Home MEMOAR Berproses di Masa Vakum

Berproses di Masa Vakum

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh:  Rafiuddin Munis Tamar*

Lpmarena.com-  Terus terang, saya agak kesulitan bercerita tentang kiprah saya di majalah Arena. Bukan apa-apa, mengungkit ingatan tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi lebih dari 18 tahun lalu itu bagi saya bukan perkara mudah. Ini ibarat memutar jam lemari kuno yang sudah tidak stabil fungsi onderdilnya, sekali waktu akurat, di waktu lain ngaco, bahkan ngadat. Karena itu, sejak awal saya sadar jika tulisan yang akan saya sajikan ini tak lebih dari sekadar rangkaian “penafsiran” saya terhadap penggalan-penggalan peristiwa yang masih nempel dalam ingatan saya. Meminjam gaya bahasa mendiang Peter L. Berger, tulisan ini adalah tafsir seingatnya atas kenyataan.

Tentu saja cerita saya ini akan dibatasi oleh bingkai waktu tertentu. Saya tidak mungkin menceritakan apa yang terjadi di Arena setelah tahun 2000 karena saya sudah tidak intens lagi mengikuti perkembangan Arena. Saya juga tidak mungkin bercerita banyak tentang Arena sebelum tahun 1994, bukan karena saya sama sekali tidak tahu, tetapi karena pengetahuan saya tentang hal itu tak akan lebih dari sebatas kesan.

Ngomong-ngomong soal kesan, saya memiliki kesan tentang Arena sebelum tahun 1994 itu sebagai raksasa pers mahasiswa. Kesan itu muncul begitu kuat ketika saya membuka arsip-arsip terbitan Arena sepanjang satu dekade sebelum pembredelan tahun 1993. Betapa tidak, liputan-liputannya selalu konsisten mengangkat kasus ketidakadilan yang tidak mungkin dipublikasikan media massa umum pada masa pemerintahan otoriter Orde Baru. Reportasenya didukung oleh reporter-reporter yang tidak hanya berasal dari mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga, tetapi juga oleh relawan di beberapa kota besar. Belum lagi jangkauan pemasarannya yang tidak hanya menyasar segmen mahasiswa, sebagaimana tercermin dari beragamnya latar belakang pengirim surat pembaca dan kontributor artikel maupun karya sastra yang dimuat di dalam setiap terbitannya. Dari soal kualitas, keberanian, dan peminatnya, sulit disangkal bahwa Arena pada masa itu sangat berpengaruh.

__

Kesan tentang kuatnya pengaruh Arena sebagai pers mahasiswa itu juga terkonfirmasi oleh sikap respek yang ditunjukkan jaringan Arena dari berbagai perguruan tinggi se Indonesia, baik dari kalangan aktivis pers mahasiswa maupun aktivis gerakan pro demokrasi lainnya. Kesan itu saya rasakan sendiri ketika beberapa kali mengunjungi kantong-kantong gerakan mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di luar Yogyakarta. Begitu saya memperkenalkan diri sebagai kru Arena, sikap persahabatan dan keingintahuan tentang kondisi terakhir Arena langsung mereka tampakkan. Begitupun ketika para aktivis pers dan gerakan mahasiswa di berbagai kota itu berkunjung ke Yogyakarta, mereka akan mengunjungi kantor Arena, berdiskusi tentang bagaimana idealnya gerakan pers mahasiswa dalam perspektif Arena, karena bagi mereka Arena adalah kiblat pers mahasiswa. 

Para aktivis jaringan dari berbagai kota itu pula, yang menurut pemberitaan media massa, tanpa kenal lelah, berbilang minggu, mendemo rektorat IAIN Sunan Kalijaga ketika Rektor Simuh (alm.) membredel Arena tahun 1993. Gencarnya pemberitaan tentang demonstrasi mahasiswa menentang pembredelan majalah Arena di media-media nasional turut melambungkan popularitas Arena. Saya sendiri yang waktu itu belum berstatus mahasiswa karena masih nyantri di Pesantren Nurul Jadid Probolinggo, turut terpapar berita-beritanya. Karena itu, ketika saya mendaftar sebagai mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga tahun 1994, satu-satunya UKM yang saya survei adalah kantor Arena. Saya penasaran, seperti apa gerangan kantor redaksi majalah mahasiswa yang heboh diberitakan koran itu. Saya perlu melihat dari dekat, mana tahu kantornya sebesar kantor redaksi Jawa Pos atau Surya di Surabaya. 

( Arsip 1995)

Seingat saya, ketika saya mengamati kantor Arena, waktu itu saya sempat tertegun di depan meja kayu besar dengan taplak kertas strimin yang ditindih dengan kaca bening. Karena penasaran, saya tanyakan fungsinya. Dan jawabannya, oh, ternyata itu meja buat melayout (untuk memotong-motong kertas berisi naskah supaya presisi). Masih manual dong, batin saya. Ya, saya memang sedikit banyak tahu tentang ilmu potong memotong naskah itu karena sewaktu duduk di bangku Madrasah Aliyah saya terlibat dalam penerbitan majalah siswa. Bedanya, kalau kru Arena memotong kertas menggunakan ilmu ukur, saya dan teman-teman siswa kala itu menggunakan ilmu kirologi.

Namun, selain soal fasilitas layout yang masih manual itu, saya menemukan banyak hal menarik di kantor Arena. Di antaranya adalah alur kerja redaksional yang tergambar jelas pada fasilitas papan kerja. Setiap rubrik Arena memiliki papan sendiri dan di situ perjalanan naskah dapat dicek sampai di mana. Hal lain yang jauh lebih menarik perhatian saya adalah komunitas yang selalu berdiskusi. 

Pada saat itu, saya mendapat informasi bahwa mahasiswa-mahasiswa yang nongkrong berdiskusi di ruang tamu Arena itu bukan hanya kru Arena, tetapi juga pengurus senat dan para aktivis gerakan. Saya pun berkesimpulan bahwa kantor Arena adalah tempat bertemunya gagasan dan tindakan. Inilah jantung gerakan dan pemikiran mahasiswa. Terbersit dalam hati saya, kalau nanti saya diterima di IAIN Sunan Kalijaga, saya harus aktif di Arena.

