Oleh: Hedi*
Lpmarena.com- Cerita ini harusnya ditanam dalam-dalam. Bila perlu malaikat jangan sampai tahu.
Ia bukan aib. Tapi kejadiannya memperlihatkan betapa ketololan menyertai dan menempel pada paru-paru takdir.
____
Arena memang brengsek. Ia mencuci otakku. Tentu saja itu mudah ia lakukan. Sebab, tak akan ada perlawanan kritis. Jangankan nalar kritis, untuk menyusun kalimat tanya saja, saat awal bergabung Arena, masih belibet.
Aku mengikuti In House Training, proses awal menjadi anggota magang Arena tahun 2016. Di sana diberikan materi kejurnalistikan dasar macam 5 W + 1 H, struktur penulisan berita pendek—straight news. Ada juga materi ndakik-ndakik yang mereka sebut Ansos, analisis sosial.
Materi terakhir itu tidak begitu aku mengerti. Masa, waktu itu aku ditanya mengapa kemiskinan terjadi? Kenapa harus sekolah? Kenapa UKT UIN Suka sangat mahal? Kenapa cuaca sekarang justru menjadi bencana?
(Masa-masa akhir kepengurusan periode 2019/2020)
Pikirku, ya, karena orang miskin takdirnya memang begitu. Rezekinya hanya segitu, atau mungkin malas bekerja; soal sekolah, ya memang harus sekolah, supaya bisa kerja dan kaya; kalau UKT, aku tak merasa kemahalan, aku hanya perlu mengeluarkan Rp400.000 per semester saat itu.
Tapi Arena, sebagaimana yang kubilang di awal, dasarannya adalah pencuci otak. Ia dengan mudah mematahkan jawaban yang saya anggap sangat masuk akal. Arena punya pandangan aneh, yang saat itu aku sebenarnya tak menyimak serius, tapi intinya bahwa semua yang terjadi karena dibuat. Kemiskinan tak muncul ujug-ujug.
Aku lupa penjelasan detailnya dari materi Ansos itu. Yang kuingat hanya dialektika materialisme.
Materi Ansos dilanjutkan semacam praktikum. Aku dan beberapa calon anggota magang diminta keluar kelas untuk mengamati sekitar. Kami diminta membaca fenomena selama seharian.
Hasil pengamatannya akan dituangkan dalam bentuk tulisan berita pendek, straight news.
Keluarlah aku dari kelas. Waktu itu kelasnya di Pondok Pesantren Kaliopak. Aku memilih rute menyusuri Kali Opak.
Sambil berjalan dan memperhatikan sekitar, aku mencoba mengingat-ingat materi Ansos yang disampaikan tadi. Sesaat kemudian, aku melihat tepian kali yang butek karena limbah pabrik.
Aku pun mengaplikasikan materi Ansos. Kutarik kesimpulan awal, bahwa pada dasarnya air itu jernih. Kejernihannya membuat ikan hidup sehat, dan akan menjadi gizi untuk manusia. Tapi karena limbah pabrik, kali tercemari. Hidup ikan pun pasti terdampak.
Ansos itu kutuliskan. Aku menuliskan perasaan ikan yang tempat hidupnya dihitamkan oleh limbah pabrik. Aku menceritakan kondisi sungai yang keruh.
Tulisan kuserahkan ke pengurus Arena dalam bentuk straight news.
Hari berikutnya, tulisan kami calon anggota magang Arena, dibaca dan direview redaktur. Di sinilah kegoblokan memalukan terbongkar.
Wulan Agustin, editor lpmarena.com, berdiri di atas kursi sambil sedikit berteriak, menahan tawa: “Ini, ini, ini ada tulisan tentang kehidupan ikan…”
Aku tidak ingat kalimat lanjutan dari Wulan. Yang kutahu anak-anak Arena sudah riuh tertawa. Mereka menertawakan wawancaraku dengan ikan. Saat itu aku ingin menghilang di tempat.
Ngakak penghuni sekretariat Arena semakin bangsat saat Wulan lanjut membacakan kutipan di tulisan ikan itu, yang aku sendiri lupa bunyi kutipannya seperti apa, tapi cara dan momen Wulan membaca atribusi penutup kutipan tersebut masih terang betul di kepalaku.
Wulan membacakan dengan keras dan bernada: “Begitu kira-kira perasaan ikan,” semua terbahak. Termasuk Lugas yang terkenal tawa emas.
Wulan memberi jeda tawa beberapa detik, lalu mengeluarkan kalimat berikutnya. “Kamu wawancara ikan?” tawa se-SC semakin lepas.
Bajingan orang-orang ini. Itu tulisan pertamaku di Arena. Mewawancarai ikan.
____
Selamat ulang tahun ke-50, Arena. Terima kasih telah membuatku sedikit gila. Tumbuhlah liar serupa gulma.
*Saya Hedi yang terpaksa jadi Pimpinan Redaksi tahun 2019-2020 | Foto Dokumentasi Pribadi