Oleh: Amirudin*
Lpmarena.com- Menjadi bagian dari Majalah Bulanan Mahasiswa Arena IAIN Sunan Kalijaga adalah suatu pengalaman yang tidak hanya memperkaya wawasan jurnalistik saya, tetapi juga membentuk cara berpikir kritis dan reflektif terhadap berbagai isu sosial, politik, dan intelektual.
Arena bukan sekadar majalah mahasiswa, melainkan sebuah ruang dialektika yang dinamis, tempat bertemunya gagasan-gagasan progresif dan suara-suara alternatif yang jarang mendapat tempat di media arus utama. Setiap edisi yang diterbitkan adalah hasil dari kerja keras tim redaksi yang penuh dedikasi, dengan semangat mengawal kebebasan berpikir dan menyajikan tulisan-tulisan yang bermutu.
Selama menjadi bagian dari Arena, saya merasakan langsung bagaimana pers mahasiswa memiliki peran penting dalam membentuk wacana publik di lingkungan akademik dan sekitarnya. Kebebasan berekspresi yang kami perjuangkan sering kali berbenturan dengan berbagai tantangan, baik dari internal kampus maupun pihak eksternal yang tidak selalu sejalan dengan nilai-nilai kebebasan akademik. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangat kami untuk tetap menulis, meliput, dan mengungkap berbagai realitas yang sering kali luput dari perhatian. Di sinilah saya belajar bahwa menjadi jurnalis mahasiswa bukan hanya tentang menulis berita, tetapi juga tentang keberanian menyuarakan kebenaran dan melawan pembungkaman.
Arena adalah tempat yang mengajarkan saya banyak hal—dari teknik investigasi jurnalistik, wawancara mendalam, hingga strategi bertahan dalam dinamika organisasi yang penuh tekanan. Tidak hanya sekedar pengalaman jurnalistik, tetapi juga pembelajaran tentang kepemimpinan, solidaritas, dan ketahanan dalam menghadapi berbagai tantangan. Setiap lembaran majalah yang kami terbitkan adalah bukti bahwa mahasiswa mampu berkontribusi dalam membangun kesadaran kritis di tengah masyarakat. Kini, di usia ke-50 ARENA, saya bangga pernah menjadi bagian dari perjalanan panjang ini dan berharap Arena terus menjadi simbol perlawanan intelektual dan penjaga nalar kritis mahasiswa di masa mendatang.
Orang-orang ARENA Itu Keren
Ketertarikan saya untuk bergabung dengan Arena berawal dari kekaguman terhadap sosok-sosok yang telah lebih dahulu berkecimpung di dalamnya. Mereka adalah individu dengan kecerdasan luar biasa, wawasan luas, dan semangat juang yang tinggi dalam dunia jurnalistik dan intelektual. Saya melihat bagaimana mereka mampu membahas isu-isu kompleks dengan cara yang lugas dan mendalam. Tidak hanya itu, lingkungan Arena juga dikenal sebagai tempat berkembangnya gagasan progresif dan pemikiran kritis yang tajam.
Salah satu sosok yang sangat menginspirasi saya adalah Mas Imam Aziz. Beliau memiliki kemampuan luar biasa dalam menyederhanakan konsep-konsep yang sulit menjadi lebih mudah dipahami. Sikapnya yang tenang dan solutif menjadikan setiap diskusi bersama beliau selalu memberikan pencerahan. Kemampuannya dalam berpikir sistematis dan analitis benar-benar memberikan warna dalam perjalanan intelektual saya di Arena.
Selain itu, ada Mas Mun’im Dz, sosok yang menunjukkan keseriusan luar biasa dalam mendalami paradigma keilmuan. Ketekunan dan kedalaman pemikirannya menjadi contoh nyata bagaimana seorang jurnalis harus selalu memiliki dasar keilmuan yang kuat dalam setiap tulisannya. Beliau bukan hanya seorang penulis yang tajam, tetapi juga seorang intelektual sejati yang selalu membangun wacana dengan argumen yang kuat dan mendalam. Dengan lingkungan seperti ini, saya semakin yakin bahwa bergabung dengan Arena adalah langkah yang tepat bagi perkembangan intelektual dan profesional saya.

(Arsip 1989)
Wawancara untuk Profil Rektor IAIN Sunan Kalijaga
Menjadi wartawan di Arena juga memberikan pengalaman unik dalam melakukan wawancara dengan tokoh-tokoh penting. Salah satunya adalah ketika saya ditugaskan mewawancarai Prof. Dr. H. Soenaryo, rektor pertama IAIN Sunan Kalijaga yang juga mantan Menteri Dalam Negeri. Ketika saya wawancarai, umur beliau sudah cukup sepuh dan mengalami kendala pendengaran.
