Home MEMOAR Cara Menyelamatkan Diri dari Ide-Ide yang Membahayakan 

Cara Menyelamatkan Diri dari Ide-Ide yang Membahayakan 

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

 Oleh: Sidratul Muntaha*

Lpmarena.com- 2018. Pada sebuah malam yang biasa-biasa saja, di Joglo Kopi Sorowajan, Zaim, teman sepantaran saya di Arena mencetuskan sebuah inisiatif nyeleneh. Dia pengen pulang ke kontrakannya jalan kaki.

Ide tersebut terdengar nyeleneh, bukan saja karena ia punya pilihan praktis untuk pulang menggunakan motor. Ide tersebut terdengar tambah aneh karena ia tinggal di Parangtritis.

Zaim saya anggap sebagai saingan dalam penulisan. Dan meski tak ada wasit yang menilai ‘pertarungan’ kami, jujur saja, saya kerap merasa kalah. Ia produktif menulis di berbagai media dan membuat saya sedikit iri. Perasaan yang lumrah, sebetulnya. Tapi ia bisa merambat jadi urusan rumit yang lain.

Meski merasa kalah, saya toh orangnya keras kepala, jadilah saya mengikuti inisiatifnya. Saya pulang jalan kaki ke kontrakan saya yang juga jauh, meski tak sejauh Parangtritis. Tepatnya, saya tinggal di bilangan Maguwoharjo.

Sekira 2 jam, saya berjalan kaki, melewati trotoar sempit di bawah Jembatan Janti, melintasi Jalan Raya Solo-Jogja, lalu belok ke Utara sampai ke Maguwoharjo.

Pada satu ruas jalan, saya melihat kuburan yang selalu saya lintasi setiap pulang diskusi dari SC atau ngopi di Sorowajan. Tak ada yang istimewa dari kuburan itu. Saya selalu menganggapnya sebagai pemandangan yang bergerak begitu cepat meninggalkan laju motor saya.

Tapi saat berjalan kaki, kuburan itu bergerak lambat. Jantung saya berdebar dan dalam hati saya memaki ide Zaim.

(Nongkrong sama Zaim di Joglo Sorowajan)

___

“Menulis buku itu tidak sulit,” kata Martin Suryajaya. “Yang kita butuhkan hanya kesepian.”

Apakah perkataan itu benar? Sebagian iya. Dari banyaknya pelajaran menulis yang saya cerap, ada dua tips yang selalu muncul buat seseorang yang pengin jadi penulis. Pertama, membaca. Kedua, ya, menulis.

Dua tips tersebut memang bisa dilakukan sendiri. Beberapa orang bahkan menyukai kesunyian dalam membaca dan menulis. Tapi saya kira punya teman nggak kalah penting daripada kedua tips sebelumnya.

Tak sedikit tulisan saya, misalnya, yang lahir karena teman-teman di Arena. Beberapa lahir dari dorongan seperti rasa iri pada Zaim yang kala itu sangat MENYALA. Setiap minggu satu tulisannya selalu terbit di media berhonor. Taburan pujian datang ke dia dari berbagai senior. Sedang saya, sambil merasa iri, kadang-kadang masih harus meminta pendapatnya terhadap tulisan saya.

Persaingan itu belum terselesaikan hingga setahun selanjutnya, Ajid dan Hedi didapuk jadi Pemimpin Umum dan Pemimpin Redaksi. Kami sebelumnya tak begitu dekat karena beda divisi dan angkatan. Tapi tampaknya menjadi pimpinan membuat mereka harus dekat dengan semua anggota, termasuk saya.

Alhasil, saya semakin ‘awas’ dengan tulisan mereka. Ajid, dengan kolomnya yang humoris, kerap menggunakan karakter fiksi, selalu bikin saya tergelitik. Liputan Hedi yang kerap dramatis pun sering bikin hati teriris.

Membaca tulisan mereka membuat saya sadar bahwa tahun itu bukan lagi duel antara saya dan Zaim, tapi battle royale antara banyak anggota. Tahun itu bahkan bukan hanya battle royale antara para produsen teks seperti kami. Seiring banyaknya demonstrasi besar di tahun 2019, Firdan juga tak kalah produktif menghasilkan foto yang ciamik.

Lalu tahun 2020 datang. Saya ditunjuk jadi pemimpin redaksi. Tidak terlalu mengagetkan. Tapi anjing, pandemi merebak.

