Home MEMOAR ARENA: Kancah Pemikiran dan Kancah Gerakan

ARENA: Kancah Pemikiran dan Kancah Gerakan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: H. Abdul Mun’im DZ

Lpmarena.com-  Pada masanya, Majalah Bulanan Mahasiswa (MBM) Arena merupakan majalah  mahasiswa Indonesia terbaik dan paling bergengsi. Pada dekade 1970-an  Arena dianggap sebagai majalah Temponya mahasiswa. Saya beruntung sudah bisa membaca Majalah Arena sejak saat masih sekolah menengah, di tengah gencarnya gerakan mahasiswa tahun 1978 melawan rezim Orde Baru. 

Di saat yang sama, saya juga telah membaca koran mahasiswa yang lain seperti Salemba (UI), Gelora Mahasiswa (UGM) Derap Mahasiswa (IKIP Yogyakarta, sekarang UNY) dan Memorandum (Unair), dan lain sebagainya, yang menjadi pendukung utama Gerakan Mahasiswa 1978 yang menentang kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK-BKK). Kebijakan ini berujung pembekuan semua bentuk Lembaga kemahasiswaan seperti Senat Mahasiswa (SEMA) dan  Dewan Mahasiswa (DEMA).  Saya bisa membaca media itu karena kakak saya Ghozi DZ menjadi koresponden Arena untuk Surabaya, dan berlangganan beberapa koran mahasiswa. Sebagai imbasnya, semua pers mahasiswa, termasuk Arena dibredel. 

Maka, tujuan saya ketika masuk IAIN bukan menjadi mahasiswa IAIN, tetapi saya lebih tertarik menjadi anggota Arena. Karena di sana ada tokoh mahasiswa  yang menjadi idola saat itu, seperti Muzayin Mahbub, Endang Ali Maksum, Andi Muarly, Arief Mudatsir, Enceng Shobirin, Arifin Junaidi, dan sebagainya. Tetapi sayang, Lembaga itu telah tiada. Begitu juga Lembaga mahasiswa seperti SEMA dan Dema juga dibekukan.

Untung, ketika saya kuliah di IAIN Yogya  tahun 1981, majalah Arena baru hidup lagi dari pembredelan. Sementara Lembaga mahasiswa seperti SEMA dan DEMA belum diizinkan. Untuk menghidupkan pers mahasiswa itu, redaksi Arena menyelenggarakan pendidikan jurnalistik. Kesempatan itu tidak saya sia-siakan. 

Ketika Arena melakukan rekrutmen calon wartawan, saya segera mendaftar. Melalui berbagai tes saya akhirnya diterima bergabung bersama dengan tokoh idola. Persaingan tentu sangat ketat, karena hanya Arena  yang boleh hidup di antara lembaga mahasiswa, sehingga menjadi rebutan para mahasiswa untuk beraktivitas di sana.

Walaupun terbit berkala, Arena menjadi pusat informasi politik penting saat itu, dan dari situ berbagai gerakan dirancang. Tentu saja masih di sekitar kampus, karena pengawasan rezim Orba masih sangat kuat. Tentu ini juga menjadi forum asah intelektual yang bagus. Bayangkan, setiap saat kami bisa berbincang dengan intelektual di Yogya, baik ahli politik, ahli ekonomi, para budayawan serta ulama. Semuanya menambah pengetahuan dan kepercayaan diri.

Kemudian, barulah terjadi komunikasi dengan pers mahasiswa antar perguruan tinggi se-Yogya, lalu se-Indonesia. Di Yogya, selain Arena IAIN, terdapat Majalah Balairung (UGM), dan Muhibbah (UII) yang setelah dibredel berganti nama menjadi Himmah. Dengan adanya komunikasi itu, kekuatan mahasiswa  yang terfragmentasi menjadi semakin tersinergi. Periode ini  merupakan masa peralihan Arena dari kepengurusan lama, angkatan 1970-an, ke generasi baru 1980-an. Saat itu, Mas Imam Aziz sebagai Pemimpin Umum, dan saya sebagai Pemimpin Redaksi Arena, diserahi tanggung jawab mengembangkan media mahasiswa ini.

