Home MEMOAR Mengadu Nasib di Arena

Mengadu Nasib di Arena

by lpm_arena
(Orasi saat mau masuk Arena)
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Akmaluddin*

Lpmarena.com- Masuk dalam kubangan hitam bernama Arena merupakan sebuah keputusan yang dipilihkan, meski lambat laun, saat aku sadari, berada fase ini adalah hal yang kubutuhkan. Aku masuk Arena karena disuruh oleh saudara yang lebih dulu bergumul dengan orang-orangnya. Dia tidak menjelaskan secara definitif barang apa itu sesungguhnya? Katanya, itu berisi para begundal yang gandrung akan pengetahuan.

Seperti kawan-kawan yang lain, aku mendaftarkan diri. Pendaftaran itu terbilang rajin, kulaksanakan di hari pertama ke sana. Datang dengan seabrek persyaratan yang harus dipenuhi untuk diterima menjadi bagian dari keluarga. Karena sejauh yang ku tahu, tempat ini tidak mengenal nepotisme. Namun, syaratnya sebenarnya tidak begitu diperhatikan kualitasnya. Di zamanku, yang terpenting orangnya mau diajak bantingan sepertinya cukup. Apalagi yang daftar kelihatan agak bening pasti langsung diterima, hahaha.

(IHT 2016 di Ponpes Kaliopak Jogjakarta)

Seperti yang dipromosikan saudaraku sebelumnya, tempat ini dipenuhi dengan coretan-coretan, juga makian-makian atas kondisi keterpurukan dan kekalahan pada hidup. Pada pertemuan pertama, langsung dibuka oleh seorang intelektual cum sufi terkemuka Bung Khairul Amri dengan tadarus buku Diktat Merah. 

“Ini adalah bacaan wajib yang harus kawan-kawan baca,” katanya dengan gaya misterius ala filsuf terkemuka. 

“Di sini tidak ada senioritas, yang ada hanyalah senioritas pada pengetahuan. Siapa yang punya banyak pengetahuan, dia yang berhak mendominasi yang lainnya,” sambar salah satu senior yang berperawakan kurus menggunakan kacamata.

Sebagai mahasiswa baru, tentunya melihat perkumpulan ini layaknya sebagai perkumpulan yang menjanjikan sebagai karier menjadi mahasiswa profesional. Intelektual-aktivis dua kata kunci yang dulu kerap kali Doel Rahim (PU 2017/2018) tegaskan dalam menjalani proses sebagai insan Arena.

(Milangkala LPM Arena ke-43 tahun)

Dengan bimbingan tangan dingin Mbak Isma Swastiningrum, kami diajari menyusun sebuah logika kepenulisan yang runtut setelah dua hari tulisan-tulisan kami dicaci satu per satu. Prosesi itu terjadi sebelum kami akhirnya di-upgrading. Semacam malam sakral buat para kamerad untuk didik mengisi plot “polit biro” kalau kata Ajid Fuad Muzaki atau kalau di Arena lebih viral disapa Ajidev Muzakovev. 

Arena layaknya seperti tembok ratapan, di mana keluh kesah dan umpatan atas hidup serta harapan mengenai keidealan masa depan bercampur di ruangan kumuh penuh putung rokok.

Saat itu, Ajidev menjadi barometer kesialan kami bersama. Laki-laki yang memiliki prinsip lapar tidur dan bangun mengumpat World Bank ini menjadi pelipur lara kami semua saat itu. Apabila Ajid bangun dengan wajah sumringah dan sedang memamerkan iPhone 5 yang baru dibelinya, berarti dunia sedang berpihak pada kami. Sebabnya, organisasi bisa berjalan baik dan riang gembira. Namun, saat Ajid tertidur dan tidak bangun-bangun, berarti dunia sedang dilanda krisis besar. Dan tentu organisasi berjalan apa adanya. 

Menjadi Arena dengan segala alat analisis yang didoktrinkan dan dilanggengkan Ajid membuat kami sadar bahwa problem dari semua ini adalah kapitalisasi pendidikan. Dan semua itu disebabkan oleh sejarah panjang doktrin kapitalisme.

Anyway, genap seusia kuliah aku bertahan, menemani calon pembesar pers nasional Hedi Ed dan aktivis demokrasi luhur Ajidev Muzakovev. Meskipun kontribusi dan keberadaanku tidak sesignifikan mereka tentunya dan tidak menciptakan karya masterpiece seperti mereka.

Peranku hanya sebagai pemasti dana operasional organisasi tidak turun terlambat. Karena dana ini sebagai penjaga nafas bersama manakala sumber daya buat bantingan tidak ada. Selebihnya hanya mengantar Mbak Wulan Agustina untuk perawatan wajah di Natasha Skin Care.

*Penjaga Pusat Data dan Analisa (Pusda) LPM Arena 2016-2020Foto Dokumentasi Pribadi