Akhirnya, ketika saya diterima sebagai mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga, tepatnya di Fakultas Ushuluddin, Jurusan Aqidah Filsafat, peluang itu datang. Arena membuka lowongan untuk rekrutmen kru baru tahun 1994. Di luar dugaan saya, peminat yang mendaftar lebih dari seratus. Saya menjadi pendaftar ke seratus tiga puluh sekian. Bagaimana mungkin majalah yang berada dalam kondisi vakum, tidak jelas kapan boleh terbit, masih memiliki peminat sebanyak itu? Banyaknya peminat tentu saja mengurangi kans saya untuk lolos. Saya agak khawatir, tetapi saya berusaha meyakinkan diri. Bukankah saya cukup punya pengalaman dalam dunia jurnalistik, sekurang-kurangnya tingkat siswa? Soal keterampilan menulis, misalnya, beberapa kali artikel dan cerpen saya sudah dimuat di koran. Apa yang harus dikhawatirkan?

Memang pada akhirnya saya diterima. Tetapi saya mendapat cerita sedikit kurang enak dari salah satu senior. Katanya, nama saya sempat diperdebatkan kelayakannya. Pasalnya, ketika tes wawancara, saya ditanya tentang tokoh idola, saya menjawab tidak punya idola. Benar, saya menjawab demikian karena saya menganggap pertanyaan itu jebakan. Soalnya, yang ada di pikiran saya adalah kecurigaan, sekiranya tokoh idola yang saya kemukakan adalah tokoh yang tidak disukai pewawancara, bisa dicoret nama saya. Tetapi, jawaban saya itu justru tidak memuaskan pewawancara, dan itu hampir saja mendegradasi nama saya. Padahal, kalau sampai saya tidak diterima, saya bisa keluar dari Islam Negeri, pindah ke Islam Swasta.

Dari sekian banyak nama yang mendaftar dan mengikuti seleksi, pada akhirnya Arena hanya memilih sekitar 20-an mahasiswa. Komposisinya cukup seimbang antara mahasiswa semester satu dan semester tiga. Pastinya ada perbedaan kualitas dan kematangan. Karena itulah Arena memberlakukan upgrading selama kurang lebih tujuh hari untuk menyetarakan kemampuan kru barunya. Lebih dari itu, upgrading menjadi wahana penguat solidaritas sekaligus penyambung hubungan emosional antara kru senior atau bahkan alumni yang berprestasi dengan kru baru. Saya masih ingat, ada beberapa alumni Arena yang telah bekerja di media umum atau di LSM didatangkan untuk mengisi materi. 

Karena materi upgrading didesain layaknya materi pelatihan jurnalistik tingkat dasar, ujung-ujungnya harus praktek. Setiap kru ditugaskan ke lapangan untuk melakukan reportase. Untungnya, kasus yang harus diangkat tidak ditentukan. Setiap peserta bebas memilih sendiri. Saya pun mencari yang paling gampang. Saya datang ke pos polisi lalu lintas di depan kampus, mewawancarai polisi yang bertugas tentang perilaku pengendara sepeda motor di Yogyakarta. Oleh seorang teman, saya dikira kena tilang sehingga beberapa kru senior berniat mengadvokasi saya, padahal saya tidak bawa motor. Mereka kecele.

Para senior meminta agar rekaman wawancara ditranskrip dan kemudian diolah menjadi berita. Hasilnya dijadikan bahan evaluasi bersama. Di sinilah kami, para kru baru, banyak memperoleh masukan tentang bagaimana menulis berita yang benar sesuai dengan teori. Selanjutnya, naskah berita yang sudah dikoreksi para senior dengan coretan-coretan sana sini harus diketik ulang. Jangan dibayangkan kami melakukan itu dengan mudah, sebab semua dikerjakan menggunakan mesin ketik manual. Setiap terjadi kesalahan fatal, pengetikan harus dimulai dari awal. Itu berat, kata Dilan.

Ujung dari rangkaian kegiatan upgrading adalah membuat konsep majalah sederhana. Peserta dibagi menjadi beberapa kelompok, kemudian diberi tugas untuk membuat majalah dengan berita yang sudah siap. Lagi-lagi kami harus mengetik ulang berita-berita itu dalam format layout manual yang membutuhkan kecermatan tingkat tinggi. Potong memotong naskah menggunakan ilmu kirologi pun diterapkan.

Persoalan yang dihadapi bukan sekadar bagaimana mengestimasi panjang berita dengan kolom yang tersedia, tetapi juga soal halaman yang harus berkelipatan empat. Walhasil, dalam tugas kelompok saya, tersisa dua halaman kosong yang tidak tahu harus diisi apa. Akhirnya, saya mengambil inisiatif untuk membuat cerpen sepanjang dua halaman majalah. Pekerjaan ini sangat rumit karena untuk menghasilkan karya cerpen yang baik, seorang penulis harus membebaskan diri dari belenggu jumlah halaman, sementara dalam tugas kali ini, cerita harus usai persis di akhir halaman majalah yang kosong. Tidak boleh kurang, tidak boleh lebih. Sekali lagi, dengan mesin ketik manual! Capeknya na’udzu billah.

Derita melayout dengan mesin ketik manual itu tentu saja tidak hanya dialami kelompok saya. Setiap kelompok mengalaminya. Yang namanya naskah gagal ketik berserakan di mana-mana, membuat seisi gedung Aula II penuh dengan sampah. Ini pasti sangat merepotkan Pak Jimuh, petugas kebersihan yang sangat pasrah ekspresi wajahnya. Jadi, banyaknya naskah gagal ketik itu bukan karena salah substansinya, melainkan lebih pada soal teknis pengetikannya, bagaimana mengetik kata-kata tidak melebihi garis yang telah di sketsa sebelumnya, misalnya. Itulah yang menyebabkan peserta upgrading hari terakhir harus bekerja ekstra dari pagi sampai pagi lagi.

Setelah kegiatan upgrading, upaya penyetaraan kemampuan kru baru terus dilakukan oleh para senior di Arena. Salah satunya dengan menggalakkan diskusi rutin mingguan. Pematerinya adalah kru senior dan para alumni. Materi diskusi berkisar pada penguasaan informasi dan teori-teori keilmuan. Seluruh kru Arena wajib mengikuti diskusi rutin ini. Dari diskusi inilah kru Arena diharapkan dapat membedah informasi-informasi penting, baik informasi bawah tanah (dalam konteks rezim Orde Baru) maupun informasi yang bersifat global. Dari diskusi ini pula, seluruh kru Arena berkenalan dengan teori-teori sosial, sehingga tidak gagap menyikapi berbagai perkembangan wacana, sekaligus memiliki pijakan berpikir yang kokoh dalam membedah suatu kasus.