(Arsip 1980)

Dari kancah Pemikiran ke Gerakan

Pergumulan dengan pers mahasiswa yang beragam itu membuat Arena juga semakin berkembang dan makin progresif. Dengan naluri pers mahasiswa, Arena selalu menghadirkan informasi kritis, mulai dari masuknya modal asing dan budaya yang menyertainya. Kemudian mengekspos berbagai perjuangan petani dan, puncaknya, mengekspos penindasan Orde Baru terhadap rakyat saat pembangunan Bendungan Kedungombo. Tentu saja, hal itu membuat geram aparat pemerintah, sehingga berulang kali rektor ditegur oleh Kodim, selanjutnya rektor menegur Arena.

Kemudian, pers mahasiswa berjejaring secara nasional dengan mengadakan berbagai pertemuan untuk menghidupkan kembali gerakan mahasiswa. Bersamaan dengan ulang tahunnya, pada tahun 1987 Arena menyelenggarakan pertemuan gerakan mahasiswa nasional, sekaligus menyelenggarakan pendidikan pers yang juga dihadiri para jurnalis senior dari Jakarta. Maka, saat itu Arena betul-betul menjadi episentrum gerakan mahasiswa seluruh Indonesia.

Peristiwa yang paling menggemparkan adalah saat para aktivis pers mahasiswa  menyelenggarakan pameran keliling lukisan seorang  aktivis bernama Semsar Siahaan. Semuanya ini digerakkan oleh Amir Husein Daulay, tokoh mahasiswa yang kharismatik dari Universitas Nasional Jakarta, beserta pasukannya. Pameran itu bertajuk Manublis (manusia iblis), yang tidak lain adalah Soeharto dengan  Orde Barunya. Lukisan dan karikatur yang ditampilkan sangat tajam, bahkan sangat sarkas. Tentu, hal itu membuat pengawasan Orba pada pers mahasiswa semakin keras. Sehingga, Arena yang merupakan salah satu markas gerakan itu juga menjadi ketat diawasi.

Suatu ketika, saya mengadakan wawancara dengan Dr. Arief  Budiman yang dikenal kritis terhadap Orba. Wawancara itu soal pangan, khususnya tentang politik beras. Rupanya, pemuatan hasil wawancara itu tidak disetujui oleh Warek III. Artikel wawancara itu tidak kami cabut, tetapi kami blok dengan tanda tanya berwarna hitam. Maka hebohlah setelah terbit, dan sejak itu pula, tahun 1987  Arena secara resmi dilarang terbit.

Walaupun Majalah Arena dibredel, tetapi aktivitas yang lain jalan terus. Bahkan, kantor redaksi Arena bukan sepi, sebaliknya malah semakin ramai menjadi pusat persinggahan aktivis pers nasional. Untuk keberlangsungan Arena, pada tahun 1988 redaksi Arena melakukan rekrutmen untuk regenerasi. Sebab, beberapa kali rekrutmen sebelumnya tidak cukup berhasil. Maka, dilakukan rekrutmen lebih serius dengan jumlah yang lebih banyak.  

Saat tes rekrutmen masuk itu berbarengan dengan pelaksanaan demo membela korban bendungan Kedung Ombo. Salah seorang peserta tes, bernama Sastro, tidak saya bolehkan ikut tes tertulis dan lisan, tapi saya lakukan tes lapangan dengan  mengajaknya ikut demonstrasi, sekaligus belajar meliput sebuah peristiwa. Ketika berangkat demo ke waduk Kedung Ombo, rombongan  mobil yang kami tumpangi  terus dikejar dan dihadang aparat, tetapi kami terus menerobos hadangan sambil berpencar jalan menuju Kedungombo. Rombongan mahasiswa itu dihalau dan digiring hingga masuk ke suatu tanah lapang. 

