Oleh: Angga Pratama
Perkembangan kapitalisme tampaknya menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan, mendorong setiap negara untuk menerapkan sistem ekonomi ini agar tetap bertahan dalam persaingan bisnis dan teknologi yang semakin ketat. Dalam dinamika global yang terus berubah, kapitalisme sering dianggap sebagai sistem yang paling efektif dalam mengakomodasi pertumbuhan ekonomi dan inovasi teknologi. Para pendukung liberalisme, imperialisme, dan kapitalisme kerap menekankan bahwa pasar bebas berjalan tanpa intervensi pemerintah atau kendali kekuatan tertentu yang mengarahkan pergerakannya. Mereka membangun narasi bahwa dalam sistem ini, individu maupun masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai kesejahteraan, karena setiap orang dianggap memiliki kebebasan penuh untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan kemampuan dan keinginannya.
Pandangan ini kemudian mengarah pada anggapan bahwa pasar bebas merupakan sesuatu yang muncul secara organik, hasil dari interaksi manusia yang bersifat transaksional tanpa adanya paksaan. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, konsep kapitalisme dan pasar bebas berakar pada pemikiran para filsuf di era Pencerahan yang berupaya membebaskan manusia dari sistem ekonomi yang dianggap mengekang. Pada masa itu, feodalisme menjadi sistem yang dominan, di mana kepemilikan kapital terkonsentrasi di tangan para tuan tanah, sementara sebagian besar masyarakat hanya memiliki akses terbatas terhadap sumber daya ekonomi. Lebih jauh lagi, sistem feodal ini sering kali mendapat legitimasi dari institusi keagamaan—terutama di Eropa—yang memperkuat hierarki sosial dan membatasi kebebasan individu dalam berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi.
Adam Smith, dalam bukunya The Wealth of Nations, mencoba menggugat sistem feodalisme yang menurutnya telah usang dan tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Ia menekankan bahwa sistem ekonomi seharusnya didasarkan pada mekanisme pasar yang memungkinkan individu untuk berinteraksi secara bebas tanpa ada campur tangan kekuatan yang mengatur atau mengendalikan jalannya perekonomian. Namun, pertanyaannya, apakah sistem feodalisme benar-benar telah lenyap, ataukah ia hanya berubah bentuk menjadi sistem baru dengan wajah yang lebih modern? Jika kita cermati lebih jauh, kapitalisme yang diklaim memberikan kebebasan justru masih menyisakan persoalan ketimpangan ekonomi, di mana modal tetap terkonsentrasi di tangan segelintir orang, sementara sebagian besar masyarakat masih terjebak dalam keterbatasan akses terhadap sumber daya. Dengan demikian, apakah kapitalisme benar-benar menawarkan kebebasan bagi semua, ataukah ia sekadar memperbarui struktur kekuasaan lama dalam bentuk yang berbeda?
Gerakan Liberalisme yang Menipu
Kapitalisme secara sistematis memanfaatkan gerakan liberalisme untuk semakin memperlebar kesenjangan antara individu, sehingga kesadaran kolektif dalam masyarakat tidak pernah benar-benar terbentuk. Benturan sosial yang terjadi bukanlah sesuatu yang muncul secara alami, melainkan konsekuensi langsung dari mekanisme yang sengaja dipertahankan oleh para kapitalis dengan dukungan kaum liberal. Kedua kelompok ini bekerja sama dalam membangun serta memperkuat hegemoni yang semakin mengakar dalam berbagai aspek kehidupan. Fenomena ini dapat diamati dalam dinamika pasar bebas, yang sejatinya merupakan sebuah ilusi yang menyesatkan masyarakat luas.
Meskipun pasar bebas sering kali diklaim sebagai sistem yang menempatkan kebebasan individu sebagai prioritas utama, kenyataannya konsep tersebut hanyalah kamuflase untuk menyembunyikan keberadaan hierarki kapitalistik yang semakin mengukuhkan dominasi para pemilik modal.
Sistem ekonomi yang berlandaskan mekanisme pasar bebas pada dasarnya tidak benar-benar memberikan kebebasan ekonomi bagi individu, melainkan justru menciptakan struktur kekuasaan yang secara sistematis menempatkan “konsumen” dalam posisi subordinat. Akibatnya, hak atas otonomi yang seharusnya dimiliki setiap individu semakin tergerus oleh mekanisme pasar yang dikendalikan oleh segelintir elite kapitalis. Dalam perkembangannya, gerakan liberalisme yang pada awalnya berlandaskan konsep otonomi individu mengalami pergeseran makna. Alih-alih menjadi sarana untuk memperjuangkan kebebasan, liberalisme justru berkembang menjadi alat bagi elit kapitalis untuk mengonsolidasikan kekuatan dan memperluas pengaruhnya. Dengan demikian, kendali atas pasar yang diklaim sebagai “bebas” pada kenyataannya tetap berada dalam cengkeraman segelintir pihak yang memiliki akses terhadap sumber daya dan modal.
