Versi lebih ringkas dari wawancara ini pernah terbit di SLiLiT Arena Edisi Mei 2024. Dalam wawancara, kami berbincang soal kepemimpinan Al Makin di kampus, kegemarannya pada kesenian, hingga kebijakan-kebijakan kampus tentang Pusat Layanan Terpadu, Informasi Publik, sampai pembiayaan pendidikan tinggi. Berikut wawancara bagian dua. Bagian pertama bisa dibaca di tautan ini.
Kalau Bapak berarti habis dari rektor ini mau ke mana?
Ya itu takdir Tuhan. Kalau saya itu kan sudah seperti (perkataan) Pablo Picasso itu: mencari sesuatu, mencari anugerah Tuhan, anugerah itu akan saya berikan. Tugas saya adalah mencari anugerah tadi.
Dicari di mana itu, pak?
Saya kan tidak menyangka saya mendapatkan amanah ini. Saya bekerja keras setelah mendapat amanah, saya berikan. Tadi saya sebutkan, honoris causa, yang level internasional, yang mengangkat kampus kita, itu kan anugerah dari Tuhan dan saya bisa melakukan. Kemudian akreditasi tadi, unggul semua itu, itu juga anugerah Tuhan dan sudah kita berikan. Jadi selama kita mendapatkan amanah, berikan yang terbaik, lindungi yang lemah, tutupi semua kelemahan semua orang, pahami keragaman, pahami perbedaan. (Maka) Anda di jalan yang benar. Tapi ketika Anda mendapatkan amanah, tidak dilaksanakan dengan baik, Anda menyalahkan orang lain, Anda komplain, kritik sana-sini.
Jadi ada filosof kuno namanya Marcus Aurelius mengatakan “never complain”, jangan pernah mengeluh, “not even by yourself”. Telinga Anda jangan pernah mendengar Anda mengeluh.
Siapa sosok yang berperan besar di balik perjalanan karir Bapak?
Istri saya. Istri di mana-mana ya begitu. Pemimpin di dunia ini rata-rata tergantung keluarga. Kalau keluarganya aman, ya aman.
Ya di sampingnya kan, saya melukis semua (sosok yang berperan bagi saya) ini. Anda saksikan kan? Anda tahu siapa ini? Tidak? Bisa google. Ini Bunda Teresa. Nah, ini yang men-support saya. Itu, Dalai Lama. Coba itu, Anda lihat. Jadi Anda tau ya, visi (kenapa saya melukis) ini. Itu ada lukisan Gandhi. Sebelah sini lukisan Punokawan. Tahu Punokawan?
Kalau dalam Jawa ada namanya Astabrata, ajaran tentang kepemimpinan yang diberikan oleh Sri Rama, tokoh Ramayana, kepada Wibhisana. Wibhisana itu calon raja. Dan (Astabrata) itu akhirnya diterjemahkan, aslinya kan dalam bahasa Sansekerta. (Diterjemahkan) dalam bahasa Jawa, dalam bahasa Melayu. Hampir semua sultan, bahkan semua presiden di Indonesia, itu membaca Astabrata.
Jadi, memimpin itu ya harus spiritual, jangan kamu nilai materinya, penampakan lahir, harus kamu lihat sisi dalam. Astabrata itu dipegang oleh semua pemimpin di Indonesia. Ya itu pake ijazah kalau dalam pesantren. Dan kalau di dalam sufi islam, (ada) Al Ghazali, (pengarang) Ihya’ Ulumuddin. Dan memimpin itu bukan memimpin materi loh ya, memimpin itu memimpin spiritual, menyentuh jiwa.
Bagaimana mengimplementasikan itu dalam program-program kampus, karena spiritualitas kan gak terlihat?
Iya (tidak bisa dilihat), tapi kan bisa dirasakan. Kenapa kita bisa sukses, karena caranya spiritual juga: jalan berdoa, memahami orang perorang secara spirit. Kenapa kita unggul semua? Ini satu-satunya PTKIN, yang 36 (prodinya) unggul loh ya, kamu harus bangga. Itu tidak hanya usaha lahiriyah, itu juga usaha batiniyah; usaha zikir.
Jadi kamu gak akan sukses hidup ini kalau kamu menilai orang itu secara lahiriah. Apalagi ini sangat penting, kamu masih muda, cita-citamu masih jauh, jangan pernah memburuk-burukan orang. Jadi ada teori kesuksesan: jika kamu membicarakan keburukan orang, berarti kamu sendiri yang buruk. Tapi jika kamu memuji orang hebat nanti kamu hebat, secara tidak sadar kamu meng-copy orang itu. Tadi apa ajaran Marcus? (Pertama) never complain. Yang kedua jangan pernah memburuk-burukkan orang. Jangan pernah menunjukkan kelemahan orang.
