Home MEMOAR Berjalan dengan Dua Kaki Secara Bersamaan

Berjalan dengan Dua Kaki Secara Bersamaan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Ahmad Zamzama*

Lpmarena.com- Saya tak pernah bergabung ke LPM Arena karena ia memiliki tagline “Kancah Pemikiran Alternatif”, tapi tagline itulah yang kadang-kadang menghantui ketika menjadi pengurus dan baru raib setelah benar-benar demisioner. Tagline itu pula yang kerap dibayangkan, ditafsirkan, dicocokkan ketika (angkatan kepengurusan) kami dihadapkan pada berbagai dilema dan kegamangan dalam menjalankan roda organisasi.

Ingin rasanya membawanya seliar mungkin, tapi bagaimanapun Arena juga mempunyai AD/ART dan sejarah panjang. Sebagai gerakan kolektif, Arena tentu mempunyai cita-cita ketika didirikan dan segaris rel yang dipijaknya untuk menghadapi hal-hal yang tak menentu di masa depan. Dan kupikir “Kancah Pemikiran Alternatif” adalah salah satu rel itu, rel yang paling gamblang, yang direntangkannya sejak entah kapan hingga sekarang.

Sayangnya, tak mudah juga menjelaskan tagline itu. Mudah membayangkan apa maksudnya bagi Arena sebagai pers di awal-awal kelahirannya ketika rezim represif Orde Baru masih berkuasa. Namun, saya tergagap-gagap menjelaskannya suatu hari di ujung kepengurusan saat ditanya seorang akademisi UII yang sedang meneliti kondisi mutakhir pers mahasiswa. Makna “alternatif” cukup buram, apalagi bagi saya dan mungkin kawan-kawan seangkatan.

Setiap angkatan kiranya pernah mengalami kegelisahan moral yang menganggap angkatannya mengalami dekadensi, termasuk angkatan saya suatu kali. Terlepas apakah itu benar atau tidak. Tapi ada pandemi, yang menjungkirbalikkan banyak hal, dan membuat kita harus beradaptasi.

Kehidupan digital semakin mengintervensi. Penggunaan media sosial meningkat tajam. Tetapi saya waktu itu bahkan tak melihat ada alternatif peradaban dalam dunia digital. Bagi bocah lulusan SMA di pesantren yang memegang ponsel hanya saat liburan sekolah, dunia digital sungguh tampak sebagai permainan dan hiburan belaka. Dari sini, semoga jelas, bagi saya adaptasi tak semudah itu.

____

Arena datang secara kebetulan pada saya dalam bentuk poster yang muncul di salah satu grup WhatsApp. Di awal masa pandemi itu, akhir tahun 2020, persyaratan “membagikan poster ke minimal dua grup WhatsApp mahasiswa baru” mulai lazim digunakan, selain keharusan subscribe saluran Youtube dan follow akun Instagram—syarat-syarat ganjil yang masih berlaku hingga sekarang.

Saat PBAK, yang pertama kali dilaksanakan daring itu, UKM hanya dikenalkan lewat video profil masing-masing. Ada lebih dari 20 video, dan kami diharuskan menyebut nama + prodi + fakultas di kolom komentar masing-masing video, lalu ditangkap layar (screenshot) dan dikirim ke panitia. (Adakah kira-kira yang mampir ke semua video untuk tuntas menontonnya satu persatu?) Dan yang tak kalah penting, tidak ada pula kakak tingkat yang menyinggung Arena. Hanya ada satu organisasi yang disarankan panitia pembimbing PBAK, kita tahu, dan itu bukan Arena.

Maka, hanya nasib yang bisa mengantarkan saya tahu bahwa ada Arena yang sedang open recruitment, lewat poster yang beruntung lewat di grup WhatsApp itu. Lebih dari 70 mahasiswa baru terdaftar dan berhak mengikuti IHT 1. Hanya saja, sebagaimana PBAK, IHT 1 juga sepenuhnya dilaksanakan secara daring, menyusul berbagai prosedur pendaftaran dari meja satu dan dua yang dilakukan lewat video call yang tak begitu lama.

Ada empat atau lima materi waktu IHT 1, salah satunya diisi Andreas Harsono. Tapi saya lupa apa saja yang ia bawakan saat itu, bahkan juga hampir keseluruhannya. Karena, tadi, memang saya masih “main-main” saja saat membuka ruang digital.

Setelahnya, berbagai kegiatan masih terlaksana secara online. Dari rapat redaksi, pembacaan, diskusi, hingga mentoring. Tentu intensitasnya tak sepadat di masa normal. Kebanyakan berita yang kami, anak magang, angkat pun aktivitas dan kegiatan daring. Sebenarnya, beberapa kawan kami yang sudah di Jogja menginisiasi kopdar dan kadang ikut kegiatan di kontrakan Arena, tapi jumlahnya bisa dihitung jari. Jauh lebih banyak yang masih di rumah.