Dalam menyikapi kasus-kasus tertentu yang tengah menjadi perhatian publik, terkadang Arena menghadirkan pembicara dari luar, biasanya tokoh aktivis LSM atau dosen pengamat dari kampus lain, untuk berbicara di kantor Arena – tentu saja dengan peserta yang lebih terbuka. Yang menarik, diskusi dengan tokoh semacam itu terkadang tidak direncanakan. Acap terjadi seorang tokoh publik yang diundang dalam suatu seminar di Yogyakarta, baik di IAIN maupun kampus lain, mampir ke kantor Arena untuk sekadar silaturrahim. Bila sudah demikian, secara spontan kru Arena menyiapkan forum untuk mendapuk sang tokoh sebagai pemateri diskusi. Belum ada ponsel, tak ada pesan singkat, nyatanya peserta diskusi membludak. Mereka ngemper berjejal-jejal. Yang paling depan berkerumun mengelilingi sepatu lars butut yang dijadikan asbak.

(Arsip 1998)

Di luar diskusi rutin yang bersifat tematis, Arena sebagai lembaga penerbitan tentu juga melakukan rapat-rapat redaksi. Meskipun izin terbit masih dibekukan oleh rektor, Arena tetap menyelenggarakan rapat-rapat redaksi untuk tetap memelihara asa supaya tetap tidak padam. Mana tahu surat pembekuan dicabut sewaktu-waktu. Jika pun tidak, rencana lain bisa dijalankan, yakni terbit tanpa izin, tentu saja dengan biaya swadaya dan seadanya. 

Rapat redaksi yang pertama saya ikuti adalah rapat untuk menginventarisasi isu-isu yang diusulkan peserta, lalu dikelompokkan sesuai rubrikasi untuk kemudian dibahas dan dirangking. Dalam rapat redaksi pertama itu, saya agak kaget karena ternyata banyak sekali kru Arena yang hadir. Banyak wajah senior yang baru kali itu saya lihat. Mereka tidak setiap hari nongkrong di Arena, mungkin karena kesibukan di luar kampus atau di poros aktivitas intra dan ekstra kampus lainnya, namun ketika rapat redaksi mereka hadir semua.

Setelah semua rubrik terpenuhi, tibalah saatnya rapat khusus untuk memilih berita utama. Usulan berita utama yang disepakati adalah pengungkapan kasus rencana pembebasan tanah untuk pembangunan kilang minyak milik pengusaha kakap Probosutedjo di daerah Gending, Probolinggo, Jawa Timur. Informasi ini mengejutkan saya. Beberapa tahun saya tinggal di Probolinggo tidak pernah mendengarnya, baik dari koran maupun cerita mulut ke mulut. Tetapi, di kantor Arena saya justru mengetahuinya.

Lebih terkejut lagi saya ketika dijelaskan bahwa, Probosutedjo sudah melakukan pendekatan kepada kiai-kiai se-Probolinggo, termasuk kiai di tempat saya pernah nyantri, yakni Pesantren Nurul Jadid yang berlokasi di Paiton. Peran kiai inilah kemudian yang ingin disorot oleh Arena. Karena itu, selain bermaksud menginvestigasi proses pembebasan tanahnya, Arena membidik kiai-kiai di wilayah Probolinggo untuk dikonfirmasi keberpihakannya.

Keterkejutan saya tak dapat lagi digambarkan ketika Pemimpin Redaksi, Saiful Huda Shodiq, menugasi saya dan Muhammad Ridwan yang notabene sama-sama alumni Pesantren Nurul Jadid Probolinggo untuk turun ke lokasi. Berdua, kami diminta untuk menggali informasi dari masyarakat, mewawancarai Sekretaris Daerah Kabupaten, Ketua DPRD, Pengasuh Pesantren Zainul Hasan Genggong, Pengasuh Pesantren Badrudduja, dan Pengasuh Pesantren Nurul Jadid. Sungguh berat untuk yang terakhir itu, Senior! Wacana teologi pembebasan yang pernah menjadi materi diskusi mingguan sepertinya tak mempan mengusir galau. Bagaimana mungkin saya ataupun Ridwan, sebagai santri, harus meminta konfirmasi isu sensitif ini kepada kiai sendiri?

(Arsip 1995)

Untunglah beberapa hari menjelang keberangkatan ke Probolinggo, ada seorang senior yang belum mendapat tugas menawarkan diri untuk bergabung. Namanya Ahmad Fauzi. Karena kampungnya di Pasuruan yang berdekatan dengan Probolinggo, dia tertarik untuk membantu liputan sekaligus pulang kampung. Mas Fauzi juga dengan senang hati mengambil tugas wawancara dengan kiai-kiai itu, sehingga saya dan Ridwan fokus menggali data dan informasi dari masyarakat sambil sesekali melakukan wawancara dengan pejabat setempat.

Selama melakukan liputan, saya bersama Ridwan tinggal di Pesantren Nurul Jadid. Ketika terjun ke lokasi kasus, kami ditemani seorang mahasiswa Institut Agama Islam Nurul Jadid (IAINJ) yang aktif di Kelompok Kajian Pojok Surau (KKPS). Berkat bantuan teman tersebut, kami tidak kesulitan berkomunikasi dengan masyarakat setempat. Bahkan, di lokasi kasus, saya bertemu dengan teman lama saya sesama alumni Pesantren Nurul Jadid yang memang asli Gending. Suplai informasi pun bertambah. Semua menjadi mudah.  Sungguh lega rasanya. Saking leganya, semua hasil wawancara di lapangan segera kami transkrip untuk diserahkan kepada Pemred secepatnya, sehingga untuk beberapa saat saya dan Ridwan bisa santai.

