Home MEMOAR Belajar dan Bertanya di LPM ARENA

Belajar dan Bertanya di LPM ARENA

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Robby Kurniawan*

Lpmarena.com- Sebuah pesan masuk ke ponsel saya malam itu. “Menurut Mas Robby, bagaimana kalau SLiLit tidak diterbitkan lagi oleh pengurus ARENA?” lebih kurang begitulah isinya. 

Malam itu tengah dilangsungkan Rapat Tahunan Anggota (RTA) kepengurusan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) ARENA 2018 (?). RTA adalah agenda penting. Selain dijadwalkan untuk pergantian kepengurusan, RTA juga diisi dengan pembicaraan terkait rencana dan target program satu tahun kedepan. Biasanya demisioner, seperti saya, juga turut hadir, diundang. Sayang sekali, saya berhalangan. 

Mendapati pesan dari rekan demisioner yang hadir di ruang RTA, saya mencoba menelpon. “Apa alasan mereka untuk tidak menerbitkannya lagi? Ini akan jadi keputusan besar,” saya membatin. Saya ingin mendengar langsung.

Suara rekan diujung telepon sana tidak begitu jelas, barangkali karena sinyal, karena memang biasanya RTA diagendakan di tempat yang cukup berjarak dengan keramaian kota. Barangkali juga karena saat mengabari, keputusannya belum final. Akhirnya saya hanya bisa menunggu.

____

Saat pertama kali bergabung sebagai anggota magang LPM ARENA pada 2010, saya sekaligus adalah mahasiswa baru Ilmu Hukum di Fakultas Syariah. Tidak ada hubungan langsung, yang saya ketahui waktu itu, antara keduanya. Sebagai mahasiswa baru, Ilmu Hukum dibayangkan sebagai jalan lurus menjadi alat pranata publik, seperti hakim, pengacara, jaksa, notaris, atau jika melenceng tipis namun masih bernasib baik, saya bisa menjadi anak buah orang-orang yang mengurusi kebijakan dan pemerintahan. 

Sedangkan ARENA, saat sesi perkenalan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di masa ospek, tidak terlihat mirip dengan pranata hukum. ARENA digambarkan sebagai kelompok pencari berita. Video perkenalan mereka bahkan menampilkan orang-orang yang memburu keterangan dari pimpinan kampus, dengan doorstop juga wawancara eksklusif. 

Saya pikir, mungkin UKM ini dapat menjadi “selingan” nantinya. Diktat hukum terkenal membosankan. Saya pun mengikuti tahapan penjaringan anggota. 

(Suasana IHT)

Tidak seketat dan serumit yang dibayangkan. Semua peserta yang melengkapi syarat dan bersedia mengikuti pendidikan dasar In House Training (IHT) 1, dapat magang di LPM ARENA. Sangat longgar sekali. Bahkan di kemudian hari saya tahu, anggota yang tidak mengirimkan syarat pun dapat bergabung. Asal konsisten setelah penetapan magang. 

Alasannya, kepengurusan ARENA waktu itu sangat sedikit sekali. Mereka membutuhkan anggota baru yang cukup tebal untuk proses kelanjutan organisasi. 

Selanjutnya, dapat ditebak, proses belajar di ARENA tidak dapat disebut sebagai “selingan” saja. Berbeda dengan kawan-kawan ARENA yang lain, yang mungkin punya alasan yang cukup “filosofis” terkait dengan konsistensinya belajar, saya justru mantap karena menyadari kekurangan diri saat di ARENA: Saya tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik!

Berbicara masih kikuk. Menulis dengannya: Buruk!

Saya menyadari hal tersebut sebagai anak muda mentah yang merantau ke Yogyakarta. Sebagai orang yang tumbuh di pelosok desa di Minangkabau, saya tidak pernah bercakap dengan bahasa ini secara intens sebelumnya. Memang, sekali-dua, saya sempat berpidato, namun tentu saja, teks yang disiapkan tidak dengan editan kebahasaan yang baik. 

Saya kikuk membangun obrolan yang menyenangkan dengan bahasa Indonesia. Bahkan saking bodohnya, pada minggu pertama perkuliahan, saya ditertawakan teman kelas, karena menggunakan kata “Anda” untuk kata ganti kedua langsung dalam percakapan di lesehan kampus. Saya membayangkan sekarang, tongkrongan itu seperti sudah menjadi debat publik. 