Satu per satu pengurus ‘ditarik dealer’, pulang ke rumah masing-masing karena semua kegiatan perkuliahan mengajar dialihkan ke daring. Student Center juga ditutup. Napas Arena megap-megap.

Beberapa anggota sering mengklaim Arena sebagai kampusnya, sementara kuliah di kelas sebagai sampingan, tapi tak bisa dipungkiri situasi material di kampus masih sangat mempengaruhi agenda-agenda organisasi. Harus ada cara buat meretasnya.

Saya dan Luthfi, kawan sekaligus Pemimpin Umum yang sering saya repotkan itu, lantas memutuskan buat mencari kontrakan. Kontrakan kami dapat, penghuninya tidak. Hanya saya, Zaim dan Bisma yang pengin tinggal di kontrakan itu. Padahal, uang sewa setahun di kontrakan itu lumayan mahal kalau cuma ditanggung bertiga. 

(Tiga penghuni kontrakan waktu piknik di Waduk Sermo)

Bagaimanapun, pilihan itu tetap kami hajar, meskipun hubungan kami dan induk semang, Almarhum Pak Slamet (semoga tenang di sana, Pak!), jadi seperti maling dan polisi. Kami kerap saling menghindar karena molor bayar kontrakan. 

Perkara nggak selesai di situ, kami juga kesulitan bayar listrik yang tagihan per bulannya nggak ngotak. Padahal listrik cuma kami pakai buat ngecas HP dan laptop. Kami curiga gubuk tetangga, yang satu meteran listrik dengan kontrakan kami, menggunakan energi dengan semena-mena.

Lalu bagaimana solusinya? Komunikasi dengan tetangga atau induk semang? Oh, tentu tidak. Kami punya ide yang lebih jenius: jualan ciu. Ide itu muncul pada suatu malam dan tanpa pertimbangan panjang, Bisma berikut Aul, dua pengurus yang kala itu sangat militan, membelah jalan lintas kota selama dua jam untuk memborong belasan botol ciu dari mata airnya, Solo yang biadab.

Mereka pulang ke kontrakan beberapa jam kemudian, dalam keadaan kuyup dan menggigil. Saat itu hujan deras. Dan stok ciu yang semestinya dijual, kami ikhlaskan satu botol buat self-reward (gen Z nih, Bos!) sekaligus menghangatkan tubuh yang kedinginan.

Cerita selanjutnya mudah ditebak. Meski beberapa botol berhasil terjual, sisanya kami minum sendiri.

Barangkali pengalaman itu terkesan tak punya kaitan sama sekali dengan kerja-kerja jurnalistik. Bukannya membantu, malah bikin repot sendiri. Tapi ia membekas di kepala, dan perlahan mengakrabkan kami semua.

Saya bahkan percaya yang membuat Arena penting bukan kerja produktifnya. Itu penting, sih, tapi yang nggak kalah penting saat pandemi justru kerja reproduktif, saling merawat.

(Pasca RTA di Turi)

Saya tak tahu apa yang pengurus lain rasakan, tapi kunjungan ke Persma Jawa timur tak akan terasa istimewa tanpa cerita gelandang barengnya. Divisi redaksi mungkin akan rontok di tengah jalan kalau kami tak menginap di rumah Nur, redaktur cerpen, buat mengarsip tulisan lama Arena setelah sekian lama grup WhatsApp kami sepi. Jadi Pemred juga akan terasa berat kalau tak ada teman tempat saya berbagi sedih macam Luthfi atau Dian (D-nya depresi), Koordinator Pusat Analisis Data. 

Saya orang yang ambisius, tapi juga sadar kalau diri saya nggak berbakat amat. Kedisiplinan diri saya juga rendah. Kapital pun seadanya. Tanpa kerja saling merawat, ambisi, yang seringkali melahap dan merusak itu, jadi terasa menyenangkan buat dikejar.

Saya membayangkan, ide-ide suicidal bisa jadi muncul di kepala jika proses ini saya jalani kesepian. Tak sampai di akhir pengurusan, saya bisa saja menembak kepala sendiri. Lalu ungkapan Martin Suryajaya tinggal desas-desus.

*Penulis adalah Pemimpin Redaksi dari angkatan 2017, kini jadi TKI di negara tetanggaFoto Dokumentasi Pribadi