Home MEMOAR Arena Tak Pernah Ngasih Duit, Tapi Selalu Maksa Bikin Kata-kata

Arena Tak Pernah Ngasih Duit, Tapi Selalu Maksa Bikin Kata-kata

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Ilham MR*

Lpmarena.com- Jika Anda pernah mendengar bahwa ada segerombol wartawan yang tak pernah digaji satu rupiah pun, tetapi tugasnya menumpuk bukan main, maka itulah para begundal Arena. Terus terang, pertanyaan-pertanyaan terkait totalitas, loyalitas, atau apa pun istilahnya itu, terjawab ketika saya mulai serius “lillahi ta’ala” ber-Arena. 

Pada saat itu, 2019 hampir dikata bahwa “Hidup dan matiku hanya untuk Arena”. Namun, saya tidak berani bilang sebab ia terlalu lebay bahkan untuk sekedar dibayangkan. Lagipula, kesannya seolah menomorduakan agama.

Bagaimana tidak, belajar di Arena rasa-rasanya seperti menggadaikan keyakinan, sebab harus—terbentur, terbentur, terbentuk—dengan disiplin keilmuan barat yang sarat ateisme-materialisme-komunisme-sosialisme-liberalisme, dan isme lainnya. Entah apa yang ada di pikiran rekan-rekan divisi PSDM kala mengatur kurikulum. Yang jelas, bagi saya yang pernah mondok, merantau dari desa ke kota, lalu masuk kampus mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Arab, istilah-istilah itu sangatlah aneh.

Namun, saya lekas tercerahkan setelah suatu waktu tidak sengaja ketemu dengan Ajid. Kebetulan saya sedang membawa sebuah “kitab gundul”. Saya membukanya dan Ajid meminta diajari. Ajid sempat kagum, ketika saya berusaha membacakan dengan artikulasi yang mantap dan meyakinkan. Namun, dari situlah saya justru memahami fungsi isme-isme tadi ketika Ajid segera mencerca kesombongan saya dengan satu kalimat: “Halah, wes, tutup. Tidak menjawab persoalan kemiskinan!”. 

(Dari situlah sejarah revolusi industri mulai terjadi di pikiran saya).

Di Arena, kata-kata Ajid memang kerap quotable. Jauh sebelum konten-konten kata-kata berseliweran di sosmed, cah-cah Arena sudah mempopulerkan itu. Malahan ungkapan mereka justru lebih variatif dibandingkan gaya hidup mereka yang serba monoton. Diskusi, nulis, tidur, mencari penghidupan dan kehidupan di warung kopi, lalu kembali ke kata pertama. Hingga kini, saya bahkan masih mengingat beberapa kata-kata yang berseliweran di dinding keramat Student Centre itu. Entah mantra dari buku puisi mana yang menyulap kehidupan mereka.

Seingat saya, hanya Sudrun yang menolak menjadi melankolis. Ia redaktur yang jeli dan sangat sensitif terkait tulisan. Sayangnya, ia masih kurang kejam. Padahal hidup sebagai redaktur mestinya harus kejam dan menebus dosa. Separuh hidupnya hanya ia pakai untuk mengomeli tulisan, separuhnya lagi ia pakai untuk mengatur jadwal sarapan. Terlambat sarapan sedikit saja, akan membuat penyakit maag akutnya itu kambuh menjadi-jadi. 

Pernah suatu dini hari sekitar pukul satu, ketika ia kambuh total, kami terpaksa harus memesan gojek menuju ruang IGD di UGM. Setelah diperiksa, dokter keluar dan mengatakan bahwa ia perlu dioperasi, sehingga perutnya dibelah lalu dijahit dan membekas seperti tato kelabang. Di saat-saat seperti itu, betapa pun menderitanya ia sebagai redaktur, tulisan-tulisan harus terbit sebab deadline. Toh, lagian, sepanjang sejarah, anak-anak Arena tidak pernah menuntut secara moral atau hukum sebab dipaksa “kerja rodi”, meski tidak menerima upah dan asuransi kesehatan.

Kalaupun pada saat itu ada yang menuntut, Rudi adalah orang yang akan maju paling depan. Sebagai calon advokat yang gemar menulis, ia termasuk salah seorang yang menggandrungi sastra dibanding para begundal Arena lainnya. Jarang-jarang menemukan orang dengan basic keilmuan hukum, tetapi gemar menulis puisi. Entah karena ia memang gandrung ataukah karena cuma ikut-ikutan dengan para seniornya yang berasal dari Madura. Mungkin.