Proses wawancara dengan Prof. Soenaryo membutuhkan kesabaran dan strategi komunikasi yang berbeda dari wawancara biasa. Saya harus memastikan bahwa pertanyaan yang saya tulis singkat, jelas, dan tidak membingungkan. Selain itu, saya harus membaca ekspresi wajah dan reaksi beliau dengan cermat untuk memahami apakah jawabannya sesuai dengan yang saya tanyakan atau masih perlu klarifikasi lebih lanjut. Kendala ini membuat wawancara berlangsung lebih lama dari perkiraan, tetapi saya merasa beruntung bisa mendapatkan wawasan langsung dari seorang tokoh penting dalam sejarah IAIN Sunan Kalijaga.
Setelah berhasil menyelesaikan wawancara dengan Prof. Soenaryo, saya ditugaskan untuk mewawancarai Brigadir Jenderal Bakri Syahid, mantan rektor IAIN Sunan Kalijaga yang berasal dari kalangan militer. Wawancara ini juga tidak kalah menantangnya. Sebelum saya sempat mengajukan pertanyaan pertama, beliau terlebih dahulu memberikan ceramah panjang selama satu jam penuh tentang sejarah kepemimpinan dan nasionalisme. Saya hanya bisa mendengarkan dengan sabar, menunggu kesempatan untuk membawa wawancara ke arah yang lebih sesuai dengan kebutuhan liputan Arena.
Ketika akhirnya saya bisa masuk ke sesi pertanyaan, Brigadir Jenderal Bakri Syahid tetap menunjukkan gaya komunikasi yang khas seorang pemimpin militer. Jawaban beliau tegas dan lugas, tetapi sering kali mengarah pada perspektif yang lebih luas daripada yang saya harapkan. Saya harus bekerja keras untuk mengarahkan wawancara agar tetap fokus pada aspek yang relevan dengan majalah Arena. Meskipun melelahkan, pengalaman ini mengajarkan saya cara berhadapan dengan narasumber yang memiliki gaya komunikasi berbeda dan bagaimana menyesuaikan strategi wawancara sesuai dengan karakter mereka.
Dialog Tiga Generasi
Salah satu pengalaman berharga selama di ARENA adalah suksesnya penyelenggaraan ‘Seminar Dialog Tiga Generasi’ dalam rangka ulang tahun ke-13 ARENA. Acara ini menjadi momen bersejarah karena menghadirkan tiga tokoh dari generasi berbeda, masing-masing dengan perspektif yang unik dalam memandang perjalanan intelektual dan sosial di Indonesia. Prof. Dr. H. Sutan Takdir Ali Syahbana hadir sebagai perwakilan generasi sebelum 1945, memberikan wawasan mendalam tentang dinamika intelektual dan kebudayaan pada masa perjuangan kemerdekaan.
Sementara itu, Jenderal Purnawirawan Soemitro dari generasi setelah 1945 berbicara mengenai perubahan sosial-politik pascakemerdekaan, serta tantangan yang dihadapi bangsa dalam membangun stabilitas nasional. Drs. H. Lukman Umar, CEO Kartini Grup, mewakili generasi 1970-an dan membahas perubahan dunia usaha serta dinamika ekonomi yang berkembang dalam masyarakat modern.
Acara ini berlangsung dengan diskusi yang sangat dinamis. Prof. Sutan Takdir Ali Syahbana menekankan pentingnya kebebasan berpikir dan membangun tradisi intelektual yang kuat, khususnya dalam dunia literasi dan sastra. Beliau memandang bahwa perkembangan masyarakat tidak bisa lepas dari kemajuan berpikir yang dipupuk sejak dini. Sementara itu, Jenderal Soemitro berbagi pengalamannya dalam dunia militer dan pemerintahan, menyoroti bagaimana aspek keamanan dan stabilitas politik menjadi faktor kunci dalam keberlangsungan pembangunan. Pemaparan dari Drs. Lukman Umar menyoroti bagaimana dunia usaha harus adaptif terhadap perkembangan zaman, terutama dalam menghadapi tantangan globalisasi dan industrialisasi yang semakin pesat.
