Home MEMOAR Seharusnya Saya Percaya, Arena itu Sasana Tinju

Seharusnya Saya Percaya, Arena itu Sasana Tinju

by lpm_arena

Oleh: Zaim Yunus*

Selamat ulang tahun Arena

Lpmarena.com- Jika seseorang mengatakan bahwa menjadi anggota Arena itu sebuah kesialan, saya bisa sedikit sepakat. Memiliki perilaku yang mungkin bagi mayoritas orang adalah sesuatu yang ganjil, seperti mencurigai semua hal, tidak bisa dibilang nasib baik. Meski seseorang pernah mengatakan kepada saya bahwa tulisan yang bagus lahir dari kecurigaan yang serius. 

Meja Redaksi

Saat mahasiswa lain sibuk dengan tugas kuliah, anggota Arena saat itu dihantui telepon dari Sudrun, Pemimpin Redaksi Arena (Pemred) periode 2018/2019, yang acap kali meneror bahkan di pagi hari, “Beritamu mana?” 

Jujur saja, bukan malas menulis. Tapi saya malas menunggu berjam-jam tanpa kejelasan untuk mendapatkan keterangan atau hasil wawancara dari pejabat kampus yang kerap kali tidak terang sama sekali. Pikir saya, sudah gila mungkin kawan ini. Sangat bersemangat dan saking berdedikasinya, mungkin saat itu Sudrun ingin cetak sendiri ijazah S1 di sekretariat Arena dan mengganti “lulus dari kampus” menjadi “demisioner organisasi”. 

Namun, sampai saya keluar dari Arena, berita yang saya tulis di Arena bisa dihitung jari. Saya punya cara ampuh yang tidak dilakukan orang lain. Saat Pemred menagih berita yang saya tulis, saya sodorkan resensi atau esai sebagai gantinya. Setidaknya itu membuat hari-hari saya sedikit lebih tenang. 

Tahun berganti, Sudrun digantikan Hedi yang lebih kalem. Di masa kepemimpinannya, saya agak kurang aktif dalam menulis. Saya harus bekerja untuk dapat uang. Saya lebih banyak ikut meramaikan diskusi dan sedikit membantu corat-coret tulisan yang masuk meja redaksi sebelum tayang; menjadi bagian tim senang-senang, COD minuman-minuman herbal, dan mendengarkan fun fact tentang Hedi yang lahir di musim durian. 

Di waktu luang, kadang Hedi mengeluhkan anak-anak Arena yang mulai jarang mengirim tulisan. Di sisi lain ia tidak bisa memaksa semua orang untuk rajin menulis. Meja redaksi Arena tidak pernah berhasil menerapkan sanksi, meski rencana itu sering kali kami bahas tiap kali rapat. 

Menerapkan rasa takut untuk melakukan suatu pelanggaran karena ada sanksi yang tegas rasanya kurang cocok. Namun, kerja-kerja organisasi akhirnya dapat berjalan dengan mengeksploitasi rasa tidak enakan orang-orang di dalamnya. Sip. Itu berhasil.

Kontrakan

Arena bukan saja tentang meja redaksi, kerja-kerja jurnalistik, dan apa yang terjadi di sekretariat. 

Saya ingat suatu hari di kontrakan Arena di daerah Nologaten, saya tidur bersebelahan dengan bangkai tikus yang tergeletak kurang dari satu meter dari kepala saya. Di waktu lain, di ruang yang sama, saat hujan begitu lebat atap rumah seolah lupa akan tupoksinya. Semua basah. Orang-orang di dalamnya ribut dengan ember untuk menadah air dan barang-barang elektronik yang perlu diamankan. Chaos! 

Kemiskinan begitu dekat. Orang-orang dengan nasib yang sama ditaruh di satu tempat. Di hari-hari biasa (artinya, lebih dari lima kali seminggu) Ajid Pimpinan Umum Arena 2019/2020 yang juga penghuni tetap tempat itu, biasa duduk dan memandang langit-langit. Namun, saya tahu dia tidak sedang memikirkan apapun. Buku ekonomi-politik yang tergeletak di meja lapuk di depannya tidak ada hubungannya sama sekali. Dia lapar.