Kenapa, Pak?
Itu akhlak yang jelek menurut Ihya (karya) Al Ghazali, dan itu dibuktikan dalam hidup: gak ada orang sukses yang kerjanya itu menjelek-jelekkan orang. Orang sukses itu kerja nyata, kalau bisa mengangkat orang. Jadi kamu kalau ingin pintar, berkawanlah dengan orang pintar. Ingin kaya, berkawanlah dengan orang kaya, dan jangan menyerah.
Sejauh pengalaman pendidikan Bapak, dari Yogyakarta, Kanada, sampai Jerman, pembiayaan pendidikan paling ideal itu bagaimana?
Ya lain-lain. Amerika, misalnya. Saya kan juga di Amerika. Itu kapitalisme sistemnya, jadi sangat mahal di Amerika. Bertambah universitas itu top, bertambah dia mahal. Dan donaturnya orang-orang kaya. Orang-orang paling kaya seperti Bill Gates itu menyumbang sebagian uangnya untuk riset. Itu sudah tradisi mereka, namanya filantropi. Jadi kayak zakat. Zakat itu kalau di Amerika itu kayak filantropi, tapi digunakan untuk riset, mengembangkan IT (Information and Technology), membiayai beasiswa.
Sepertinya di Indonesia sudah punya kecenderungan itu. Baznas kan ada beasiswa, UIN menerima banyak di beasiswa S2 dan S3. Artinya kita pelan-pelan juga menuju ke sana. Kesejahteraan ilmu pengetahuan itu tidak hanya bergantung pada pemerintah. Tapi pihak swasta juga harus aktif. Nah itu yang terjadi di Amerika, makanya namanya sistem kapitalisme.
Jadi Indonesia sedang menuju ke filantropi AS?
Indonesia sejak awal sistemnya adalah kapitalisme. Dulu kita pernah mengadopsi sosialisme, di era setelah Indonesia merdeka. Sosialisme itu adalah Eropa. Anda tadi kan nyinggung Jerman, itu sosialisme. Sosialisme itu sistemnya demokrasinya tidak langsung, (namanya) demokrasi parlementer. Indonesia pernah mengalami itu, di era Orde Baru.
Dan di (Eropa) sana itu pemerintah daerah, kayak kabupaten, itu menganggarkan untuk pendidikan cukup untuk universitas, bahkan membiayai orang luar, seperti saya. Saya kan dapat beasiswa namanya DAAD (Deutscher Akademischer Austauschdienst), Germany Student Exchange, pertukaran mahasiswa Jerman. Itu dari pemerintah daerah. Jadi 2,5 anggaran pemerintah daerah diperuntukkan pendidikan dan bisa nyumbang pendidikan dunia. Itu Jerman.
Sistem pembiayaan yang paling ideal dan bisa diterapkan di Indonesia itu bagaimana?
Ya kita masih mencari bentuk. Saya sih berharap, kalau kita sudah menganut kapitalisme, orang-orang kaya itu ya bertanggung jawablah sama pendidikan. Uangnya itu ya untuk pendidikan juga, jangan untuk yang lain-lain gitu loh, kayak Amerika. Di Amerika kayak pemilik Tesla, Elon Musk, itu kan orang kaya, dan dia bertanggung jawab juga sama dunia pendidikan lewat filantropi. Bahkan bintang film, penyanyi, juga melakukan hal yang sama. Jadi semua sistem di Amerika itu arahnya sudah ke sana. Dan orang menjadi terkenal tidak harus pake politik dan jabatan. Tapi bisa pake seni, bisa olahraga. Siapa juara tenis saat ini nomor 1 dunia, siapa? Coba cek.
Roger Federer
Oke, Federer. Itu contoh yang baik. Nadal, contoh yang baik. Mereka uangnya banyak, tapi disumbangkan untuk filantropi. Saya bilang begini, siapa tau Zamzam, Ara, Hida jadi orang kaya suatu saat. Jangan lupa sumbangkan ke dunia pendidikan dan riset. Tidak hanya zakat, sedikit, dikasih-kasihkan ke orang, di-shooting biar cepet terkenal.