Tetapi bukan Pemred namanya kalau tidak ngerjain anak buah. Ketika saya dan Ridwan sudah santai, Mas Saiful memberi tugas baru yang tak alang kepalang. Semua salinan transkrip yang berkaitan dengan laporan utama diserahkan kepada saya dan Ridwan untuk dibuatkan narasi laporan utama. Saking kagetnya Ridwan tidak bisa tidur semalaman. Reporter baru diminta menulis laporan utama? Ini sungguh tidak masuk akal. Beberapa senior yang sudah tidak aktif kami mintai pendapat. Ada yang memprovokasi untuk menolak, tetapi lebih banyak yang mendukung keputusan Pemred. Akhirnya kami menyerah. Tugas ini kami anggap sebagai cobaan, eh, ujian. 

Ketika konsep laporan utama yang kami narasikan diserahkan kepada Pemred, hal buruk yang saya bayangkan adalah koreksi dengan coretan-coretan tebal dan itu akan terjadi berulang-ulang dan pasti membosankan. Namun, kali ini Mas Saiful menjadi sosok Pemred yang sangat arif lagi bijaksana. Naskah memang dia koreksi, tetapi untuk diperbaikinya sendiri. Hasil perbaikannya kemudian diserahkan kepada Pemimpin Umum, Mukhotib MD. Oleh Mas Mukhotib, naskah itu masih diperbaiki lagi sebelum akhirnya siap terbit.

Langsung terbit? Ah, tidak juga. Para senior mungkin masih mencari waktu yang tepat. Mungkin juga mencari-cari tambahan dana. Yang jelas ada masa di mana laporan utama Arena yang belum terbit itu menjadi bahan perbincangan teman-teman gerakan mahasiswa. Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KMPD) yang berbasis di IAIN Sunan Kalijaga beserta jaringannya di beberapa kota turun ke lokasi kasus untuk mengadvokasi masyarakat yang terancam menjadi korban penggusuran. 

Salah satu tokoh KMPD, Lutfi Rahman, yang juga alumni Pesantren Nurul Jadid, berkomunikasi dengan mahasiswa IAINJ Paiton yang aktif di KKPS dan pers mahasiswa setempat, Al-Fikr. Hasilnya, mahasiswa IAINJ Paiton menjadi host bagi jaringan gerakan mahasiswa di berbagai kota yang hendak mengadvokasi kasus pembebasan tanah oleh perusahaan milik Probosutedjo itu. Dari hasil komunikasi itu pula, Al-Fikr, sebagai lembaga penerbitan mahasiswa, mengundang Arena untuk memberi pelatihan jurnalistik kepada mahasiswa IAINJ Paiton.

Permintaan Al-Fikr dipenuhi oleh Arena dengan mengirim pemateri seperti AS Burhan, Saiful Huda Shodiq, Abdul Choliq, Abrari, dan saya sendiri. Tiba di Probolinggo, rombongan Arena tidak hanya disambut para kru Al-Fikr dan anggota KKPS, tetapi juga oleh teman-teman gerakan dari Institut Seni Indonesia (ISI) yang kampusnya terletak di Yogyakarta. Rupanya mereka, alm. Dono dkk., sedang piket melakukan pendampingan masyarakat kasus.

Jadi begitulah, laporan utama Arena sudah tersosialisasi lebih dulu sebelum diterbitkan. Arena baru terbit pada awal tahun 1995. Saya lupa nomor edisi dan bulannya. Yang jelas, sampulnya berjudul ‘Kiai tanpa Umat’. Karena keterbatasan biaya, hanya sampulnya saja yang masuk ke percetakan. Isinya cukup difotokopi saja. Meski demikian, majalah itu terjual dengan laris manis. Bahkan, banyak permintaan yang tidak bisa dipenuhi karena keterbatasan stok.

Tingginya animo pasar membuat kru Arena bersemangat kembali. Rapat-rapat redaksi segera digelar untuk menyiapkan materi edisi berikutnya. Di saat yang sama, sikap rektorat menjadi sangat dingin. Keberhasilan Arena menerbitkan edisi ‘Kiai tanpa Umat’ rupanya dianggap sebagai tamparan bagi mereka. Kru Arena menjadi semakin sulit berkomunikasi dengan pihak rektorat. Bahkan untuk sekadar meminta peralatan ATK saja dipersulit.

Newsletter Itu Diberi Nama Slilit.

Makin tertutupnya ruang negosiasi antara Arena dengan rektorat lumayan berpengaruh pada menurunnya gairah kru Arena. Ketidakpastian terbit membuat kru tanggal satu demi satu alias mrotoli. Seorang senior mengingatkan saya bahwa fenomena mrotoli itu hal yang biasa, seleksi alam saja. Zaman Arena masih terbit rutin juga begitu. Bedanya, kalau waktu itu kru mrotoli karena beratnya tekanan kerja, kali ini mrotoli karena ketidakpastian terbit. 

Kekesalan kru Arena kepada pihak rektorat terkadang diartikulasikan secara unik. Ilustrator kawakan Arena bernama Nurul huda yang kondang dengan panggilan Gazroel membuat karikatur yang menggambarkan Pembantu Rektor (Purek) III Yahya Harun sedang sempoyongan sambil menenteng botol. Setahu saya karikatur itu hanya dipamer begitu saja di dinding ruangan Arena. Tapi entah siapa yang melakukan, salinan karikatur itu tersebar di mana-mana dan setiap orang yang melihatnya pasti ngakak. Sebagai ganjarannya, Mas Gazroel menjadi target buruan “pasukan gelap” Yahya Harun.

Babak baru negosiasi dengan rektorat kembali dilancarkan setelah Yahya Harun diganti. Purek III yang baru, alm. Masyhur Amin, meminta agar Arena berganti nama jika mau terbit. Namun, Arena menolak usulan itu. Yang bisa dilakukan adalah menerbitkan media lain selain majalah, seperti jurnal, dengan nama bukan Arena. Jika demikian, tentu harus ada organisasi payung yang membawahi media-media itu. Pak Masyhur Amin tertarik dengan konsep itu. Buktinya, rektorat mulai memberikan sedikit perhatian dalam wujud sebiji laptop.

Untuk mewujudkan organisasi payung tersebut, AD/ART Arena direvisi dalam sebuah rapat yang melibatkan seluruh anggota. Format struktur kepengurusan Arena dimodifikasi. Puncak pimpinan adalah Ketua Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) yang membawahi Pemimpin Umum dan Pemimpin Perusahaan. Di bawah Pemimpin Umum ada Pemimpin Redaksi sedangkan di bawah Pemimpin Perusahaan ada staf keuangan dan staf pemasaran. Ketika dilakukan pemilihan pimpinan terpilihlah Mukhotib MD sebagai Ketua LPM, Saiful Huda Shodiq sebagai Pemimpin Umum, dan Afif Muhammad sebagai Pemimpin Redaksi.