Diskusi ini menghasilkan wawasan berharga bagi para peserta, terutama bagi mahasiswa yang hadir dalam seminar. Melalui perbedaan perspektif dari tiga generasi, kami belajar bahwa setiap masa memiliki tantangannya sendiri, tetapi kesinambungan pemikiran dan semangat untuk terus belajar adalah kunci utama dalam menjaga keberlanjutan intelektual. Kegiatan ini bukan hanya sekedar perayaan ulang tahun Arena, tetapi juga menjadi ajang refleksi bagi generasi muda untuk memahami perjalanan bangsa dan merumuskan peran mereka dalam membangun masa depan.
Ngerjain Instruktur Pelatihan Jurnalistik di UGM
Salah satu pengalaman yang paling mengesankan selama saya menjadi bagian dari Arena adalah mengikuti “Pelatihan Jurnalistik” yang diselenggarakan oleh Majalah Mahasiswa Balairung UGM. Sebagai peserta, saya berangkat dengan antusias untuk mendalami berbagai aspek jurnalistik dari para instruktur yang sudah berpengalaman. Namun, ada satu hal yang menarik dalam pelatihan ini: saya sudah menjabat sebagai Pemimpin Umum Majalah Arena, tetapi tetap berperan sebagai peserta biasa, sementara AS Burhan, Redaktur Pelaksana ARENA, justru menjadi salah satu instruktur.
Selama sesi pelatihan berlangsung, saya cukup aktif dalam setiap diskusi. Saya sering melontarkan pertanyaan tajam dan kritis kepada instruktur, yang membuat suasana menjadi lebih dinamis. Ternyata, hal ini membuat salah satu instruktur merasa sedikit kewalahan, karena setiap kali ia memberikan pemaparan, saya selalu memiliki argumen yang kuat untuk didiskusikan lebih lanjut. Awalnya, saya hanya ingin menguji pemahaman saya sendiri, tetapi lama-kelamaan, diskusi justru semakin menantang dan menarik.
Instruktur yang membimbing kami tampak heran dan mulai curiga dengan peran saya dalam dunia jurnalistik mahasiswa. Setiap kali ada pertanyaan yang sulit, saya dengan mudah memberikan respons atau sudut pandang yang lebih mendalam. Akhirnya, ia merasa perlu mencari tahu lebih lanjut dan bertanya kepada AS Burhan mengenai siapa saya sebenarnya dalam struktur Arena. Ketika AS Burhan menjelaskan bahwa saya adalah Pemimpin Umum Arena, instruktur tersebut terkejut dan tertawa, menyadari bahwa dirinya telah “dikerjai” oleh salah satu peserta yang ternyata memiliki posisi yang lebih tinggi di majalah mahasiswa lain.
Kejadian ini menjadi pengalaman yang mengesankan dan cukup menghibur. Bagi saya, ini bukan hanya soal “ngerjain” instruktur, tetapi lebih kepada bagaimana diskusi yang berkualitas bisa memperkaya wawasan semua pihak. Kejadian ini juga menunjukkan bahwa pengalaman di lapangan sering kali menjadi guru terbaik bagi seorang jurnalis, dan pemahaman yang tajam tidak hanya didapat dari pelatihan, tetapi juga dari pengalaman langsung dalam menghadapi berbagai tantangan di dunia jurnalistik.

(Arsip tahun 1989)
Rangkap Jabatan
Dalam perjalanan saya di ARENA, saya menghadapi situasi yang cukup unik ketika terpilih menjadi Pemimpin Umum Arena. Pada saat yang sama, saya masih menjabat sebagai Pemimpin Redaksi, yang seharusnya dipegang oleh orang yang berbeda. Namun, karena kesepakatan bersama di antara tim redaksi, akhirnya jabatan Pemimpin Redaksi tetap saya emban. Alasan pasti mengapa keputusan ini diambil memang sudah agak samar dalam ingatan saya, tetapi yang jelas situasi ini menambah tantangan tersendiri dalam mengelola majalah ini secara keseluruhan.
Memegang dua jabatan sekaligus tentu tidak mudah. Saya harus memastikan bahwa kebijakan editorial tetap berjalan dengan baik, sambil tetap mengatur strategi dan kebijakan organisasi secara lebih luas. Terkadang, saya merasa seperti harus membagi dua peran dalam waktu yang bersamaan: sebagai pemimpin yang harus melihat gambaran besar majalah secara keseluruhan, sekaligus sebagai redaktur yang bertanggung jawab terhadap isi dan kualitas tulisan yang diterbitkan. Namun, pengalaman ini justru memberikan pelajaran penting tentang manajemen waktu, kepemimpinan, dan bagaimana menjalankan organisasi dengan tanggung jawab ganda tanpa mengorbankan kualitas dan independensi redaksi.