Ternyata, tempat itu adalah lapangan Markas Kodim Boyolali. Maka, berorasilah para demonstran di sana. Kebetulan, saat itu hari Jum’at, dan sebagai orang IAIN, maka Arena diminta menjadi khatib dan imam shalat Jumat di lapangan Kodim. Untuk itu, Sastro yang pandai berorasi itu saya suruh menjadi khatib, sementara saya menjadi imamnya. Kami jumatan dengan dijaga oleh aparat bersenjata. Untung, saat itu kami tidak ada yang dipukul atau ditangkap. Setelah negosiasi dengan aparat, semuanya dibiarkan pulang. 

Ternyata, persoalan belum selesai di sana. Tak lama kemudian, rumah kami di kampung didatangi dan diintimidasi aparat, keluarga dipanggil ke Kodim Jombang. Mereka menuduh bahwa saya telah termakan oleh gerakan kiri. Untung, ada beberapa kiai yang menggaransi, sehingga saya tidak ditangkap, dan keluarga tidak diinterogasi lagi. Begitu juga keluarga Sastro terus diawasi dan diinterogasi oleh Kodim setempat.

Dalam rekrutmen di masa yang genting itu, Arena mendapatkan calon pengasuh yang handal seperti Sastro, Hairus Salim, Arief Hakim, Mukhijab, Burhan, Amiruddin, Istifaiyah, dan lainnya. Dengan hadirnya mereka, kami sudah siap untuk regenerasi di Arena. Sebagai kelanjutannya, kami mempersiapkan lembaga baru untuk mewadahi para aktivis yang ada di komunitas Arena. Maka, saya bersama aktivis yang lain berinisiatif mendirikan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) pada tahun 1989. 

Untuk membangun keragaman pemikiran, LKIS  tidak hanya merangkul  aktivis dari IAIN, tetapi juga melibatkan aktivis dari UGM, IKIP, UII dan beberapa perguruan tinggi di luar Yogyakarta. Dalam waktu singkat, LKIS menghasilkan berbagai pemikiran progresif, dan langsung menyebar sehingga menginspirasi lahirnya lembaga kajian di berbagai daerah.

Pengalaman berkiprah di ARENA ternyata memberikan kesempatan saya untuk berkiprah lebih luas. Awal tahun 1990, saya diminta untuk menjadi peneliti dan pengasuh Majalah Pesan di LP3ES Jakarta. Kesempatan itu  juga kami gunakan untuk  berkhidmah di NU, membantu penerbitan Jurnal Pesantren (P3M) dan juga membantu Jurnal Afkar (Lakesdam). Dengan sendirinya, kami juga menjadi komunitas koran besar seperti Kompas dan TEMPO yang selalu mengadakan kerjasama.

(Arsip 1979)

Transformasi Digital.

Tahun 1992, senior Arena yang saat itu menjadi Sekjen PBNU, yaitu Mas Ichwan Syam, mengajak saya untuk ikut mengelola tabloid Warta NU, masih zaman Gus Dur. Bahkan kemudian, tahun 1999 saya ditunjuk sebagai ketua Lajnah Taklif wan Nasyr (LTN PBNU). Di situ saya memulai merancang beberapa kajian berkala dan penelitian tentang NU di berbagai daerah.

Hal yang paling mengagetkan, pada tahun 2002 saya ditunjuk PBNU untuk mengelola media online yang akan dibentuk PBNU. Padahal, saya sama sekali tidak punya pengalaman dalam teknologi informasi. Namun, tugas itu harus saya terima, dan saya tidak ingin menjadikan NU Online sebagai media kecil yang tampil asal-asalan. NU Online harus bisa mengimbangi Detik.Com, Oke Zone, Hizbut Tahrir, Islam Relief, dan lain-lain. 

Saya diberi ruang satu lantai di Gedung PBNU lantai lima, sehingga membuat saya leluasa berkreasi, melakukan berbagai kegiatan dan merekrut anak-anak muda. Dengan modal sedikit keahlian, semuanya  kami jalankan dengan tenaga sukarela, tetapi dengan cara serius. 

