Oleh: Istifaiyah*
Lpmarena.com– Dari tulisan kawan-kawan di memoar Arena baik pendahulu maupun generasi setelah saya merasakan dan mengakui bahwa Arena adalah wadah pengembangan intelektual yang tidak hanya kritis analitis, tapi juga sebagai media komunikasi insan pers mahasiswa se-Indonesia yang sangat penting bagi gerakan-gerakan mahasiswa sebagai ‘DPR jalanan’ saat itu.
Begitu saya diterima menjadi reporter majalah Arena (untuk menjadi reporter tidaklah mudah, melalui seleksi yang cukup ketat: ada tes tertulis, wawancara, menyusun artikel–mirip tes CPNS). Tahun 1986 , saya langsung mengikuti sidang-sidang redaksi yang antara lain menyorot pembangunan waduk Kedungombo, pembredelan majalah-majalah mahasiswa, kebijakan NKK/BKK, DPR hanya paduan suara dst. Saat itu insan-insan pers mahasiswalah yang mempunyai suara lantang mengkritik pemerintahan Soeharto dan membela masyarakat menolak pembangunan waduk Kedungombo.
Hampir tiap malam kami, para insan pers “Poros Yogyakarta” yang dimotori oleh Kak Imam Aziz (ARENA- IAIN Sunan Kalijaga) dan Abdul Hamid Dipopramono (Balairung –UGM), Majalah Himmah (UII ), a.l Atta Mahmud, berdiskusi berupaya menghidupkan kembali wadah pers mahasiswa. Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI) yang sudah lama mati suri dampak dari kebijakan NKK. Disamping membahas persoalan intern pers mahasiswa, Poros Jogja mendiskusikan isu yang sedang terjadi pada zaman Orba, antara lain tentang HAM, kesetaraan gender, kebebasan kampus dll.
Pada puncaknya pers mahasiswa “Poros Jogja“ menggelar : Pertemuan Pengelola Pers mahasiswa se-Indonesia oleh Balairung UGM di Kaliurang pada tgl 13-17 Oktober 1987, Mimbar Bebas Pers Mahasiswa di UGM dan UII. Untuk yang di UGM saya ikut hadir bersama kru ARENA ( a.l Kak Imam Aziz, Kak Mun’im, Kak Nasih, Nuruddin Erlina, Amiruddin, Robi’ dll).
Dilanjut diskusi panel pers mahasiswa dari masa ke masa yang dihadiri oleh insan pers dari berbagai kota di Yogya, Semarang sampai Solo. Pada bulan Maret tahun 1988 Majalah Arena blackout oleh rektor karena tulisan Arif Budiman “Regenerasi Orde Baru“, di Salatiga terjadi pembredelan beberapa majalah fakultas di Satya Wacana .
Untuk menyikapi kesewenang-wenangan ini Arena mengundang mahasiswa IAIN se Indonesia membentuk aksi solidaritas membentuk KPPMI (Komite Pembelaan Pers Mahasiswa Indonesia). Benar kata Kak Mun’im bahwa saat itu Arena jadi episentrum gerakan mahasiswa .
Sementara “Poros Jakarta” yang dimotori oleh Rizal Pahlevi Nasution yang waktu itu menjabat sebagai ketua kelompok studi jurnalistik Relata dan Pimpinan umum majalah Media Publica Universitas Mustopo Beragama, Jakarta dan Imran Zein Rolas Pimpinan Umum Majalah Politica, Fisip UNAS Jakarta menyelenggarakan a.l yang saya ikut hadir Sarasehan Aktivis Pers Mahasiswa di Kuningan di Jakarta tahun 1987, Pekan Orientasi Jurnalistik yang diselenggarakan LPM UNAS.
Insan pers “Poros Jogja” dalam aksinya membela rakyat adakan aksi-aksi demo menentang kebijakan Orba yang membatasi kebebasan pers, pelanggaran HAM, praktik KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) karena DPR tidak bisa diharap banyak oleh rakyat. Tidak sedikit dari insan pers ini yang mengikuti demo tiba- tiba hilang, dijemput aparat.