Organisasi dengan format baru itu ternyata tidak mampu mempengaruhi perubahan sikap Rektor. Jembatan komunikasi yang dibangun melalui Purek III kurang efektif. Pihak rektorat tetap tidak menjanjikan LPM bisa menerbitkan produk jurnalistik. Upaya komunikasi yang kerap berakhir antiklimaks benar-benar menguji daya tahan kru Arena. Para senior di Arena pasti menyadari bahwa satu-satunya cara yang efektif untuk menjaga kontinuitas Arena adalah terbit. Sementara untuk menerbitkan Arena tanpa suntikan dana dari rektorat hampir mustahil. Sekiranya pun dipaksakan terbit, pastilah jumlah tirasnya jauh dari biasanya. Sementara jika penerbitan ditunda, naskah-naskah berita yang sudah siap saji akan basi. Dilema ini akhirnya dipecahkan dengan menerbitkan newsletter dengan jumlah halaman dan tiras yang terbatas. Ya, itung-itung sekalian untuk melegitimasi adanya LPM yang menurut desainnya tidak hanya menerbitkan majalah.

Newsletter itu diberi nama Slilit. Filosofinya, slilit adalah benda kecil yang remeh temeh tetapi sangat mengganggu kenyamanan. Karena itulah Newsletter Slilit diberi taglineJelas dan Mengganjal”.

Newsletter Slilit edisi perdana dirampungkan pada bulan Februari 1996. Karena komputer yang ada di Arena masih berbasis WordStar (maklum komputer lungsuran senat yang dihibahkan Ketua Senat Abdur Rozaki), maka untuk menghindari layout manual, finishing dilakukan di kos Ahmad Zaky. Kebetulan Zaky punya komputer baru berbasis Microsoft yang didalamnya telah ditanam program pagemaker. Kebetulan pula yang bisa mengoperasikan pagemaker hanya Mas Mukhotib. Akhirnya, ya apa boleh buat, Ketua LPM menjadi layouter.

Saya ingat betul Mas Mukhotib berusaha menularkan kemampuannya melayout kepada saya, tapi saya-nya tidak bisa-bisa. Saya hanya memperhatikan saja Pak Ketua LPM ini memainkan mouse-nya dengan lincah. Ada perasaan tidak enak bercampur geli. Tapi, ya, kapan lagi bisa mandorin senior. Dalam suasana bulan Ramadhan, layout newsletter Slilit baru rampung menjelang waktu sahur. Ada sedikit persoalan karena naskah berita yang tersedia tidak sampai menjangkau halaman akhir. Halaman terakhir yang kosong itu akhirnya diblok warna hitam oleh Mas Mukhotib, lalu dikasih tulisan melintang agak diagonal: “Demokrasi kita miring? Au ah gelap!” Layout Slilit pun beres.

Setelah terbitnya Slilit, rapat-rapat redaksi tidak seintens sebelumnya. Tentu saja faktor utamanya adalah seretnya komunikasi dengan rektorat. Beberapa upaya dilakukan Arena untuk mencari “pemasukan”, antara lain dengan mengajukan usulan pelatihan jurnalistik untuk pers mahasiswa se-Indonesia kerja sama antara Arena dan majalah Tempo. Arena mengajukan proposal kerja sama ini karena melihat adanya peluang, bahwa antara Arena dan Tempo satu nasib. Arena tidak bisa terbit normal karena dibredel Rektor, sementara Tempo hanya bisa terbit online–dengan nama Tempo Interaktif dan itu hanya bisa diakses segelintir orang yang melek internet waktu itu–karena sejak tahun 1994 dibredel oleh Menteri Penerangan. 

(Arsip 1998)

Proposal kegiatan yang diajukan ke majalah Tempo tidak ada kabarnya. Beberapa kru menyelingi aktivitas dengan menulis artikel di media umum atau aktif di LSM. Saya sendiri termasuk aktif menulis untuk media massa umum. Saya tidak punya akses untuk masuk ke pergaulan dunia LSM. Pernah Mas Saiful mengutus saya untuk mewakili Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LKPSM) mengikuti kegiatan Forum LSM DIY selama satu minggu. Dan itu menjadi satu-satunya kegiatan LSM yang pernah saya ikuti di luar urusan Arena.

Suatu siang, kalau tidak salah tanggal 28 Juli 1996, saya diminta para senior untuk bersiap-siap berangkat ke Jakarta. Jelas saya terkejut dan bingung. Bukan saja karena saya tidak tahu apa keperluannya, tetapi yang lebih menggusarkan saya karena saya tidak tahu menahu tentang Jakarta. Belum lagi semua koran hari itu memberitakan tentang adanya kerusuhan di Kantor Pusat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang banyak menelan korban jiwa dan banyak aktivis pro demokrasi ditangkapi aparat.

Wes tah, kamu berangkat sama Zainab. Nanti sore ngumpul di basecamp KMPD. Ini undangannya,” kata Mas Saiful sambil menyodorkan surat undangan dari Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang beralamat di Jl. Utan Kayu No. 68H, Jakarta. 

Setelah saya baca suratnya, ternyata isinya kurang lebih menerangkan bahwa Arena masuk dalam kategori lima besar pers mahasiswa terbaik di Indonesia. Karena itu, Arena berhak mengirim dua orang utusan untuk mengikuti pelatihan jurnalistik tingkat lanjut yang akan dihelat ISAI bekerja sama dengan Majalah Tempo di Sirnagalih, Bogor. Begitu diteliti materi pelatihannya, rupanya sangat mirip dengan materi pelatihan dalam proposal yang pernah diajukan Arena ke Majalah Tempo. Copy paste? Wallahu a’lam.

