Oleh: Abdul Aziz*
Lpmarena.com- Pertama kali mengenal Arena pada 2003. Saat itu, saya adalah mahasiswa baru IAIN Sunan Kalijaga. Perkenalan saya dengan Arena pun karena kebetulan: mampir baca koran dan janjian dengan kawan di kantor UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Belakangan saya ketahui, ternyata itu sekretariat Arena.
Ruangan yang lebarnya hanya sekitar tiga meter dengan panjang kurang lebih sembilan meter tersebut selalu ramai. Penghuninya tidak hanya kru Arena, melainkan sejumlah aktivis mahasiswa atau kita menyebutnya Arena kultural. Mereka seringkali bertandang hanya sekadar cari teman untuk berpusing ria usai melahap buku teori atau hanya sekadar berbagi unek-unek.
Kantor Arena bersebelahan dengan KSR PMI dan Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA). Di lantai satu gedung ini juga ada Senat Mahasiswa (SEMA) serta Jemaah Cinema Mahasiswa (JCM). Namun, ruang DEMA dan SEMA sering kali kosong sehingga menjadi tempat yang nyaman untuk tidur siang bagi para aktivis UKM.
Meski kenal Arena sejak awal menjadi mahasiswa, tapi saya baru memberanikan diri bergabung dengan pers mahasiswa ini pada 2004. Alasannya cukup sederhana. Saat itu, jangankan menulis dengan baik, berbahasa Indonesia saja masih belepotan. Tapi, siapa sangka berproses di Arena justru menjadi jalan buat langkah selanjutnya.
Di sisi lain, persaingan masuk Arena juga ketat, sehingga perlu persiapan –terutama mental—karena prosesnya panjang. Dari puluhan yang mendaftar, hanya sekitar 15 orang yang dinyatakan lulus dan magang di Buletin SLiLiT.
Namun, setelah bergabung dengan Arena, justru membuat saya lupa tujuan awal berangkat dari Madura ke Jogja untuk kuliah. Sebab, saya lebih banyak nongkrong di Arena dan demo bersama kawan-kawan Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KMPD), dibandingkan mendengarkan ocehan dosen di ruang kelas. Maka tak heran bila ada yang tanya “kuliah di mana,” selalu dijawab di Arena dan KMPD.
Saat wisuda, orang tua juga sempat tanya, “Kok kuliahnya lama?”
Saya jawab “Karena kuliahnya di dua kampus, UIN dan ARENA.”
_____
Tahun pertama di Arena, saya bertemu kawan dengan latar belakang beragam. Tujuan masuk Arena pun tentu berbeda-beda. Mulai dari ingin menjadi penulis, mencari teman dan berjejaring, hingga hanya sekadar selingan agar tidak jenuh di kampus. Saya mungkin termasuk kategori kedua, tepatnya mencari teman ngopi dan nongkrong.
Kesamaan itu membuat saya akrab dengan sejumlah kawan yang sepantaran, macam Ficky Ubaidillah atau Kiky, Addi M. Idhom, Akmal Yude (almarhum), Hafidz Ghazali, Sabiq Carebesth, dan Erick. Kawan-kawan ini yang setiap hari menghabiskan waktu bersama di warung kopi sambil baca buku, diskusi, hingga menentukan tema liputan. Begitu juga dengan Furqon Ulya, Maftuha, serta Syafiq Syeirozi biasanya kami nongkrong di kantin kampus.
Meski begitu, karakter Arena sebagai bagian dari gerakan mahasiswa tetap lestari. Arena dengan slogan “Kancah Pemikiran Alternatif” selalu menjadi yang terdepan dalam menyuarakan isu kerakyatan serta menolak komersialisasi pendidikan di kampus.
Momentum konversi IAIN ke UIN pada Oktober 2004 menjadi sejarah komitmen ini. Sebab, sebelum resmi status IAIN menjadi UIN, terdapat sejumlah kebijakan dibuat rektorat yang semakin menjauhkan kampus putih sebagai kampus kerakyatan dan perlawanan. Arena konsisten menjadi media advokasi menolak sejumlah kebijakan tersebut.
