambu, yang penuh sarang ular, kemudian tempat-tempat terbengkalai yang lebih cocok sebagai tempat orang cari pesugihan, atau tanah terkutuk sisa-sisa ritual sesat, dan seterusnya. Jadi, kalau sampai di acara itu ada yang kesurupan, nah, artinya itu sesuai tujuan. Siapa tahu bisa kita wawancarai. Ya Allah, ini pers mahasiswa atau koran Merapi? Tapi ya sudahlah. Memang begitu adanya.
Sementara itu, kursi Pimred ditempati kawan Robi, sosok pemuda Minang yang mirip dengan Tan Malaka. Dialah arsitek baik struktur kepengurusan organisasi maupun warna jurnalisme generasi saya, yang pengaruhnya sampai jauh ke depan. Dialah peletak dasar jurnalisme sastrawi di Arena, yang legasinya terus ditradisikan minimal dalam pelatihan jurnalistik sampai sekarang. Sampai saya berpikir bahwa arwah Tan Malaka benar-benar menitis padanya.
Keredaksian waktu itu seperti berlangsung optimal. Mungkin berkat keberadaan Ayu, Intan, Indah, Folly, Rimba, dan Bayu yang jurusannya KPI dengan spesialisasi jurnalistik, yang kemudian nyaris semua jadi jurnalis tangguh. Saya yakin mereka ini ke depan akan mewarnai jagat intelektualisme Indonesia masa depan. Sementara Juju dan Pongge dari Divisi Pusda juga bekerja keras dalam senyap, membuat Arena berdiri tegap. Berdua ini nantinya layak menjadi petinggi Badan Intelijen Negara.
Adapun saya pribadi kebagian mengisi di PSDM. Ke depan, saya baru menyadari bahwa posisi ini kurang cocok untuk saya yang lebih sering hidup dalam kepala. Maka waktu itu, sebagai koordinator PSDM, saya langsung mengkhayalkan agar Arena menyusun mazhab pemikiran tersendiri, melangkahi Lingkar Wina dan Frankfurt. Jargon Arena, “Kancah Pemikiran Aternatif”, harus dilaksanakan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya dengan minimal bisa mendirikan, katakanlah, Mazhab Gajah Wong. Makanya, waktu itu kita (lewat rapat anggota) menyusun kurikulum sekolah pemikiran sebagai upaya menggodok para filsuf-intelek dengan diskusi intens 3 kali seminggu, dari jam 4 sore sampai SC tutup. Kita juga menyusun puluhan buku wajib yang harus dibaca bagi anggota Arena. Tentu saja buku-buku yang kami anggap babon. Seiring jalannya program ini, sepertinya banyak yang stres. Saya sendiri stres. Sebab itu, akhirnya lebih sering ikut demonstrasi, yang salah satu tujuannya demi keseimbangan kejiwaan. Ya, sekedar bisa melempar jumroh pada polisi, atau menyandera mobil tangki Pertamina di perempatan UIN, bisa membuat jiwa saya terasa lebih tenteram. Hasilnya tentu bukan tercipta mazhab baru, tapi kegilaan baru.
Kegilaan mengorganisir dan demonstrasi saya sebagai ekspresi kejiwaan itu ternyata didukung penuh kawan-kawan, khususnya PU. Kami menginisiasi perkumpulan pers mahasiswa di UIN Suka yang berfungsi sebagai wadah untuk saling menguatkan, khususnya waktu itu membantu persma fakultas untuk tetap bertahan atau kembali hidup setelah vakum. Kami terlibat intens dalam berbagai aliansi gerakan jalanan, khususnya sayap kiri di Jogja, dari kiri tengah, kiri marxis hingga anarkis. Ya, anarkisme juga sempat mewarnai cuaca Arena. Jejaknya barangkali bisa dilihat dari penampakan Sabiq dan Isma sebelum mereka taubat.
Namun, dalam hal kaderisasi, sepertinya angkatan kami termasuk gagal. Kami gagal mempertahankan seangkatan Jamal dan Icus yang tepat setelah kami, yakni tahun 2011, hingga menyisakan sedikit anggota. Mungkin karena dominasi atau akrobat kebijakan yang turut kami susun membuat mereka hengkang. Sebab itu, pada angkatan 2012, sepertinya kita jadi lebih wise sehingga banyak yang bertahan. Entahlah.
(Tirakat untuk menerbitkan majalah)
Salah satu tradisi Arena adalah setiap pengurus baru bisa absah jika sudah menerbitkan majalah “Wong Cilik di Pusaran Konflik” saat mau berganti. Dalam hal ini, saya tergolong yang su’ul khotimah di antara teman seangkatan, karena tak mampu berkontribusi menulis reportase. Padahal semuanya gigih mencurahkan jiwa raganya, hingga dibela-belai jadi pemulung untuk biaya cetak. Ini yang membuat markas kami yang sudah sesak itu jadi lebih sesak lagi dipenuhi kumpulan aneka botol atau kardus hasil pulungan. Ini juga kegilaan tersendiri.
Tetap Remuk
Tak terasa, tiba-tiba sudah masuk tengah tahun 2014, tahun di mana era kepengurusan seangkatan saya sudah harus ganti. Padahal menurut saya, angkatan setelah kami ini belum siap. Maksudnya, angkatan Jamal hanya tersisa 2 atau 3 orang, sementara 2012 kami anggap terlalu dini. Tapi biarlah, Jamal dan Icus, dilihat dari aura hidupnya, terbiasa yang berat-berat. Dan benar, mereka bisa melaluinya dengan luar biasa.
Setelahnya, mungkin hanya saya saja yang masih kecanduan Arena. Sebab itu, terkadang saya masih ke sekret Arena di SC, sekedar untuk merecoki tipis-tipis diskusinya, atau menikmati musik Arena yang mulai berlangsung pergeseran genre, dari koplo ke indie. Ornamen dinding juga mulai berubah. Tapi rona marxisme masih terasa menyala. Ya ya, kiri komunis memang lebih cocok untuk kami waktu itu dibanding anarkis. Bukan soal berat seperti ideologi, tapi kata seorang kawan Arena 2012 yang kini jadi pengasuh ponpes, jadi anarkis itu mabuknya mahal. Sekelas kita hanya kuat beli ciu campur fanta.
Sebagian kawan seangkatan kemudian mulai wisuda dan pindah kota. Sepi jadi lebih terasa. Hingga saya memutuskan untuk cari jenis kegiatan yang sejauh mungkin dari dunia yang mirip dengan Arena. Tapi sayangnya, ke-Arena-an masih membekas dalam diri saya. Hingga sekarang. Mirip mantan pecandu sabu yang masih tremor sebab ada bagian syaraf otaknya yang bergeser. Ya, begitulah kira-kira.
Sampai di sini sepertinya tulisan ini sudah mencapai tujuannya, meski tujuan yang lebih tersembunyi tetap tak tercapai. Yang remuk tetap remuk tanpa bentuk. Dan saya tetap tak mampu menulis salah satu yang paling meremukkan hati saya di sini. Sebab menulis dalam hal ini butuh sepenuh sadar, sementara kesadaran, seperti kata Rendra, adalah matahari. Dan matahari itulah yang membakar saya. Habis.
Akhirnya, tulisan ini harus saya akhiri sebab sudah 4 kali lipat dari rencana. Mari kita pungkasi doa Chairil di atas.
Tuhanku//aku mengembara di negeri asing
Tuhanku//di pintuMu aku mengetuk//aku tidak bisa berpaling
*Kerap disapa Opik, bergiat di Arena pada tahun 2010-2014 | Foto Dokumentasi Pribadi