Kelemahan dan kekikukan itu sedikit berubah dengan belajar menulis untuk SLiLiT. Ini adalah buletin bulanan yang diterbitkan ARENA. Lembaga Pers Mahasiswa ini punya beberapa produk publikasi. Selain buletin, mereka juga menerbitkan majalah yang diberi nama persis dengan nama lembaganya. Pada saat saya bergabung, kepengurusan saat itu juga tengah membangun publikasi daring mereka.

SLiLiT menjadi ruang yang paling memungkinkan bagi anggota baru seperti saya untuk belajar. Sebab majalah ARENA biasanya hanya diterbitkan sekali setahun. Itu pun diprioritaskan untuk ditulis pengurus inti. Menulis untuk media daring juga belum digalakkan. Selain karena akses internet masih sangat terbatas di UIN Sunan Kalijaga, saat itu tampaknya kepengurusan juga belum memiliki mekanisme yang pakem dalam pengelolaan media online, baik dalam keredaksian maupun pengelolaan pembacanya.

Proses kerja-kerja jurnalistik masih sangat konvensional. Seminggu untuk mencari topik berita dan rapat redaksi. Seminggu lagi digunakan untuk wawancara dan menulis. Ini juga biasanya molor. Sisanya digunakan untuk mengedit, layout, cetak, dan melopernya ke seluruh fakultas. 

Meskipun rapat redaksi dan liputan sebagai pemula akan sangat lucu sekali kalau diceritakan, hal penting terkait dengan pembelajaran bahasa Indonesia itu justru ada setelahnya. Ketika tulisan saya di print, dicoret pada bagian-bagian tertentu, ditata kembali, di print lagi, kemudian ditimbang jumlah katanya hingga pas untuk bagian halaman tertentu. 

Saya beruntung ada dibalik bahu mereka. Melihat secara langsung bagaimana para redaktur ARENA mencoret, menandai draf, dan melihat raut tak mengerti di wajah mereka. “Maksudnya apa ini?”, tanya mereka menunjuk pada satu bagian dari tulis saya. Dan berkata “oh.” Selanjutnya mereka mempertontonkan pilihan kalimat yang sesuai dengan cerita saya. 

Demikian menjadi pengalaman yang sangat membekas. Hampir setiap bulan pada tahun-tahun awal, baik sebagai magang atau pengurus baru, proses pengeditan dan penataan tulisan seperti itu dilakukan. Menjadi tahapan pembelajaran. Seingat saya, selain IHT tidak ada kesempatan menambah pengetahuan menulis selain proses yang disebutkan tadi. Sehingga, seperti slogan asosiatifnya, SLiLiT telah mengganjal dalam ingatan saya.

____

(May Day 2012)

Setelah beberapa pekan dari RTA, saya mendapatkan kabar. Benar, SLiLiT tidak diterbitkan lagi. Sebagai orang yang menanggung hutang budi pada proses penulisan buletin itu, sejatinya saya cukup kaget. Langkah yang cukup berani telah diambil dalam transisi kepengurusan ARENA saat itu. Tidak menerbitkan produk bulanan, artinya mereka akan mengalihkan tenaga dan konsentrasinya pada jenis output lain. Dari beberapa pengurus baru yang terpilih dan para demisioner juga, saya ketahui bahwa mereka akan fokus pada media online; lpmarena.

Berkonsentrasi pada media online dianggap sebagai pilihan strategis. Memang. Berbeda dengan saat saya mulai bergabung di ARENA, lpmarena sudah berkembang pesat. Sudah ada redaktur terpilah, rapat redaksi terpisah dan perencanaan jadwal unggah. Perangkat pendukungnya pun sudah semakin baik. Komputer jinjing dan gawai yang memiliki akses internet tidak hanya dimiliki pengurus, tapi juga hampir seluruh warga kampus.

Keberanian untuk mengambil sikap tidak menerbitkan SLiLiT tampaknya juga terulang kembali saat memutuskan nasib majalah ARENA, pada tahun setelahnya. Praktis saat ini lpmarena menjadi satu-satunya arena para pengurus, dan kemungkinan besarnya juga bagi teman magangnya, untuk mengaktualisasikan karya-karya mereka. Dilihat dari proses panjang kelembagaan, fakta ini cukup menyedihkan.

Sejatinya saya sempat bertanya pada para pengurus di berbagai periode. Kenapa mesti berkonsentrasi pada satu produk saja. Bukankah jika kita memperbanyak peluang, kemungkinan mencapai hasil juga semakin besar? Tiga lebih baik dari satu. Kalau perlu empat, dengan tambahan kanal audio visual, misalnya.