Misalnya, dalam kasus pemberlakuan kebijakan Dana Penunjang Pendidikan (DPP) pada Mei 2004. Saat itu, kawan-kawan Arena tidak hanya mengkritik lewat SLiLiT, tapi juga ikut demo bersama mahasiswa yang tergabung dalam Forum Persatuan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Selain kebijakan DPP, kawan-kawan Arena juga berperan aktif menolak pemberlakuan jam malam di kampus, hingga absensi 75 persen. Sebagai persma dan “kompor” gerakan mahasiswa, laporan-laporan Arena kerap membuat penguasa kampus gusar.
Meski kebijakan-kebijakan “ngawur” tersebut akhirnya tetap berlaku, tapi setidaknya kita sudah melawan dengan sekuat tenaga. Kita telah mempraktekkan slogan mahasiswa sebagai agent of change secara konkret. Meminjam kalimat Pramoedya Ananta Toer dalam buku Bumi Manusia “Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
_____
Tahun kedua saya di Arena tak kalah menantang. Saat itu ada momentum pemilihan umum mahasiswa (Pemilwa) 2005. Layaknya pesta demokrasi, persiapan pun dilakukan jauh-jauh hari. Arena sebagai pers kampus tentu tidak lepas dari dinamika yang terjadi kala itu. Satu hal yang kita perjuangkan dalam pemberitaan pemilwa adalah demokratisasi kampus.
Sebagai bagian dari proses pemilwa, dibentuklah Komisi Pemilihan Umum (KPU) tingkat universitas oleh DEMA. Anggota KPU ini merupakan perwakilan dari partai politik peserta pemilwa. Begitu juga panitia pemilihan tingkat fakultas hingga jurusan. Mereka adalah perwakilan partai yang SK (surat keputusan) nya dibuat oleh KPU universitas.
Arena sebagai bagian dari elemen kampus yang sangat vokal menyuarakan “demokratisasi kampus” tentu mengkritik komposisi panitia Pemilwa 2005. Sebab, seharusnya anggota KPU hingga panitia tingkat fakultas dan jurusan, harus independen, tidak boleh partisan, apalagi mewakili partai politik.
Sayangnya, kritik Arena hanya dianggap angin lalu. Masukan kita lewat pemberitaan Buletin SLiLiT, ibarat masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Untungnya masih ada secercah harapan usai pengawas pemilwa dibentuk. Anggotanya terdiri dari sejumlah aktivis UKM.
Saat itu, ada dua anggota Arena yang terpilih, yaitu kawan Yaya dan Kiky. Kedua orang ini sebetulnya tidak mewakili Arena, melainkan perwakilan Forum UKM dan UKM Al Mizan. Sayangnya, seperti diungkapkan Yaya dalam film dokumenter yang dibuat JCM, panwas ini tidak bisa berbuat banyak. Mengapa? Karena panwas dibentuk oleh KPU sehingga tidak bisa leluasa mengawasi proses pemilwa karena rentan diintervensi.
Kekhawatiran tersebut menjadi kenyataan ketika KPU, yang notabene perwakilan partai, hanya meloloskan calon tunggal yang diusung Partai Rakyat Merdeka (PRM) dan koalisinya. Hal ini membuat tensi Pemilwa 2005 menjadi panas. Salah satunya demo berjilid-jilid yang dilakukan Partai Pencerahan, Partai Peroletar, dan Partai Aliansi Demokrat (PAD). Bahkan di hari H pencoblosan, koalisi tiga parpol ini memprok-porandakan Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Sementara itu, Partai Anak Soleh (PAS) yang secara politik merupakan underbow KAMMI, tetap ikut pemilwa meski mereka kecewa dengan KPU yang meloloskan calon tunggal. Sedangkan Partai Solidaritas IAIN (PSI) memilih keluar dari Pemilwa 2005. PSI menganggap Pemilwa 2005 tidak demokratis dan penuh kecurangan, sehingga sebagai bagian pendidikan politik bagi publik, PSI menarik diri dari kontestasi.
Di sisi lain, Forum Komunikasi (Forkom) UKM mengkampanyekan golput sebagai bagian dari kritik terhadap proses pemilwa yang tidak demokratis. Koordinator Forkom UKM saat itu dijabat Noor Salim, mantan PU ARENA. Salim adalah salah satu korban penganiayaan sebagai dampak dari friksi yang muncul dalam kontestasi Pemilwa 2005.