Pasar Bebas-Terbatas
Pasar bebas sering kali dianggap sebagai konsep yang ideal dan memberikan kebebasan ekonomi bagi semua pihak, namun pada kenyataannya konsep ini lebih sering menjadi alat legitimasi bagi kelompok yang memiliki kuasa ekonomi besar untuk mempertahankan dan memperluas dominasinya. Kritik terhadap pasar bebas kerap muncul sebagai bentuk respon atas ketimpangan yang ditimbulkan oleh sistem ini, terutama ketika keuntungan yang dihasilkan hanya berputar di lingkaran korporasi besar dan segelintir elit ekonomi. Meski demikian, menghapus pasar bebas secara total bukanlah hal yang dapat dilakukan secara tiba-tiba, mengingat kompleksitas sistem yang telah tertanam dalam struktur ekonomi global. Perubahan radikal ke arah sistem ekonomi yang lebih kolektif dan terpadu hanya mungkin terjadi dalam kondisi ekstrem, seperti ketika kapitalisme mengalami krisis yang begitu mendalam hingga ketidakpuasan sosial mencapai titik puncaknya dan mendorong perubahan sistemik secara masif.
Dinamika dalam pasar bebas menunjukkan bahwa kendali atas ekonomi bukanlah sesuatu yang statis, melainkan terus mengalami perubahan di antara para pemegang modal yang bersaing satu sama lain untuk mendapatkan dominasi. Mereka yang berada di puncak hierarki ekonomi pada satu waktu tertentu dapat mengalami kemunduran ketika korporasi yang mereka miliki gagal beradaptasi dengan perubahan pasar, dan posisinya kemudian diambil alih oleh kelompok kelas menengah yang telah mengonsolidasikan kekuatan ekonomi mereka melalui investasi bersama dan strategi bisnis yang lebih fleksibel. Fenomena ini dapat diamati dalam industri teknologi, misalnya di sektor ponsel, di mana perusahaan-perusahaan raksasa yang dulunya mendominasi perlahan tergeser oleh pesaing yang berasal dari kelas menengah yang lebih inovatif dan mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perkembangan zaman.
Meskipun sering dipromosikan—melalui gerakan liberalisme—sebagai sistem yang membuka peluang bagi siapa saja untuk berpartisipasi dalam ekonomi, pada kenyataannya, pasar bebas bukanlah arena yang benar-benar terbuka bagi semua orang. Banyak individu yang tidak memiliki akses terhadap modal, jaringan, atau sumber daya yang memadai untuk bersaing dalam sistem ekonomi kapitalistik, sehingga pasar bebas lebih tepat disebut sebagai “pasar bebas-terbatas” di mana kebebasan ekonomi hanya berlaku bagi mereka yang memiliki kekuatan modal dan pengaruh yang cukup besar. Kebebasan yang dijanjikan oleh pasar bebas pada dasarnya lebih banyak menguntungkan korporasi besar yang telah memiliki posisi dominan dalam ekonomi. Mereka tidak hanya mampu mengendalikan opini publik melalui media dan strategi pemasaran, tetapi juga dapat membangun sistem eksploitasi yang semakin memperkuat hierarki ekonomi yang ada.
Sementara itu, masyarakat umum hanya dijadikan sebagai entitas tersubordinasi yang bertugas menyerap kelebihan produksi, sehingga kapital yang dihasilkan dapat terus berputar dan terakumulasi dalam sirkulasi ekonomi yang menguntungkan pemilik modal. Dengan kata lain, semakin besar kebebasan yang diberikan kepada masyarakat secara umum dalam sistem ekonomi pasar bebas, semakin sulit bagi kapitalis untuk mempertahankan kendali atas pasar. Oleh karena itu, meskipun pasar bebas sering dikaitkan dengan kebebasan ekonomi, kenyataannya, kebebasan tersebut lebih merupakan ilusi yang hanya berlaku bagi segelintir pihak yang sudah memiliki posisi kuat dalam ekonomi global.
Angga Pratama is a writer, founder of Ruangan Filsafat, and editor at Gudang Perspektif. The initiator of the theory or concept of “Philosophical Asymmetry of Economic Materialism” which is available and can be read in the Business & Finance Analyst journal. His writings are spread across several media, for example Omong-omong, Newminds Club, Gudang Perspektif, Zona Nalar, Anotasi, The Columnist, Nalar Politik, LSF Discourse, Arah Juang, Pratamaangga, Kumparan and others. My interests are broad, but I focuses on (i) the Philosophy of Economy, (ii) the Philosophy of Marxism, (iii) Econometrics, and (iv) Ethics.
Editor Niswatin Hilma | Ilustrator Siti Hajar Fauziah
Referensi
Astuti, E. M. M. (2011). Kapitalisme Dalam PerspektifF Calvinisme: Antara Reformasi Ekonomi dan Reformasi Agama (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).
Smith, Adam. (2005). The Wealth of Nations. Penguin Classics.
Fix, Blair. (2020). The Free Market as a Double Lie. ETD.
McNally, D. (1993). Against the Market: Political Economy, Market Socialism and Marxist Critique. Verso.