Beberapa dari mereka memberikan jawaban yang malah menambah rasa penasaran saya; jangkauan media online dapat lebih luas. Kita pun tidak perlu mengeluarkan biaya cetak, pungkas beberapa dari mereka. Logis! Namun saya gelisah. Bukankah itu jawaban yang seharusnya keluar dari media konvensional yang “mencari” profit. 

Siapa pembaca yang akan mereka maksud dengan jangkauan yang luas itu? Kenapa mereka enggan mengeluarkan biaya cetak, di tengah ongkosnya juga ditanggung oleh kampus? Pertanyaan ini beranak pinak di kepala. 

___

Begitu banyak muatan pembelajaran menulis yang saya peroleh di Arena. Mulai dari merapikan kalimat, merangkai pola, hingga menyusun plot. Intensitas membaca tulisan kawan-kawan di Arena pun menambah khazanah pembelajaran. Dari magang hingga membantu di keredaksian, pembelajaran itu terus diasah.

Hingga saya mulai mengerti: setiap orang punya sudut penarikan katanya sendiri. Saya sangat menikmati saat-saat menelaah tulisan mereka. Orang-orang telah menghadirkan diri dengan bahasa yang mereka tuangkan. Saking menikmatinya saat itu, saya bisa mengenali tulisan siapa yang disetorkan ke redaksi dengan hanya dengan melihat pola tulisannya. Walaupun mereka bergotong royong menulisnya.

Sampai di sini, saya menyepakati ungkapan yang jamak disampaikan para ahli: belajar menulis berarti belajar mengenali dan menata diri. Bukankah itu berarti, ketika kita membacanya, kita dapat “melihat diri” penulisnya?

Menulis di Arena juga mengajarkan saya untuk merefleksikan ruang. Secara teknis, ruang untuk menyajikan tulisan. Space cetak yang terbatas tidak mengizinkan seluruh informasi, bahkan jika kita memilikinya, untuk dituliskan. Kadang-kadang kita mesti “tega” untuk mengikhlaskan satu bagian (kurang) penting untuk dipotong. Tidak jarang juga, kita mesti pisahkan satu bagian informasi dari paragraf atas untuk bergabung dengan rantaian induk pikiran di bawahnya. Semua disiasati agar cocok dengan ruang yang tersedia. Ruang telah menjadi hakim para penulis.

(Peluncuran Majalah ‘Wong Cilik di Pusaran Konflik)

____

Saya tidak berani mengeluarkan seluruh pertanyaan yang ada dalam pikiran ini atas SLiLiT, begitu juga Majalah Arena. Saya kira juga tidak perlu. Terlebih belakangan, sedikit demi sedikit, jawabannya mulai datang dengan sendirinya. Setidaknya untuk memahami perjalanan pers mahasiswa ini. 

Tidak ada yang mengira, pandemi akan menghantam lini kehidupan kita seperti 2020-2021 lalu. Kampus-kampus diliburkan. Semua belajar jarak jauh. Tentu ini juga berdampak pada interaksi dan produksi pers mahasiswa. Terlebih lagi, mereka dituntut harus melanjutkan kepengurusan, dengan menerima anggota baru dan berkarya.

Selain itu, menjadi mahasiswa juga semakin sulit. Kebijakan-kebijakan perguruan tinggi berisiko pada mereka. UKT yang mahal dan sangat mahal sekali tentu membuat mereka menutup pilihan untuk berlama-lama di kampus. Mereka juga diharuskan praktik, magang, dan lainnya. Saat memilih beraktivitas untuk pers mahasiswa, yang tidak jarang mengundang emosi berlebih, mereka tentu akan semakin letih.

Dalam kondisi yang sedemikian rupa, apakah tepat kita bertanya jumlah produk kreatif yang mereka hasilkan? Tentu itu bukanlah pertanyaan yang sesuai dengan ruang yang semakin terbatas mereka miliki.

SLiLiT,  juga Majalah Arena, mungkin telah menjadi bagian (kurang) penting yang harus dipotong untuk space yang tertinggal. Muatan sudah berlebih. Mungkin sudah menjadi hukumnya, pers mahasiswa dituntut terus memikirkan apa yang dapat dimaksimalkan dalam ruang yang ada. Terlebih lagi bagi pers mahasiswa tua seperti LPM ARENA ini. Tentu semua persendian sudah terasa linu bukan?

*Bergabung di Arena tahun 2010 dan sempat menjadi Pemimpin Redaksi tahun 2014  | Foto Dokumentasi Pribadi