Bagaimana dengan Arena? Sejak awal kita tetap konsisten dengan sikap kita mengawal “demokratisasi kampus.”
Dalam momentum pemilwa ini, SLiLiT Arena bahkan terbit setiap hari. Kantor Arena saat itu selalu ramai dan sibuk dengan aktivitas jurnalistik: reportase, menulis, layout, hingga distribusi buletin edisi khusus pemilwa.
Saat hari pencoblosan, saya dan kawan-kawan sempat keliling TPS di sejumlah fakultas. Saat itu, saya sedang memantau di Fakultas Syari’ah dan Fakultas Adab yang kebetulan gedungnya berdekatan. Tiba-tiba, ada sekelompok massa yang meminta agar proses pencoblosan di TPS dihentikan. Mereka menganggap calon tunggal tidak konstitusional.
Di dua fakultas ini, aksi kelompok ini nyaris tanpa perlawanan. Namun, saat massa bergeser ke Fakultas Dakwah –kebetulan TPS nya di halaman dekat kantor Arena—mereka mendapat perlawanan yang cukup sengit. Sejumlah anggota PRM sudah bersiaga sebelum kelompok lawan mengacak-acak surat suara.
Bentrok pun pecah. Kedua kelompok saling lempar kursi hingga adu jotos hingga pihak keamanan kampus berusaha menengahi. Kami, aktivis UKM, kru ARENA, dan sebagian anggota PSI yang menarik diri dari perpolitikan kampus, saat itu menyanyikan lagu “Darah Juang” demi mengademkan situasi.
Situasi sempat reda usai perwakilan kedua belah pihak dibawa ke rektorat.
Namun, ternyata bentrok di pagi hari saat pencoblosan, bukan ending dari cerita kelam Pemilwa 2005. Saat itu, kru Arena masih sibuk dengan proses penerbitan SLiLiT. Isu utama yang akan kita angkat tentu “Kisruh Pemilwa.”
Habis Maghrib, saya keluar kampus karena ada janji dengan narasumber. Saya mendapat tugas wawancara dengan Suwung terkait sejarah pemilwa di UIN (dulu IAIN). Kebetulan kawan Suwung ini adalah alumni Arena dan mantan Sekjen DEMA (lupa periodenya) yang mewakili PSI, sementara Presiden DEMA-nya adalah Kholilur Rahman Ahmad dari PRM.
Usai wawancara, saya kembali ke Arena. Sesampainya di depan gedung Arena, kawan-kawan sudah ramai. Saya mencoba mengulik informasi apa yang terjadi. Namun, belum mendapat jawaban yang memuaskan, tiba-tiba sekelompok mahasiswa mendatangi Arena dengan membawa senjata tajam dan berteriak keras.
Singkat cerita, malam itu Arena diserang dengan alasan yang tidak jelas. Kaca pecah. Dua sepeda motor –satu punya tamu—juga ikut dirusak. Untung mereka tidak bisa masuk ke dalam ruangan yang saat itu ada kru cewek. Ironisnya, orang-orang yang menyerang adalah mereka yang kita kenal. Mereka adalah para pendukung calon tunggal Pemilwa 2005.
Akibat penyerangan tersebut, buletin SLiLiT Arena edisi pemilwa terbit dengan halaman utama kosong. Sejumlah pihak pun mengutuk penyerangan tersebut. AJI Yogyakarta bahkan menganggap tindakan tersebut sebagai pembungkaman terhadap kerja-kerja jurnalistik.
Sayangnya, Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) DIY tidak mau memberikan pernyataan “Mengutuk Keras Penyerangan ARENA.” Hal ini tidak terlepas dari posisi Sekjen PPMI DIY kala itu adalah bagian dari kelompok yang menyerang Arena. Sebagai sikap organisasi, Arena akhirnya memutuskan keluar dari keanggotaan PPMI.
_____
Tahun ketiga di Arena, saya lebih banyak menghabiskan waktu di KMPD sebagai kepala suku. Sementara di Arena, saya hanya terlibat dalam Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM). Kerja konkretnya hanya ngajak ngopi kawan-kawan seangkatan yang masih tersisa, serta sesekali berurusan dengan rekrutmen.