Sore harinya, saya bersama Siti Zainab berangkat ke basecamp KMPD. Di sana, kami sudah ditunggu oleh tiga orang yang akan berangkat ke Jakarta juga. Dua orang laki-laki aktivis asal Jakarta yang saya sudah lupa namanya, satu lagi perempuan yang sering saya lihat mengikuti kegiatan Lembaga Kajian islam dan Sosial (LKiS) bernama Diah asal Bekasi. Lumayan, di perjalanan banyak teman, batin saya. Sore itu kami berangkat ke stasiun Lempuyangan diantar oleh serombongan teman-teman KMPD, macam mau naik haji saja.

Sampai Jakarta matahari masih belum muncul. Karena terlalu pagi, kami mampir dulu di rumah Diah. Ayah Diah sangat bersemangat ngobrol dengan saya setelah saya mengaku berasal dari Pulau Bawean, Gresik. Katanya, dia punya banyak teman dari Bawean sewaktu bekerja di pelayaran. Obrolan baru berhenti sekira pukul 09.00. Saya bersama Zainab meluncur ke kantor ISAI di Utan Kayu melewati jl. Matraman yang sepi tetapi mencekam karena penuh dengan serdadu. Maklum, Jakarta masih siaga satu karena peristiwa Kudatuli (Kerusuhan 27 Juli).

Dari kantor ISAI kami berangkat ke lokasi pelatihan di Sirnagalih bersama para peserta lain yang tercakup dalam lima pers mahasiswa terbaik. Kelima pers mahasiswa itu, selain majalah Arena, yaitu majalah Balairung (UGM), tabloid Bulak Sumur (UGM), majalah Himmah (UII), dan majalah Kanaka (Unud). Rata-rata peserta yang diutus oleh pers-pers mahasiswa itu terbilang sudah senior. Mereka adalah para pemimpin umum, pemimpin redaksi, atau sekretaris redaksi. Menyadari hal ini, saya sangat mengapresiasi keputusan para senior di Arena yang tidak egois dengan memberikan kesempatan kepada juniornya mengikuti kegiatan penting ini. 

Pelatihan dipandu oleh Titi Irawati dan Nugroho Katjasungkana. Beberapa narasumber yang dihadirkan adalah tokoh-tokoh pers Indonesia, yaitu Goenawan Mohamad, Toriq Hadad, S. Malela, Wahyu Muryadi, Stanley Adi Prasetyo, Andreas Harsono, dan Atmakusumah Astraatmadja. Ditambah lagi dengan materi wawasan dari Ita F. Nadia dari Kemitraan Indonesia dan Sri Bintang Pamungkas yang saat itu dikenal sebagai tokoh oposisi pemerintah paling vokal.

Dalam forum pelatihan itu majalah Arena sempat menjadi bahan perbincangan. Pada sesi awal ada yang menggugat, bagaimana mungkin Arena yang hanya terbit sebiji saja bisa masuk dalam kategori pers mahasiswa terbaik sedangkan pers mahasiswa lainnya mengirimkan lima edisi terakhirnya. Malah ada yang lebih nyinyir lagi dengan meminta agar Arena membubarkan diri saja daripada status sebagai kru Arena hanya dimanfaatkan untuk mengisi curriculum vitae saja. Sungguh kejam.

Kepada mereka saya jelaskan bahwa penilaian terhadap Arena tidak bisa dilepaskan dari aspek perjuangannya. Arena adalah simbol perlawanan pers mahasiswa. Jangan dikira bahwa semasa vakum Arena tidak melakukan apa-apa. Buktinya Arena tetap bisa terbit dengan biaya swadaya. Bahkan tanpa biaya pun Arena bisa menerbitkan newsletter dengan substansi dan kualitas berita yang sama dengan majalah. 

Pembahasan tentang Arena diakhiri dengan saran dari panitia agar semua pers mahasiswa memberikan solidaritas terhadap Arena. Sementara kepada Arena, panitia menyarankan agar menempuh jalur hukum untuk memulihkan izin terbitnya. Saran yang terkesan asal saja.

Karena mendapat “serangan” di Awal, saya berusaha tampil aktif selama pelatihan. Pokoknya sumber daya Arena harus kelihatan lebih menonjol. Meskipun peserta-peserta lain lebih senior dan berpengalaman, toh dalam hal keilmuan dan penguasaan informasi mereka masih bisa diimbangi. Dari sesi ke sesi saya merasa cukup dominan di forum, tentu saja asal ngecap. Sok tahu sedikit-sedikit tidak apa-apa. Nyatanya panitia mencatat itu sebagai sesuatu yang positif. Buktinya, setelah pelatihan berakhir dan semua peserta dimagangkan, saya ditempatkan di majalah Forum, sebuah majalah tempat eksodusnya sebagian besar kru majalah Tempo setelah dibredel. Zainab ditempatkan di Tempo Interaktif. Sedangkan peserta-peserta yang lain di taruh di media yang masih kalah gengsi saat itu, seperti majalah Detektif dan Romantika, majalah Jakarta-Jakarta, Media Indonesia, dan sebagainya.

Untuk magang di majalah Forum, saya dititipkan kepada wartawan senior Wahyu Muryadi oleh panitia. Mas Wahyu Muryadi kemudian mempertemukan saya dengan Wakil Pemimpin Redaksi, Wina Armada, untuk teken kontrak magang mulai tanggal 5 sampai 21 Agustus 1996. Saya ditempatkan di bawah Koordinator Liputan Maman Gantra. Setiap hari saya hari saya mendapat tugas memburu sumber berita. 

Mas Wahyu Muryadi menemui saya rata-rata dua kali dalam seminggu. Kalau tidak mengajak makan-makan biasanya mengajak liputan bareng. Liputan bersama Mas Wahyu cukup menyenangkan karena antara Mas Wahyu dengan responden sudah pasti ada janji sebelumnya. Berbeda dengan liputan yang harus saya jalani sendirian. Seringkali saya gagal karena banyak faktor seperti responden tidak berada di tempat, tidak mau ditemui, atau sudah bisa ditemui tetapi tidak mau angkat bicara. Belakangan baru saya tahu kalau tugas-tugas yang diberikan pada saya itu adalah tugas-tugas yang tidak berhasil dilaksanakan oleh reporter-reporter Forum. Pantas saja kalau saya menelpon responden (dari telepon umum karena dulu ponsel belum populer) sering mendapat jawaban sengak dari lawan bicara. Ampun deh.

