Lpmarena.com-Jika kau sedang berjalan di sekitar kampus itu, kau akan melihat tumpukan sampah berserakan akibat ulah tangan para pemulung. Lampu-lampu di tiang sebentar lagi akan memancarkan cahaya, mengusir matahari untuk mencari tempat lain. Jika kau masih belum puas berkeliling, cobalah cari jalan setapak yang melintang di antara bangunan bertingkat. Dan jika masih kurang puas, arahkan pandanganmu ke hotel yang berdiri tegak di samping kampus itu, di sanalah nafsu sering kali menghunuskan keperkasaannya.
Mahasiswa berkacamata yang kau temui sore itu bernama Herman. Ia berkuliah di jurusan Sastra Industri. Pakaiannya tampak kebesaran, seolah menelan tubuh cekingnya yang ia lambaikan kemana-mana. Menemuinya di kampus seperti menemukan teori yang pas untuk tugas kuliahmu. Kamu akan lebih sering menemukannya lewat media online yang memuat tulisannya. Namun, kata temanku yang cukup dekat dengannya, kamu juga bisa menemukannya tengah malam tanggal 20 setiap bulannya. Apabila honor dari tulisannya cair, ia akan beranjak dan merefleksikan kehidupan di tempat yang mungkin tak pernah kau duga.
Tak banyak yang tahu mengapa ia begitu pendiam, bahkan acap kali tampak murung. Beredar gosip di kampus ia berasal dari keluarga strict parent. Kabar lain dari obrolan kantin belakang kampus menyebutkan bahwa ia mengidap anxiety yang membuatnya menjauhi keramaian. Ada juga rumor bahwa ia seorang wibu. Namun, di balik gosip itu, tulisannya tetap menarik perhatian. Meski jasadnya jarang terlihat di keramaian, namanya selalu menjadi bahan obrolan yang menarik, terutama di kalangan mahasiswa pecinta industrialisasi sastra.
Salah satu tulisannya yang paling terkenal adalah esai yang terbit Juli lalu di KoMjok.id. Salah satu media baca online paling bergengsi di Jawa. Generasi muda yang terjebak modernitas dan liberalisme sering mengutip salah satu paragrafnya:
“Di era sekarang, tak seorang pun dapat menyangkal birahi kebenaran. Ia tak mengenal tempat; kepada si kecil yang mulai beranjak dewasa, kepada mahasiswa yang setiap waktu salat ke masjid, kepada bos yang bergelut dengan pekerjaan kantoran dan bergaya ala skena perkantoran, kepada pemimpin agama yang berjubah yang, jika serat benangnya terurai, dapat kita kaitkan ke tiang yang berada di bulan. Secara sadar maupun tidak, kebenaran sering kali lahir di sana.”
***
“Membuat malu kampus! Begitu caramu berterima kasih?” Bu Dekan meluapkan amarahnya kepada Herman.
Tiga hari lalu, sebuah surat panggilan datang. Herman sudah yakin, takdir akan membalikkan nasibnya dalam waktu dekat. Perasaannya sudah mati, jadi ia tidak perlu menguras energi untuk menanggapinya secara serius.
Seminggu lalu, Herman menjadi topik utama dalam setiap obrolan. Bukan karena tulisannya dimuat di Kompas atau media baca ternama lainnya. Bukan juga karena prestasinya dalam perlombaan baca puisi tingkat internasional. Tidak juga karena tulisannya yang memenangkan sayembara di Dewan Kesenian Jakarta. Namun, karena ia tertangkap basah setelah tidur dengan istri bapak kosnya. Malangnya, bapak kos dan saudaranya menggerebek tepat saat ia mengeluarkan cairan kental tepat di atas perut ibu kosnya.
“Apa jadinya jika berita ini muncul sewaktu kamu mengikuti sayembara di Jakarta?” Suara Bu Dekan semakin lantang. Lipstiknya yang kering karena terpapar AC tampak mulai mengelupas. Andai saja ada tambahan satu kalimat lagi dari bibirnya, mungkin lipstik itu benar-benar akan terkelupas. Mungkin saja.
“Kamu tidak pernah berpikir sebelum bertindak, hah?” Amarah Bu Dekan semakin menjadi.