Saya kembali aktif dalam kerja-kerja Arena usai Addi M. Idhom terpilih sebagai Pimpinan Umum dan Ficky Ubadillah sebagai Pemred Arena. Periode ini (tahun keempat) sekaligus tahun terakhir saya di Arena.
Sejak awal kepengurusan, kita langsung tancap gas menggarap Majalah Arena. Diskusi intens dilakukan untuk menyeleksi sejumlah isu yang masuk list usulan. Tema yang kita putuskan akhirnya soal perburuhan, mengingat majalah sebelumnya sudah mengulas “Gurita Kapitalisme di Yogyakarta.”
Selain diskusi, riset, dan membaca dokumen, kita juga reportase ke sejumlah kota pada 1 Mei 2007. Kita memilih momentum Mayday untuk mengetahui persoalan terkini. Tim yang tersedia –banyak kru yang sudah tidak aktif—berangkat ke sejumlah kota. Addi ke Surabaya, saya dan Hafidz ke Malang, Erick dan Lia Gulo di Jogja, Sabiq dan Kiki ke Jakarta, Yaya dan almarhum Ode ke Semarang.
Temuan data di lapangan kemudian dirumuskan menjadi outline liputan. Secara garis besar ada tiga isu utama yang kita sorot, yaitu: persoalan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), union busting, serta kesejahteraan buruh. Usai tulisan rampung, kita sepakat judul cover majalah adalah “Kaum Kuli di Negeri Janji.”
Draf tulisan untuk majalah sudah jadi, layout sudah rampung. Tapi kita tidak punya duit untuk mencetaknya. Rektorat tidak mau membiayai cetak majalah. Kampus berdalih dana DPP hanya bisa dipakai untuk program yang diajukan UKM yang melibatkan mahasiswa secara umum, bukan hanya anggota UKM. Alhasil, Majalah Arena dengan tema “Kaum Kuli di Negeri Janji” tidak bisa terbit pakai dana DPP.
Kita akhirnya memutar otak bagaimana agar majalah yang sudah capek-capek kita produksi bisa terbit. Secercah harapan datang saat Falikul Isbah, alumni Arena yang kebetulan bekerja di Jakarta, kontak saya. Mas Belek, begitu kami biasa memanggilnya, bilang “Ini Pak Savic (Ali) diminta tolong Rizal Ramli untuk cari orang yang mau buat seminar di Jogja, Arena mau fasilitasi enggak?” Sontak saya langsung tanya ada budget berapa?
Setelah ngobrol teknis dan semacamnya, akhirnya kita dapat gambaran Arena akan dapat dana Rp5.000.000 untuk membuat diskusi publik. Tema persisnya saya lupa, tapi intinya mengkritik kepemimpinan SBY kala itu.
Singkat cerita, dari dana Rp5 juta tersebut, kita bisa saving sekitar Rp3,5 juta. Dana ini kita gunakan sebagai modal awal untuk menerbitkan Majalah Arena yang kita kasih judul “Kaum Kuli di Negeri Janji.”
Alhamdulillah majalah bisa terbit dan skripsi saya ikut rampung,he he.
____
Di sisi lain, Arena tidak hanya menyediakan ruang berekspresi serta menulis tema-tema alternatif yang tak dilirik media mainstream. Namun juga menjadi medium perkawanan serta proses belajar banyak hal. Tidak hanya menulis, tapi juga soal solidaritas dan soliditas sesama kawan.
Solidaritas dan soliditas ini menjadi modal penting dalam menghadapi persoalan kekinian, baik bagi kawan-kawan Arena maupun para alumni yang sudah tersebar dan menemukan titik produktifnya.
Di ulang tahun ke-50 ini, semoga Arena tetap menjadi media alternatif, ruang berproses, serta melahirkan orang-orang hebat yang selalu berjuang untuk keadilan dan kebenaran. Hidup pers mahasiswa!!
*Angkatan 2004. Mentok hanya jadi Sekretaris Umum Lpm Arena 2007-2008. Saat ini bekerja sebagai kuli tinta | Foto Dokumentasi Pribadi