Home MEMOAR Kado Ulang Tahun: Arena di Mata Seorang Mahasiswa Awam

Kado Ulang Tahun: Arena di Mata Seorang Mahasiswa Awam

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Muhammad Suud*

Lpmarena.com- Tahun 1974 bisa dibilang sebagai tahun kelabu bagi dunia kemahasiswaan Indonesia. Akibat peristiwa Malari, aktivitas kemahasiswaan nyaris hampir lumpuh sama sekali. Bahkan media massa yang pakai embel-embel mahasiswa semacam Harian Kami (Jakarta) dan Mahasiswa Indonesia (Bandung) harus masuk kubur alias kena bredel. Waktu-waktu di tahun itu berlalu tanpa adanya sesuatu yang berarti. 

Setahun kemudian, tepatnya 12 Januari 1975 Dewan Mahasiswa IAIN bertandang. Tokoh-tokoh yang duduk dalam lembaga itu mencoba merobek suasana sepi itu, dengan menerbitkan majalah kampus. Namanya “ARENA”. Konon majalah ini adalah penerus dari majalah yang terbit sebelumnya, yaitu Criterium, Dharmabakti, dan At Tholabah yang sudah almarhum. Duduk sebagai pemimpin umum: Firdaus Basuni, Pemimpin Redaksi: Slamet Effendy Yusuf, dilengkapi dewan Redaktur plus para reporter dan pembantu lainnya. Sedang penasehatnya adalah Bapak Rektor sendiri Kol. Drs. H. Bakri Syahid.

Tampilannya Arena, patut kita sambut dengan gembira. Kehadirannya bukanlah sia-sia. Mengapa? Karena ia dapat berperan dalam banyak fungsi. Antara lain dapat berfungsi sebagai:

  1. Alat sosial kontrol yang konstruktif.
    Lewat pojok Layar Institutnya, Caporit telah menyoroti masalah-masalah kampus maupun di luarnya, misal: ketimpangan penyelenggaraan testing beasiswa ke Mesir (Arena no. 9/September 75); Kurikulum baru berikut permasalahannya (Arena no. 7/Juli 75), masalah penyelundupan (Arena no. 2/Februari 75), dan sebagainya.
  2. Penyalur aspirasi mahasiswa.
    Beragam kehendak mahasiswa telah banyak tersalurkan melalui majalah Arena. Dan ini ditampung dalam rubrik “Surat dan Kontak” serta “Ini Pendapat Saya”. Terkadang juga masuk dalam “Laporan Utama” bilamana Reporter mewawancarai mahasiswa dalam menanggapi sesuatu masalah, semisal tentang Pemilu Mahasiswa (Arena no. 11/Nopember 75),  mengenai Asrama (Arena no. 3/Maret 75), dan sebagainya. Sedang ruang “Pikiran Bulan Ini” mengetengahkan ide-ide dan pokok-pokok pikiran yang segar.
  1. Pemberi informasi dan pengetahuan.
    Dengan membaca Arena, pembaca akan memperoleh informasi juga pengetahuan. Informasi tentang kegiatan kampus-kampus tertera dalam kolom “ihwal kampus” cerita tentang seorang yang sukses serta biografinya kita dapatkan dalam “Di antara Kita”. Sedang pengetahuan dapat kita jumpai pada banyak artikel, baik ilmiah maupun populer.
  1. Wadah pengkaderan.
    Para pengasuh dan penulis Arena bisa mengambil banyak manfaat. Pengasuh dapat mempelajari cara mengelola majalah dan berorganisasi, sedang penulis bisa berlatih menulis. Sehingga bila telah meninggalkan bangku kuliah tidak canggung lagi terjun ke dalam profesinya masing-masing.
  1. Pembinaan Karakter.
    Isi sesuatu majalah tentu tidak sembarangan. Pemuatan dan penulisannya haruslah disertai tanggung jawab. Dengan demikian maka karakter bisa terbentuk dengan baik.

Walhasil tidak sedikitlah fungsi yang diperankan oleh majalah Arena.

(Arsip 1975)

Kebanggaan.
Kalau dulu kita (mahasiswa IAIN) hanya bisa melongo, bila teman-teman dari UGM membanggakan Gelora Mahasiswanya, mahasiswa UII memamerkan Muhibbahnya, kini kita tak perlu lagi risau. Malahan menurut kebanyakan mahasiswa baik IAIN maupun yang bukan, Arena punya kelebihan. 

Kata orang majalah/koran kampus pada umumnya cuma mengumpulkan artikel belaka. Lain halnya dengan Arena. Di dalamnya terdapat laporan utama yang khas, rubrik-rubrik yang menarik. Sedang bahasanya? Oh, segar, kocak, lagi enak! Sehingga koresponden Luar Negeri, Sofyan Sauri Siregar (Medina) memberi julukan Arena binti Tempo. (Arena, no. 9/September 75). Bukan main! Begitulah gaya Arena. Bila kami amat-amati, nampaknya Arena cenderung menganut aliran baru dalam Jurnalistik yang namanya “THE NEW JOURNALISM”. Ya, itu suatu penulisan berita atau laporan dengan gaya bahasa mirip novel yang indah, demikian tulis H. Mahbub Djunaidi dalam Kompas.