Tidak salah jika Bu Dekan begitu marah. Dalam setiap acara fakultas maupun kampus, nama Herman selalu disebutnya. Di sisi lain, Herman adalah jualan Bu Dekan dalam setiap seremonial “bangga-membanggakan” antar sesama dekan. Jika dekan lain mulai membanggakan prestasi mahasiswa fakultasnya, Bu Dekan segera mencari teknik yang baik untuk masuk dalam perbincangan. Begitu menemukan celah, nama Herman seperti bola yang disepak langsung ke gawang para dekan fakultas. Tulisan-tulisannya dijadikan bahan untuk memperkenalkan fakultasnya sebagai tempat berkumpulnya prestasi-prestasi yang patut diacungi jempul.
“Menyesal rasanya sudah mengenalkanmu ke khalayak ramai. Bikin malu semua! Tak terbayang jika kamu anak kandungku. Mengusirmu adalah pahala bagiku.”
Bu Dekan terdiam. Herman sejak tadi juga diam. Hanya pangkal tangan kanannya yang kelihatan bergerak. Kepalanya tertunduk, bukan karena takut, melainkan karena memainkan debu lantai lebih ia nikmati daripada mendengar ocehan Bu Dekan yang sudah kehilangan panggung. Matanya tak bercahaya untuk mendengar lolongan Bu Dekan. Debu baginya adalah penghibur sejenak, seperti halnya buku dan sebilah pulpen. Lagipula, manusia mana lagi yang bisa memberinya kesenangan selain ibu kos dan beberapa wanita penghibur yang telah menenggelamkannya dalam lautan birahi?
“Mau kamu taruh di mana wajah saya di hadapan dekan-dekan lain? Sudah diberi panggung dan relasi, tapi tak tahu berterima kasih.”
Hijab Bu Dekan sudah tak simetris. Bahunya naik. Pipinya merah. Matanya seperti menahan tangis yang jika dibiarkan akan meledak. Para staf dan pegawai tak ada yang berani mendekat. Bahkan office boy yang biasa datang mengantar teh panasjuga tak kelihatan. Tanda tangan surat ini dan itu tertunda. Namun, Herman tetap tak terusik. Walaupun itu juga terpikirkan. Bahkan ia cukup iba pada mahasiswa yang sejak tadi mengintip dari celah pintu ruangan Bu Dekan. Ruangan itu seolah menginspirasi untuknya berbicara.
“Sudah, Bu?”
“Apa kamu bilang?”
“Sudah, Bu?”
“Katakan sekali lagi, kamu keluar dengan membawa surat DO.”
Herman tak berkutik lagi. Padahal niatnya baik, menanyakan apakah Bu Dekan sudah selesai bicara, sehingga ia bisa menentukan apakah akan menjawab atau langsung permisi keluar meninggalkan ruangan yang berisi orang-orang yang punya kepentingan
“Kalau tidak ada lagi, saya pamit keluar, Bu.” Herman mulai beranjak, mengambil sesuatu dari saku kanan celananya, lalu meletakkannya di meja Bu Dekan. Ia keluar tanpa menoleh dan membiarkan kemarahan terus menetap di dada Bu Dekan.
***
Terima kasih sudah mengenalkan saya ke khalayak ramai, Bu. Terima kasih juga telah memberi saya panggung untuk terkenal. Kelihaian Ibu dalam beretorika patut dipuji. Namun, kegagalan Ibu menggapai panggung untuk ibu sendiri dengan mental pecundang perlu dievaluasi. Saya menganggap bahwa sastrawan yang berkerumun di selangkangan wanita penghibur adalah sebuah kebenaran. Ibu menganggap perilaku bangga-membanggakan saya di depan dekan lain juga sebagai kebenaran. Kita berdua berada di jalur kebenaran, Bu. Hanya bentuknya saja yang berbeda.
Ruang Bu Dekan, 12 Oktober 2023
Herman
“Cah asu,” gumam Bu Dekan pelan, sebelum merobek surat yang ditinggalkan Herman…
Penulis Geri Septian | Illustrator Siti Hajar Fauziah | Editor Ridwan Maulana