Yang bisa saya katakan, betapa runyam kehidupan hybrid itu. Di tengah kabar buruk di sekitar yang terus bertalu-talu, dari wabah, kematian, sampai pembatasan, ruang-ruang digital ini mestilah meminta fokus dan energi tersendiri. Sementara, ruang itu belum juga kita kenali dengan baik. Jadilah kita seperti berjalan dengan dua kaki secara bersamaan. Tak ayal, mesti ada yang dikorbankan. Dan apa yang tak terlalu kita kenal kadang menjadi korban yang masuk akal.

Saya baru ke Jogja ketika menjelang IHT 2, menembus PSBB daerah. Saya dinyatakan lulus, bersyarat. Meski bisa mengikuti secara daring, sepuluh kawan menyatakan siap ikut kegiatan di Jogja. Di situ saya pertama kali bertemu mereka, juga tampang-tampang Arena sesungguhnya.

IHT 2 dilaksanakan di Kulon Progo. Kami bertempat (baca: berdiskusi, makan, tidur, sampai bangun lagi) di bangunan joglo yang berdiri tepat dekat bendungan, menjauh dari pemukiman warga, dan terbuka pada alam. Saat malam, angin berhembus kencang dari arah sungai. Jalan sedikit ke samping joglo, rawa-rawa yang luas siap menyambut kami. Kupikir, tempat ini juga sangat layak untuk diklat kawan-kawan pecinta alam.

Pada malam kedua, hujan deras mengguyur Kulon Progo. Kami terbangun. Pakaian basah. Kaki-kaki tergenang air. Joglo kita tercinta, atapnya bocor, kawan. Barang-barang elektronik pun kami singkirkan. Kami mencari area kering, menyesuaikan diri dengan tanda-tanda alam. Insting kami menentukan langkah preventif sedang diuji. Pelajaran pertama soal rentannya kemiskinan.

(Foto keluarga seberes IHT 2)

Kemudian, upgrading atau IHT 3 masih diselenggarakan secara hybrid. Dari sembilan kawan yang ikut, ada tujuh yang hadir di Jogja. Di situ kami jadi tahu, bagaimana semua karya jurnalistik yang kami hasilkan masih tak layak ditayangkan. 

Seorang kawan yang di-upgrade lewat video call dikatakan goblok karena karya yang ia hasilkan—cerita yang ujungnya malah jadi bahan tertawaan, karena kata-kata tersampaikan tapi tidak dengan ketegangannya. Sampai waktu itu, saya belum lah menulis berita lebih dari lima. Beberapa kawan berkelakar kalau kami angkatan covid, angkatan prematur. Apakah semua angkatan juga merasa prematur? Mungkin, tapi melewati pandemi seperti mengafirmasi bahwa ada sesuatu yang memang memperlebar jarak pengetahuan kami dengan angkatan-angkatan sebelumnya.

Meskipun demikian, kepengurusan kami jadi berani, atau lebih tepatnya gegabah, menghasilkan Slilit, buletin yang diberhentikan pada tujuh atau delapan tahun sebelumnya, meski hanya sedikit yang kami tahu tentangnya. Kami hanya berbekal pemahaman subjektif atas arsip-arsip Slilit 2010-an yang masih bisa ditemukan di SC.

Nama-nama rubrik, misalnya, kami salin sepenuhnya dengan tafsir yang kami kira-kira sendiri. Kami bahkan menggunakan lambang Slilit persis seperti di arsip, dengan huruf besar dan “i” kecil (SLiLiT), tanpa pernah tahu maksudnya. Yang jelas, ia mesti “jelas dan mengganjal”. Dalam ukuran asal kami, jika harus berpikir tiga kali karena gentar jika menerbitkannya, tampaknya ia sudah cukup dikatakan mengganjal.

Baru-baru saja kami tahu bahwa mulanya Slilit ternyata terbit di masa-masa sulit, dan bahwa Slilit lama menjadi tempat berlatih anggota baru menerbitkan produk cetak. Sementara Slilit yang kami terbitkan pada pertengahan 2024 itu malah terbit untuk edisi khusus (dengan topik refleksi kepemimpinan Al Makin di ujung jabatan rektornya), dan ditulis oleh pengurus-pengurus inti—kawan-kawan Gen Z yang bersemi di Arena justru di masa-masa tumbangnya (produk cetak) begitu banyak koran, majalah, dan media nasional.

Seorang anggota angkatan 2021, namanya Faozi, pernah berkelakar kalau PU dan Pemred adalah tulang punggung Arena. Ia jelas ada benarnya, tapi tulang punggung mudah dibentuk dan pasti ditemukan. Yang susah adalah tulang kering, yang tangguh dan tak mudah goyah, berani grusak-grusuk untuk menerabas batas-batas yang ditancapkan oleh zaman dan bahkan oleh Arena sendiri. Gebrakan-gebrakan alternatif biasanya diawali oleh kecerobohan orang-orang macam ini.

*Pemimpin redaksi Arena 2023/2024, asal Sidoarjo  | Foto Dokumentasi Pribadi