Saat itu saya masih junior, saya hanya mengikuti dan bergumul dengan mereka, belajar dari mereka, mengikuti aksi demo, sambil terus berfikir mengapa kami para aktivis ditangkap? Padahal mahasiswa tidak bersenjata, kami hanya membela rakyat. Itulah pemerintahan saat itu. Satu-satunya insan yang tidak bisa dibeli idealismenya adalah mahasiswa.
Maka untuk membatasi gerakan mahasiswa diberlakukannya NKK /BKK (Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Sayalah yang masih merasakan warisan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) tsb. Baru pada tahun 1998 (era Reformasi) NKK / BKK dihapus.
Selain aksi demo, para insan pers dari berbagai perguruan tinggi di Jogja maupun Jakarta aktif menggalang komunikasi melalui diskusi maupun kunjungan pers mahasiswa. Kunjungan pers inilah yang pada akhirnya menjadi perekat komunikasi insan pers mahasiswa terutama antara poros Jakarta dengan poros Jogja.
Kunjungan pers yang yang dilakukan crew Arena, termasuk saya, ke Jakarta adalah ke LPM UNAS. Di sini saya dan crew dapat kesempatan secara langsung bergumul dengan aktivis-aktivis pers mahasiswa UNAS, Amir Husein Daulay dan Imran Zein Rolas. Kunjungan Arena ke Jakarta boleh dibilang sebagai kunjungan balasan Studi Perbandingan Jurnalistik Mahasiswa (Jakarta – Yogyakarta – Surakarta] yang diselenggarakan oleh LPM UNAS yang diikuti aktivis pers mahasiswa, dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan Bandung pada tahun 1986 (kalau tidak salah bulan Desember).
Para aktivis ini mengunjungi Arena, juga berkunjung ke Balairung (majalah UGM) dan penerbitan UMS (Surakarta ). Saat itu sudah mulai disinggung tentang perlunya wadah/badan untuk mengembangkan profesionalisme jurnalistik di kalangan mahasiswa. Sehingga apa yang kami rembug di Jakarta tidak lain sebagai upaya menindaklanjuti keinginan para aktivis memiliki wadah pengembangan ide pers mahasiswa sebagai ujung tombak perlawanan dan pemikiran.
Selain mengunjungi pers kampus, Arena juga berkunjung ke beberapa media cetak ternama saat itu: Majalah TEMPO yang disambut sendiri oleh Goenawan Muhammad (Pemred), KARTINI, LP3ES, P3M –di sini kami bertemu Senior kami mas Arifin Junaidi, Pemimpin Umum Arena sebelum mas Imam Aziz, Amanah, Panji Masyarakat, ke IAIN Syarif Hidayatullah. Malahan Syarif Hidayatullah lah yang meminjami bus kampus untuk kunjungan-kujungan kami.
Dari beberapa kunjungan tersebut para crew Arena terutama saya mendapat pengalaman yang sangat berharga dan mahal karena kami bisa berinteraksi secara langsung, bertanya dan berdiskusi tentang isu-isu hangat saat itu. Panji Masyarakat misalnya, sangat mengapresiasi Arena saat itu atas upayanya untuk membesarkan media cetak mahasiswa di kala NKK masih berlaku. Saya sendiri diwawancarai media ini (tentang kesetaraan gender) yang mana hasil wawancaranya dipublikasikan di penerbitannya, sehingga saya dikenal di seluruh Nusantara saat itu. Bahkan tidak sedikit dari pembacanya berkirim surat kepada saya memberi apresiasi dan memberi dukungan pendapat saya tentang kesetaraan gender, saat itu peran perempuan masih dominan di domestik.
“Sudah saatnya perempuan untuk mengambil peran publik , politik dan ekonomi,” ungkap saya.
Kunjungan pers Arena telah memberi kesan yang mendalam bagi saya yang tidak hanya menambah cakrawala bagaimana mengelola media cetak, tapi juga membangun idealisme dan menjadi motivasi saya untuk lebih profesional lagi mengelola media cetak mahasiswa sebagai corong kami bersuara, berfikir, membangun opini dan berkreasi melalui tulisan.
Terimakasih banyak kepada mentor saya Mas Imam Aziz dan Mas Mun’im DZ. Atas jasa beliau berdua saya bisa menulis, berani bersuara, berani ikut aksi demo dan tidak takut menderita, he he. Salam literasi.
*Pimpinan Redaksi Arena 1988-1989 | Foto Dokumentasi Pribadi