Oleh: Ninid Alfatih*
Lpmarena.com– Kata Gus Dur, Allah yarhamhu, di dunia ini ada orang NU dengan 3 kategori. Kalau mereka datang bertamu dari pukul tujuh pagi hingga jam sembilan malam, dan menceritakan tentang NU, itu NU fanatik. Jenis kedua, mereka yang bertamu meskipun sudah di atas jam 12 malam untuk membicarakan NU, itu namanya orang gila NU, kata gus Dur. Jenis ketiga, orang yang bertamu tidak tahu waktu meskipun dinihari, itu NU yang gila.
Nah, di Arena juga ada kegilaan-kegilaan semacam itu. Kehidupan yang tidak tahu waktu, tidak pernah pulang, sampai ngekos di kantor Arena, bukan hal yang aneh dijumpai. Terutama saat menjelang deadline. Bukan karena tidak punya kos, tapi kosnya cuma buat nitip barang dan buku saja.
Rasanya saya juga pernah jadi bagian kegilaan itu, meskipun kategorinya gak gila-gila amat. Yah sekitar 1,5 lah. Kecuali saat rapat redaksi, bisa melompat jadi kategori ke-3. Bahkan pernah tidur di masjid karena mau balik kos, sudah tutup. Ini cerita saya sama Ida dan Mbak Nehik yang sangat populer. Di antara kita bertiga maksudnya…
Di luar aktivitas redaksi, Arena sangat bermagnet. Kantornya tak pernah sepi dari mahasiswa yang datang silih berganti. Mereka datang sekedar membaca koran, main kartu, pinjam mesin ketik, merencanakan aksi, atau berdiskusi hingga berbusa-busa. Sehari tak ke Arena, rasanya seperti kehilangan banyak informasi dan pengetahuan.

Sesekali ada pula yang berlagak tahu macam pasukan klandestin, “Eh, tadi ada indomie telur.” Maksudnya tentu saja intel. Aparat yang “macak” mahasiswa, tapi tak nampak proletar karena terlalu tegap dan sehat. Jauh dari kesan mahasiswa kelaparan yang suka melekan.
Era Orba, musuh mahasiswa sangat jelas dan demarkasi. Kalau bukan kami, berarti kau orang lain. Intel jelas orang lain yang sedang nguping aktivitas mahasiswa. Perlu di “antil” atau tidak, untuk menyebut dibawa aparat atau tidak untuk dieksekusi. Maklum, sikap kritis adalah musuh orde baru. Dan di Arena banyak jumlahnya. Konon, nama dan foto mereka ada di catatan kepolisian.
Yang paling mengasyikkan itu saat senior berkumpul, berbagi informasi, diskusi maupun saling bully. Meskipun kita hanya konsumen, tapi semangatnya gak mau kalah. Semangat menyimak maksudnya. Mau nimbrung takut kena bully. Eh, diam juga kadang dibully ding. Bisa dibilang gak cerdas karena bengong melulu.
Wah, sesi ini rate nya di atas rapat redaksi yang “harus” serius itu loh. Rapat redaksi, kalau tidak serius dan argumennya dianggap kacangan, siap-siaplah menjadi onggokan remah rengginang di sudut kaleng Khong Guan. Saya pernah merasa se”ndepipis” itu. Haha.
Tentu saja kejadian tersebut kami alami sebelum peristiwa pembreidelan Arena yang fenomenal itu.
Majalah Mahasiswa (MM) Arena IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta di era 90-an menjadi komunitas yang sangat aktif menjelang runtuhnya orde baru. Berbagai represifitas dialami para kru karena pilihan beritanya yang sangat kritis terhadap rezim Suharto dan segala bentuk hegemoni kekuasaan.
Terakhir, cover berita utama memuat tentang ‘Bisnis Anak-Anak Cendana’. Saya masih ingat ketika bersama Ida, keliling menitipkan majalah ini di toko-toko buku. Tidak banyak yang bersedia dititipi, mungkin karena takut melihat judulnya yang lumayan seram ukuran saat itu. Hanya alm. Toko Buku Gunung Agung, depan kampus IAIN kita yang mau dititipi. Mungkin karena tetangga dekat, jadi sungkan.
Karena judulnya yang dianggap provokatif, rektorat ketakutan. Menyebut secara gamblang nama penguasa dan lingkarannya di era itu adalah dosa besar. Dilihat dari kacamata generasi sekarang, hal itu mungkin sulit dibayangkan.
Puncaknya, terjadi pembredelan majalah Arena oleh rektorat. Sejarah yang membunuh “karir” kami. Eh.
Apalah arti wartawan tanpa koran?
Saat semangat sedang menyala, mereka mati-matian memadamkan. Unjuk rasa memprotes pembredelan sebagai bentuk belenggu kebebasan berpendapat pun terjadi bersamaan dengan berbagai tekanan yang dialami para kru dan aktivis kampus. Mental maupun fisik.
Kang Gatot dan Bang Matori ditusuk belati perutnya. Saiful dipukul kepalanya sampai hang ( saya tidak tertawa kok dim) dan beberapa kejadian serupa dalam tingkat yang lebih ringan. Semuanya tanpa proses hukum terhadap pelaku yang misterius.
Banyak senior yang ditangkap di antara rentetan unjuk rasa yang terjadi secara bergelombang selama berbulan-bulan lamanya. Solidaritas pun menguat. Di antara kru maupun teman-teman aktivis lain. Mulai dari kampus lain di sekitar Yogya hingga merembet keluar kota. Mereka berdatangan dari Purwokerto, Jember, Salatiga, Jombang, dll, untuk memberi dukungan. Dan tentu saja, unjuk rasa!
Arena tak pernah sepi. Meskipun kami tidak maksimal berproses jurnalistik, tetapi ada banyak pelajaran yang bisa dipetik. Menguat dan tumbuh menjadi sikap. Persahabatan, solidaritas, empati dan keberpihakan yang banyak dicontohkan para senior dan sejawat, sangat membekas.
Terimakasih para suhu. Jasamu tiada tara. #nyanyi
Saya kecipratan berkah, menjadi cuwilan saksi mata di antara semua aktivitas itu.
Saya mungkin bisa lupa momen-momen perkuliahan, melewatkan acara kelas, pergi-pergi hangout macam mahasiswa saat itu. Bahkan pulang mudik pun kadang terlupakan. Ditegur ortu? Sering lah.
Tapi melewatkan momen di Arena? Sungguh sayang banget.
Itu gila yang nomor berapa ya?
Alhasil, mengakhiri “karir” di Arena karena tuntutan waktu (sudah mulai dihinggapi paranoia skripsi) menjadi momen yang paling dramatis buat saya saat itu. Saya mengakhirinya dengan semacam upacara segregasi yang dihadiri saya sendiri. Ada kejadiannya, tapi tidak saya ceritakan. Hehe.
Jombang, 8 Februari 2025.
Selamat menua di usia 50, Arena. Tetaplah muda untuk selalu menjadi kancah berfikir alternatif.
*Angkatan Arena 1992 | Foto Dokumentasi Pribadi