Supaya NU Online ini cepat dikenal, maka up date harus rutin. Tidak hanya harian, apalagi mingguan, setiap beberapa jam harus up date. Untuk itu, saya dan para kru, baik bagian teknologi maupun content harus bekerja keras selama 24 jam, dan itu pun bekerja seminggu penuh tanpa hari libur. Bahkan, lebaran pun tidak libur. Justru, itu hari paling sibuk karena harus mengumumkan proses ru’yah hingga sidang isbat. Semua demi melayani kebutuhan warga NU, dan  agar bisa bersaing dengan media online yang lain. 

Tentu, ini tidak mudah karena realitas baru dan tradisi baru yang orang NU belum familiar. Apalagi, saat itu masih jaya-jayanya media cetak. Untuk mengatasi masalah ini, saya melakukan kerjasama dengan Lajnah Falakiah, Lembaga Dakwah, dan Lajnah Bahtsul Masail, dan tentu saja, Lakpesdam.

Para pengurus NU di daerah, baik Syuriah dan Tanfidziyah, kalau sedang membutuhkan informasi falakiyah, kami biasakan untuk membuka di NU Online. Begitu juga para pengurus NU dan mubaligh, yang membutuhkan jawaban terhadap suatu masalah, bisa membuka di NU Online. Lambat laun, mereka mulai familiar dengan teknologi dan informasi digital ini, selanjutnya menjadi terbiasa. Maka tidak heran kalau pada tahun 2004, NU Online dinobatkan sebagai media online terbaik kategori sosial keagamaan. 

Tidak hanya itu, setelah lengsernya Gus Dur, NU Online saya gunakan sebagai ruang publik, sebagai sarana untuk mengumpulkan para aktivis sisa laskar  Gus Dur dari luar NU, seperti Daniel Dhakidae, Marsilam Simanjuntak, Bondan Gunawan, Kwik Kian Gie, Rocky Gerung, Hilmar Farid, dan aktivis kebudayaan seperti Slamet Rahardjo, Alex Komang, Ray Sahetapy dan sebagainya. Sementara dari NU sendiri, hadir para tokoh seperti MM. Billah, KH. Ma’ruf Amin, KH. Asad Sa’id Ali, KH. Said Agil, Abdullah Syarwani, juga Gus Hasyim Wahid dan KH. Chalid Mawardi. Mereka hadir mendiskusikan berbagai masalah keagamaan dan kenegaraan. Semuanya memberikan dukungan intelektual dan moral kepada NU Online. 

Suatu ketika, kami bertemu dengan Mas Otong Abdurrahman, salah satu dedengkot Arena yang menjadi anggota DPR-RI, dia berseloroh, “Sampeyan luar biasa bisa memindahkan suasana Arena dari Yogya ke Jakarta di Gedung PBNU ini”

Memang, yang kami lakukan di NU Online ini bukan sekedar transformasi digital, tetapi benar-benar revolusi mental. Dari Masyarakat bermedia manual menjadi komunitas media digital. Bahkan, berbagai informasi ini juga menjadi rujukan komunitas lain di luar NU. Maka, tidak aneh kalau trafik atau hit NU Online juga cukup tinggi, menurut portal Alexa di Google. Hadirnya NU Online, sebagai media ormas sosial keagaman terbesar, bisa melampaui media online ormas lain.

Dengan pengalaman di Arena dan LKIS yang penuh pergulatan dan tantangan itu, memungkinkan saya berhasil masuk ke media digital dengan sukses, padahal tanpa pengalaman sebelumnya. Ternyata, bukan keahlian tetapi keseriusan yang bisa menggapai keberhasilan. Itulah doktrin Arena.

Jakarta, 30 Januari 2025.

*Pendiri dan Direktur pertama LKiS (1989-1993). Pendiri dan Direktur pertama NU Online (2003-2010). Di Arena sebagai Pemimpin Redaksi 1980 | Foto Arsip Arena