Melakoni tugas wartawan profesional di Jakarta, waktu itu, ternyata cukup melelahkan. Mungkin karena saya belum terbiasa bekerja cepat di bawah tekanan. Setiap pukul tujuh pagi saya berangkat dari Asrama Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi di Jl. Proklamasi menuju Kantor Majalah Forum di bilangan Mayestik dan baru bisa pulang pukul sembilan atau sepuluh malam. Sangat berbeda dengan jam kerja teman-teman wartawan di Yogyakarta yang saya tahu. Para senior yang menjadi wartawan di Yogyakarta seperti Mas Achadi di harian Bernas atau Mas Hadzik di Harian Jogja Post masih punya waktu nongkrong di Arena di sela-sela tugas liputan dan kuliah mereka.

Setelah masa magang di majalah Forum berakhir, saya menghadap Pemimpin Redaksi, Karni Ilyas, untuk pamit. Sesaat setelah memberi wejangan singkat diselingi canda-candanya yang khas, Pak Karni memanggil staf untuk memberikan souvenir kepada saya. 

Saya sudah bersiap-siap meninggalkan Kantor Forum ketika Mas Wahyu mencegat saya di ruang tamu. Mas Wahyu meminta saya agar tidak pulang ke Yogyakarta karena tenaga saya dibutuhkan oleh Forum. Permintaan itu saya tolak dengan alasan mau menyelesaikan kuliah. Mas Wahyu memperingatkan saya bahwa lulus kuliah itu tidak menjamin kesuksesan. Sebaliknya, dengan berkarier di majalah Forum yang saat itu menjadi raksasa pengganti majalah Tempo, kesuksesan ada di depan mata. Soal keinginan menyelesaikan kuliah, katanya, kelak bisa dilaksanakan di Jakarta. Penjelasan Mas Wahyu sebenarnya masuk akal, apalagi pada masa Orde Baru sangat banyak sarjana yang kesulitan mencari pekerjaan. Namun, karena dalam hati saya tidak sreg dengan ritme kerja di majalah Forum, saya tetap menolak permintaannya. Dengan sedikit naif saya nyatakan bahwa saya tetap memilih kuliah. Karena itu, saya pulang ke Yogyakarta, kembali berproses di Arena yang tidak jelas kapan terbitnya.

Ketidakjelasan jadwal terbit sedikit banyak berpengaruh pada melemahnya eksistensi Arena dalam pergaulan pers mahasiswa. Dalam beberapa momen pertemuan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI), Arena tidak lagi mengirim utusan. Seiring dengan itu, minat mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga sendiri untuk berkecimpung di Arena mulai menurun. Pendaftaran kru baru yang dibuka tahun 1996 menunjukkan angka peminat yang jauh merosot. Itu pun, ketika para pendaftar itu di-interview, kebanyakan dari mereka (terutama yang semester satu) mengaku termotivasi bergabung dengan Arena supaya bisa menulis. Bukan suatu motivasi yang salah sih, tapi di balik motivasi itu sebenarnya ada kesan bahwa peluang yang bisa mereka temukan di Arena hanyalah belajar menulis. 

Berbeda dengan kru baru hasil upgrading 1994 yang langsung dipacu dengan rapat-rapat redaksi dengan agenda terbit, kru baru hasil upgrading 1996 lebih banyak diajak rapat dengan agenda bagaimana bertahan di masa vakum. Maklum saja, saat itu sudah mulai muncul selentingan kabar yang meneror mental mulai dari rencana penutupan hingga pemindahan kantor Arena. Sepanjang teror itu masih bersifat mental tentu masih bisa dihadapi. Tetapi ketika yang diterima adalah teror fisik, seperti yang menimpa Pemimpin Umum Arena, Saiful Huda Shodiq, akibatnya sungguh fatal.

Cerita singkatnya begini. Suatu sore menjelang maghrib, serombongan preman beratribut Golkar menyerbu kampus IAIN Sunan Kalijaga. Mereka menemukan Mas Saiful sendirian. Kepala Mas Saiful diketak menggunakan besi tumpul, hingga yang bersangkutan terkapar pingsan dengan kepala bersimbah darah. Mas Saiful pun segera dilarikan ke RS Bethesda untuk mendapat perawatan intensif. Dokter menyatakan Mas Saiful mengalami gegar otak sehingga harus mendapatkan perawatan cukup lama di rumah sakit.

Benar saja, ketika siuman, Mas Saiful kehilangan sebagian memorinya, terutama untuk menyebut nama-nama benda. Seringkali lawan bicaranya dibikin bingung ketika dia mengucapkan sesuatu tetapi maksudnya lain dari yang diucapkan. Ada seorang teman yang iseng mengumpulkan kosa kata yang dibelokkan artinya oleh Mas Saiful, dan itu menjadi bahan guyon karena ada beberapa kata yang terbilang saru. Untuk memulihkan ingatan dan keterampilan Mas Saiful berbicara dibutuhkan perawatan dan latihan yang cukup lama. Beruntung setelah dinyatakan pulih, kecerdasannya tidak berkurang. Buktinya, gagasan-gagasannya malah makin berkembang.

(Arsip 1995)

Salah satu gagasan Mas Saiful bagi Arena untuk keluar dari kevakuman adalah mencari legalitas di luar kampus, yakni dengan mengurus Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Gagasan itu disetujui oleh rapat anggota yang diselenggarakan pada awal tahun 1997. Dalam rapat anggota itu pula dilakukan kocok ulang kepengurusan. Terpilihlah Saiful Huda Shodiq sebagai Ketua LPM, Nur Budi Haryanto sebagai Pemimpin Umum, dan saya sendiri sebagai Pemimpin Redaksi.

Upaya menjajaki kemungkinan memperoleh SIUPP pun dimulai. Dari hasil konsultasi dengan Dinas Penerangan DIY diperoleh informasi bahwa yang berhak mewakili perusahaan pers untuk mengurus SIUPP adalah Pemimpin Umum bersama Pemimpin Redaksi. Salah satu syaratnya, dua unsur pimpinan tersebut harus menyertakan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Mengurus SKCK, bagi Nur Budi Haryanto mungkin bukan masalah berarti, namun bagi saya menjadi sesuatu yang rumit. Salah satu syarat pembuatan SKCK adalah terpenuhinya akta kelahiran pemohon. Bagi saya yang notabene orang kampung, jangankan akta kelahiran, surat keterangan lahir saja tidak punya. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan adalah mengurus akta kelahiran dispensasi, dan itu harus dimulai dari kecamatan hingga kabupaten. 