Jadi, kalau semua orang menyumbangkan sebagian hartanya gitu ya pak ya, untuk pendidikan…
Terutama yang kaya.
Nah itu berarti bisa sangat membantu untuk mahasiswa atau untuk masyarakat?
Seharusnya sistem kapitalis seperti itu. Jadi ketika kita sudah memakai sistem kapitalisme, seperti Amerika, bukan sistem sosialisme seperti Eropa. Kalau Eropa ndak begitu. Eropa itu yang kaya pajaknya lebih tinggi. 40%-50% hartanya milik negara. Tetapi negara berperan untuk mendistribusikan kembali. Jadi orang miskin di Eropa itu dibayar sama negara, dan bayarannya lebih tinggi daripada orang bekerja di Indonesia. Lebih tinggi dari saya orang miskin di Eropa itu. Karena negara setelah mengambil pajak, namanya tax, itu dikembalikan ke warga. Kalau di Amerika ada pajak, tapi pajaknya sedikit, tetapi orang-orang kaya ini melakukan filantropi. Nah sistem pendidikan kita, kalau sudah meniru Amerika, ya harusnya (sistem pembiayaannya) seperti Amerika.
Kalau sistem semacam pinjaman online di Amerika?
Yang ada ya negara, namanya loan sistemnya. Loan itu negara memberi pinjaman kepada mahasiswa. Setelah dia dapat pekerjaan, dia membayar lagi ke negara, dipotong lewat gaji. Jadi (dari) negara, atau pihak swasta.
Saya termasuk dibiayai pemerintah Kanada, S2. Namanya Canadian International Development Agency. Saya ketika ke Australia sebagai peneliti itu juga dibiayai lembaga Australia, namanya Endeavour. Ketika saya menjadi peneliti juga di Singapura, saya juga dibiayai oleh lembaga Singapura di sana. Jadi mereka itu saking banyaknya uangnya sampai mengundang orang luar seperti saya ini, dikasih duit. “Kamu tak kasih duit, neliti di sini”. Nah di kita belum ke sana.
Dari sistem-sistem pembiayaan pendidikan itu, yang selama ini diterapkan di UIN bagaimana?
Nah UIN ini kan lembaga yang mengikuti negara, milik negara. Kalau negara inginnya begitu, kita ikut. Kita bukan policy maker, kita bukan pembuat kebijakan. Kita adalah pelaku dan unit yang ada di bawah. Kita tidak bisa menjadi policy maker, terus menentukan UIN sendiri. Dan negara itu berdasarkan konsensus. Konsensus salah satunya pemilu. Pemilu adalah bentuk dari konsensus.
Apakah sewaktu pada 2022 memasukkan Dana Cita itu dari negara juga pak?
Dana Cita, itu sudah berhenti lama toh itu? Ndak cocok.
Kenapa tidak cocok?
Gak kompatibel. Ya gak usahlah dibahas.
Tapi di ujung periode rektor pertama, apa pesan untuk mahasiswa?
Bersyukur, berpikir positif. Bersyukur atas kesempatan. Kalau kita bersyukur, la’in syakartum la’azidannakum, kalau Anda bersyukur Anda akan ditambah nikmatnya. Saya bersyukur dapat kesempatan ini, saya bekerja keras untuk rektor ini, dan ini saya berikan kepada mahasiswa. (Akreditasi) unggul itu untuk mahasiswa, masa depannya biar cerah. Kita level internasional, biar bahasa inggris kalian meningkat. Kalau sering ada bule di sini, kalian terpaksa belajar bahasa Inggris. Dan ini nanti setiap fakultas akan buka IUP (International Undergraduate Program), kelas internasional. Itu tujuannya tidak hanya untuk dia saja, orang yang minat, tidak, itu akan menyebar, standar itu akan naik terus.
Kalau di dalam pemilu itu kan ada debat…
Saya kan panelis, itu juga anugerah. Harus disyukuri. Jadi kalau kita rajin-rajin bersyukur, prestasi itu akan banyak. Tapi kalau kalian mencari kejelekan orang lain terus, ya kalian akan celaka.
Nah, menjelang pemilihan rektor baru, semisal nanti juga di kampus juga diadakan semacam panggung demokrasi, atau semacam itu bagaimana?
Ini lembaga pendidikan, tujuannya itu riset, kalau lembaga politik ya (sudah pantas karena) sudah ada pemilu.
Reporter Maria Al-Zahra, Ahmad Zamzama | Redaktur Selo Rasyd Suyudi | Fotografer Syifa Nurhidayah