Mungkin juga hal inilah yang diikuti oleh Zaim. Ia juga kuliah di jurusan Hukum, tetapi lebih suka menulis tentang sastra. Menulis berita, baginya, sama saja menyerahkan diri kepada iblis bernama Sudrun itu. Untung saja, Sidra sebagai kawan diskusi yang baik, selalu sukarela membimbing sahabatnya. Saling membimbing. Hanya saja, Sidra tidak pernah ingin disaingi oleh angkatan sebayanya itu. Ia ambisius dan keras kepala. Ia anak kesayangan Sudrun sebab dianggap paling ahli dalam menulis berita, begitupun dengan Hedi dan Bagus.

Meski begitu, kita tidak bisa menafikan, bahwa berita merupakan jenis tulisan yang paling dihindari, mau itu Sidra atau bahkan Sudrun sekalipun. Terkadang kami bertanya-tanya pada diri sendiri: Untuk apa jadi jurnalis kalau tidak ingin meliput? Pertanyaan itu belum sempat saya jawab hingga menulis tentang ini. Tapi jika diingat-ingat, terus terang, bahwa kali pertama saya—dan sebagian besar lainnya—masuk Arena memang bukan untuk menulis, tapi untuk berdiskusi. Hehe.

Sampai-sampai, dulu sekali, ketika redakturnya masih Mbak Isma, angkatan kami pernah diancam untuk dibebastugaskan dalam peliputan Slilit, sebab terlalu lamban dan tidak becus ngejar narasumber. Kami dimaki-maki, dihabisi, dilucuti dengan segala macam kata yang sepadan. Setelah ia puas, kami bubar tapi tidak merasa terancam sama sekali. Yang ada kami justru mengolok-ngolok, lalu menirukan mimik atau gestur para redaktur-redaktur sialan itu saat menagih tulisan. Hingga beberapa teman lainnya mulai nyaman dengan ejekan: “Wartawan tanpa berita.”

Ya, maaf. Tapi, periode Mbak Isma memang menyeramkan. Sebab kebetulan pada saat itu kami anggap sebagai kiblat pengetahuan di Arena. Mereka persis dengan komplotan orang-orang tua menyeramkan yang terpampang di sampul buku-buku filsafat. Katakanlah Amri itu Karl Marx-nya. Rifai adalah Rene Descartes versi kacamata. Jika Robandi adalah Luther, maka Faksi adalah Al-Farabi. Lalu Sabiq? Jangan ditanya. Kepalanya mirip sekali dengan Foucault.

Intinya, saya hanya ingin bilang, semakin ber-Arena maka semakin pusing. Kalian akan hidup dengan banyak keterpaksaan-keterpaksaan yang menguntungkan dalam segala hal. Bahkan hingga menjadi alumni, nyatanya, Arena masih kerap mengganggu sendi-sendi kehidupan kita. Menulis ini saja masih ada kesan terpaksa dan tekanan, sebab sejak dihubungi beberapa hari lalu oleh Mbak Isma. Memori saya kembali menandai kesan pahit yang pernah dialami. 

Ini bukan fitnah. Tapi kata Grice bahwa dalam komunikasi terdapat prinsip kerja sama, yang mencakup maksim-maksim tertentu. Dalam konteks ajakan atau undangan, terkadang ada implikatur percakapan yang membuat penerima ajakan merasa tidak memiliki pilihan selain menyetujuinya. Misalnya, jika seseorang dengan status lebih tinggi. 

Mbak Isma menulis pesan:

“Hai Ilo, ditunggu tulisan 50th Arena-nya yaa”.

Kalimat ini mungkin terkesan seperti ajakan, tetapi dalam konteks tertentu bisa mengandung unsur pemaksaan tersirat.

Ya, tapi sudahlah saya sangat berterima kasih.

Berkat terpaksa itu, saya bisa ngasih sesuatu di ulang tahun Arena ke 50. Maaf, karena tidak mampu membeli kado. Saya tidak punya banyak duit. Tapi saya punya tulisan kecil ini.

Selamat ulang tahun, Arena.

*Pemimpin Umum 2019-2020Foto Dokumentasi Pribadi