Berkelit demi Eksistensi
Selama saya menjabat sebagai pimpinan Arena, saya menyadari bahwa menjaga eksistensi majalah ini bukanlah perkara mudah. Dalam berbagai situasi, saya harus bersikap fleksibel dan sedikit akomodatif terhadap berbagai dinamika yang terjadi. Hal ini bukan berarti saya mengorbankan idealisme atau membiarkan Arena kehilangan identitas kritisnya, tetapi lebih kepada upaya untuk memastikan majalah ini tetap berjalan tanpa hambatan yang berarti. Dengan pendekatan ini, saya berusaha agar Arena bisa tetap bertahan di tengah berbagai tekanan dan tantangan yang ada.
Namun, sikap akomodatif ini tidak lantas membuat Arena kehilangan keberanian dalam bersuara. Di bawah kepemimpinan saya, Arena tetap mempertahankan posisinya sebagai media mahasiswa yang kritis dan menjadi suara alternatif dalam berbagai isu. Kami tetap mengangkat tema-tema yang tajam dan relevan dengan kondisi sosial serta akademik, meskipun dalam beberapa hal, kami harus lebih cermat dalam menyusun strategi agar tidak menghadapi risiko yang terlalu besar. Keputusan-keputusan semacam ini menjadi bagian dari seni bertahan dalam dunia jurnalistik mahasiswa yang penuh tantangan.
Pertemuan Pers Mahasiswa Se-Indonesia di IKIP Bandung
Menghadiri Pertemuan Pers Mahasiswa Se-Indonesia di IKIP Bandung menjadi salah satu pengalaman yang membuka wawasan saya tentang keberagaman dan dinamika pers mahasiswa di Indonesia. Pertemuan ini dihadiri oleh berbagai media mahasiswa dari berbagai daerah, masing-masing membawa perspektif dan kepentingan yang berbeda. Sejak awal, perbedaan ideologi dan pendekatan jurnalistik sudah terasa begitu kuat, yang membuat diskusi sering kali berlangsung panas dan penuh perdebatan.
Dalam beberapa sesi, suasana forum semakin memanas akibat perbedaan pandangan yang sulit dipertemukan. Ketegangan mencapai puncaknya ketika terjadi aksi protes dan perdebatan sengit antara kelompok dengan pandangan yang lebih moderat dan kelompok yang lebih radikal dalam menyikapi isu-isu kebebasan pers dan peran mahasiswa dalam politik nasional. Bahkan, situasi sempat berujung pada aksi anarkis dengan saling lempar kursi, yang akhirnya menyebabkan pertemuan harus dihentikan lebih awal karena izin lokasi yang terbatas. Ketegangan ini mencerminkan betapa sulitnya menyatukan suara mahasiswa dalam satu wadah yang benar-benar inklusif.
Namun, semangat untuk tetap berdiskusi tidak surut. Setelah forum resmi dihentikan, sebagian peserta memutuskan untuk melanjutkan pertemuan secara informal di Kebun Binatang Bandung. Di tempat yang lebih santai ini, perbedaan pandangan lebih mudah diatasi dan diskusi berjalan lebih cair. Kami menyadari bahwa meskipun ada perbedaan ideologi, pers mahasiswa tetap memiliki tujuan yang sama, yaitu menyuarakan kebenaran dan menjadi kontrol sosial bagi berbagai kebijakan kampus maupun pemerintah. Pengalaman ini memberikan pelajaran bahwa kebersamaan dalam keberagaman bukan sesuatu yang mudah, tetapi bisa dicapai dengan komunikasi yang lebih terbuka dan inklusif.
Penutup
Menjadi bagian dari Arena adalah perjalanan yang tidak hanya membentuk kemampuan jurnalistik saya, tetapi juga membentuk cara berpikir kritis dan cara saya melihat dunia. Berbagai pengalaman, mulai dari menyelenggarakan seminar besar, melakukan wawancara dengan tokoh penting, menghadapi tantangan dalam kepemimpinan, hingga melihat dinamika pers mahasiswa di tingkat nasional, semuanya menjadi bagian dari perjalanan intelektual yang sangat berharga.
Kini, di usia ke-50 ARENA, saya ingin menyampaikan rasa bangga dan terima kasih kepada semua yang pernah terlibat dalam perjalanan panjang majalah ini. Arena bukan sekadar majalah mahasiswa, tetapi juga wadah bagi para pemikir muda yang ingin memberikan kontribusi nyata dalam dunia intelektual dan jurnalistik.
Selamat ulang tahun ke-50, ARENA! Teruslah menjadi suara alternatif yang kritis dan berani!
*PU ARENA 1990-1991 | Foto Arsip Arena