Daripada saya harus pulang ke Bawean hanya untuk mendapatkan formulir pengajuan akta kelahiran di kecamatan, saya meminta tolong ayah saya melalui surat untuk mendapatkan formulir dimaksud. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, saya mendapat kiriman formulir itu dari ayah. Begitu formulir itu saya buka, masalah baru muncul. Di dalam formulir tersebut tertulis “keperluan: untuk perpustakaan”. Saya berusaha menerka-nerka, apa urusannya akta kelahiran dengan perpustakaan, tidak ketemu. Belakangan ayah saya menjelaskan bahwa juru ketik di kecamatanlah yang salah menyimpulkan ketika ayah saya bilang keperluannya berhubungan dengan majalah. Maklum, di kampung jarang ada urusan begini.

Formulir itu kemudian saya bawa ke Kabupaten Gresik. Saya meminta tolong petugas pelabuhan untuk menguruskannya. Setelah mendapat janji pengurusan akta kelahiran selesai dalam satu bulan, saya langsung balik ke Yogyakarta. Selagi proses pengurusan akta kelahiran itu berlangsung, sikap rektorat IAIN Sunan Kalijaga di bawah kepemimpinan Atho Mudzhar melunak. Negosiasi kembali diintensifkan melalui pembina UKM baru, Abdul Munir Mulkhan. 

Satu hal yang sangat alot dalam negosiasi adalah soal nama. Pihak rektorat meminta nama baru selain Arena. Sementara, di lain pihak, para Alumni mempersilahkan jika Arena mau mengganti nama asalkan tidak lagi menganggap mereka sebagai senior. Jadilah kru Arena terjepit di antara pemenuhan hasrat untuk terbit dan ancaman kehilangan hubungan emosional dengan para senior. Akhirnya, win-win solution pun dicari. Tetapi yang ditemukan adalah jalan tengah yang sebenarnya pahit untuk kedua belah pihak (Arena dan rektorat). Arena berganti nama dengan Arena Baru. Meskipun para alumni banyak yang tidak happy dengan nama itu, tetapi itulah yang paling realistis. 

Di balik kesepakatan penggantian nama itu, kru Arena sebenarnya sudah menyiapkan rencana cerdik. Meskipun di kop surat dan stempel tertera nama Arena Baru dengan ukuran font yang sama, namun untuk cover majalah kelak, unsur kata “baru” akan ditulis sekecil mungkin dalam susunan vertikal sehingga tidak akan mudah terbaca. Hanya saja, rencana cerdik itu tidak mungkin diungkapkan secara dini kepada para alumni, apalagi kepada pihak rektorat.

Maka, mulai awal tahun 1998, rapat-rapat redaksi Arena kembali digelar untuk kemudian ditindaklanjuti dengan reportase oleh beberapa kru baru yang masih bertahan. Membangun kembali ritme kerja Arena sebagai lembaga penerbitan setelah didera kevakuman yang begitu lama sungguh bukan persoalan mudah. Nyatanya Arena baru bisa terbit lagi dengan judul cover Menggantung Ekonomi Rakyat setelah Soeharto, sang tiran penguasa Orde Baru, mengundurkan diri karena desakan demonstrasi mahasiswa di berbagai kota. Di dalam majalah Arena edisi Menggantung Ekonomi Rakyat itu terdapat liputan khusus yang ditulis oleh kontributor Lutfi Rahman tentang bagaimana massifnya demonstrasi mahasiswa dari seluruh penjuru Yogyakarta menuju alun-alun keraton menjelang lengsernya Presiden Soeharto.

Setelah menerbitkan edisi Menggantung Ekonomi Rakyat, saya sebagai pemimpin redaksi sangat lega. Edisi ini saya anggap sebagai titik kulminasi perjuangan dan harapan. Setelah edisi ini pastilah semua akan berjalan dengan lancar. Apalagi zaman sudah memasuki era Reformasi, untuk (si)apa lagi rektorat menghambat kreativitas kru Arena. Tiba-tiba saya tersadar, teman-teman seangkatan saya di Arena sudah banyak yang lulus. Sedangkan saya, mata kuliah saja masih banyak yang harus diulang. Saya pun bertekad untuk segera menepi dari gelanggang. 

(Arsip 1998)

Rencana lulus kemudian saya utamakan. Kalau tidak, saya akan jauh ketinggalan. Sedangkan zaman sudah mulai berubah. Mahasiswa tua sudah kehilangan “kesaktian”. Sementara di luar sana, konon katanya, dunia profesional lebih membutuhkan yang muda. Itulah mengapa, dalam rapat anggota Arena yang di helat di rumah Rozib Sulistyo, Borobudur, Magelang, pada awal tahun 1999, saya menolak dicalonkan jadi pimpinan. Peserta rapat kemudian memilih Ismahfudi sebagai Ketua LPM, alm. Jauhar La’aly (Gareng) sebagai Pemimpin Umum, dan Faqih Rida sebagai Pemimpin Redaksi. 

Aktivitas saya setelah suksesi di Borobudur praktis hanya kuliah, mengerjakan skripsi, dan kursus bahasa Inggris di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Karang Malang. Untuk Arena, kegiatan saya batasi hanya untuk mengisi pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan Arena, baik di Yogyakarta maupun di daerah-daerah lain. Akhirnya, saya lulus tahun 2000, sesuai dengan waktu yang saya rencanakan.

*Dikenal pula dengan nama Rafiuddin D. Soaedy, lahir di Pulau Bawean, Gresik, 17 November 1974-2022. Menempuh pendidikan MI hingga MTs di Bawean dan MA di Probolinggo. Pendidikan S1 ditempuh di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dan Fakultas Hukum Universitas Islam Attahiriyah, Jakarta. Pendidikan S2 ditempuh di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Ketika menjadi Mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga, Rafiuddin aktif di Majalah Arena dengan posisi sebagai Reporter (1994), Pemimpin Redaksi (1997) dan Redaktur Bahasa (1999). Setelah lulus IAIN, ia hijrah ke Jakarta. Aktif di PP Lakpesdam NU (2001-2005), kemudian bekerja di Mahkamah Konstitusi (2005-sekarang)  | Foto Arsip Arena