Menyaksikan kejadian itu, saya bersama Sidra, teman sejawat yang kemudian dipercaya menjadi Pemimpin Redaktur Arena 2020/2021, dan Bisma, fotografer Arena, bersumpah untuk punya tempat tinggal yang lebih layak. Setidaknya bisa hidup dengan sedikit dengan gaya. Makan sehari dua kali dan tinggal di rumah dengan sanitasi dan pencahayaan yang bagus.

Keinginan itu terwujud saat para pemilik properti menurunkan harga sewa ketika pandemi. Kabar baik. Dengan potongan harga, secara matematis kami untung banyak. Tapi, keuntungan matematis tak pernah berhasil direalisasikan. Tagihan bulanan macet dan kami harus kucing-kucingan dengan pengelola kontrakan. Jangankan bayar tagihan tempat tinggal, bayar uang buang sampah pun harus uring-uringan. 

Marx dan Teman-Temannya

“Ini UKM tinju bukan sih?” kata seorang mahasiswa baru samar-samar setelah melihat spanduk Arena. Saya dengar saat mereka melewati stand pameran UKM.

Saya tidak memang berpikir Arena adalah tempat latihan tinju. Saya tahu kalau Arena lembaga pers. Tempat orang berkumpul untuk menulis berita. Bayangan saya yang paling sederhana: semacam petugas majalah dinding di zaman SMA. 

Mulanya saya pikir masuk Arena hanya akan diajarkan cara menulis dan menyusun kalimat dengan benar. Ya, saya rasa semacam tempat kursus gratis untuk menjadi penulis. Itu tidak salah. Mungkin 20% materi menulis saya peroleh. Tapi, sisanya … adalah menyeret perdebatan orang-orang abad ke-19 ke atas meja. 

Apa yang ditulis Karl Marx dikutip ratusan kali dan diyakini betul-betul. Sebagian kecil dari anggota Arena kadang tidak sepakat dan membawa nama lain, seperti Bakunin. Seru sekali. Semua orang boleh punya tokoh dan bacaan masing-masing. Bahkan, saya pernah menemui anggota Arena yang memasang foto Ayatullah Khomeini di wallpaper ponselnya. Kemudian, di lain waktu, diam-diam seorang anarkis seperti Bagus, rekan Arena seangkatan saya, mencoret tembok sekretariat dengan simbol circle-A. Mantap.

Salah satu marxis paling bersemangat saat diskusi itu bernama Ilo, Pimpinan Umum periode 2018/2019, yang gemar mengenakan kaos merah bertuliskan Religion Ist das opium – Karl Marx. Saya sempat tinggal satu kamar dengannya selama setahun. Kami bertemu terakhir kali saat ia mengantar santri-santri dari pesantren tempatnya mengajar studi wisata di Jogja.

Suatu waktu, saat musim pembayaran UKT. Arena melakukan pembacaan dan rapat redaksi seperti biasa. Kadang diskusi tidak hanya dihadiri internal Arena, tetapi juga kawan-kawan dari organisasi lain. Bukan Arena jika pembahasan UKT dimulai dengan langsung membahas masalah pengelolaan keuangan kampus. Namun, semua orang yang hadir akan diajak tualang ratusan tahun ke belakang, ke zaman di mana revolusi industri terjadi pertama kali.

Di Arena, semua orang bangga dengan apa yang mereka baca, pelajari, dan percaya. Perkara teori dan ideologi-ideologian, perdebatan sangat biasa terjadi. Selama kamu baca betul-betul, itu bisa diterima. 

Namun, berbeda halnya dengan selera musik. Orang-orang seperti Hedi yang disegani di meja redaksi, bisa jadi bahan guyonan di warung kopi. Apa-apaan dengerin remix DJ jedag-jedug. Selera musik itu harga mati. Meski apa yang disebut selera yang baik tak pernah benar-benar jelas dirumuskan. Seolah orang-orang di sini pengin bilang, “Kalau enggak The Dark Side of the Moon, lebih baik muter YouTube ‘ASMR Tetangga Renovasi Rumah’ sepuluh jam non-stop.”   

Dengan semua dinamika yang ada, seharusnya saya lebih percaya ke mahasiswa baru itu, Arena memang UKM tinju!

*Redaktur angkatan 2017  | Foto Dokumentasi Pribadi