Seperangkat penilaian.
Menilai hanya sebelah mata sembari memuji sanjung adalah kayak reklame kecap saja, yang selalu nomor satu. Ini tidak adil! Bukankah tak ada gading yang tak retak? Dan inipun berlaku pula bagi Arena, tentunya. Sehingga majalah tersebut pun tak luput dari lilitan kelemahan dan kekurangan. Hal ini dapat kami kemukakan antara lain: 

  1. Keterlambatan terbit.
    Ketepatan waktu terbit amatlah penting. Laporan Utama yang mengetengahkan peristiwa bersejarah akan terasa aktual, apabila dibaca pada bulan terjadinya peristiwa itu. Tulisan-tulisan tentang proklamasi sangat mengesan jika dihayati pada waktu yang dekat dengan Proklamasi itu. Sumpah Pemuda pada bulan Oktober, Hari Pahlawan pada bulan November dan sebagainya. Dan sebaliknya akan menjadi hambar dan basi manakala dibaca pada bulan sesudahnya seperti Arena pada saat ini. Wegah, engganlah jadinya.
  1. Kutipan dari koran atau majalah.
    Kendatipun pengutipan artikel dari media massa lain tidak terlarang, namun sebaiknya jangan mengutip, walau disebut sumbernya (Zain AS, Calon Wartawan, Dharma Swadaya Jaja, Jakarta). Penuturan semacam ini dapat kita maklumi. Karena artikel-artikel yang dikutip itu sudah banyak dibaca orang. Dan untuk membaca yang kedua kali orang sudah malas. Celakanya, kutip mengutip ini ini sering dilakukan Arena, semisal dari Kompas, Tempo, Pelita, Tribun dan lain-lainnya. Akan lain halnya jika kutipan-kutipan itu berasal dari media massa asing, yang masih langka orang membacanya.
  1. Sensor yang kurang ketat.
    Mutu tidaknya sesuatu majalah memang relatif adanya. Ini terbukti  penilaian banyak mahasiswa pada Arena no. 9/September 75. Pemunculan artikel pada nomor itu tentu lewat sensor redaktur. Namun demikian, keluhan tentang kurang mutunya Arena no. 9 itu terdengar di banyak tempat. Barangkali oleh karena Laporan Utama absen saat itu, meski sudah ada penggantinya, atau masih banyak barangkali-barangkali yang lain. Yang nampak, ketidakpuasan itu ada pada beberapa orang, yang kemudian merobek-robek majalah itu.
  1. Arena seakan-akan majalahnya pria saja.
    Banyak teman-teman mahasiswi bilang, bahwa majalah Arena kok seperti punya lelaki doang. Alasannya begini. Staf redaksi semuanya putera, kecuali seorang. Penulis artikel yang wanita cuma satu dua. Foto-foto yang ada terpampang dalam majalah semuanya kaum Adam. Lantas mana kaum putrinya? Begitu keluh para mahasiswi. Nampaknya pernyataan itu ada juga benarnya. Cuma sekarang, apakah mereka mampu, itulah soalnya. Nah, itu perlu bukti!
  1. Keseimbangan artikel ilmiah dan populer.
    Pengetahuan adalah merupakan konsumsi bagi setiap mahasiswa, baik yang ilmiah, maupun populer. Dan konsumsi itu telah disajikan oleh Arena. Cuma, Arena akhir-akhir ini lebih banyak populernya ketimbang ilmiahnya, begitu kata mahasiswa menyayangkan. Kami pun sangat setuju apabila bisa dibikin seimbang keduanya.

Kini tahulah sudah pelbagai kelemahan Arena. Lantas mau apa wahai Sang Redaktur? Berdiam saja? Ah, tentu saja tidak, soalnya hal itu tak bermanfaat. Lalu apa? Tentunya akan mawas diri, kemudian membenahi diri, selanjutnya berupaya meningkatkan mutu Arena serta kelangsungan hidupnya.

Berbincang tentang mati hidupnya suatu penerbitan, Harmoko, Ketua P.W.I Pusat menyatakan: “Langgengnya sesuatu penerbitan tergantung manusia-manusia pelaku nya yang mengelola segi management dan redaksionalnya” (Kartini, November 1975). Ikhtiar untuk mengelola Arena agar lebih baik kini telah nampak. Ini dapat kita lihat dengan terbentuknya L.P.3M. yang menangani masalah pembinaan pers mahasiswa.

Pada akhirnya, kami angkat topi atas kemajuan yang telah dicapai Arena, semoga bayi yang baru berumur setahun itu tambah usia, bertambahlah dewasa dan kualitasnya. Dan itulah pengamatan seorang mahasiswa awam pada majalahnya yang tercinta.

Selamat berulang tahun!

Jepara, Januari 1976.

*Artikel ini ditulis ulang dengan penyuntingan dari Majalah Arena Januari 1976, dipublikasi ulang di HUT Arena ke-50 untuk mengingat sejarahnya. | Foto Arsip Arena