Home MEMOAR Sejak Dulu Arena Baik Hati dan Senang Melakukan Operasi Otak Gratis

Sejak Dulu Arena Baik Hati dan Senang Melakukan Operasi Otak Gratis

by lpm_arena

Oleh Rifai Asyhari*

Lpmarena.com– Arena kini berusia 50 tahun dan saya pernah bergelut di sana 3 tahun. Artinya saya mengisi 6% dari total persentase kehidupannya. Tapi itu sekarang, di tahun 2025. Semakin tahun persentasenya tentu akan semakin mengecil, semakin tidak berarti apa-apa. Apalagi kalau Arena sampai berusia 1.000 tahun. Itu akan jadi pencapaian lintas generasi dengan banyak titik pijak penting. 

Dan apa pun perubahan di sana, semuanya perlu diterima dengan lapang dada. Gerak sejarah toh bukan hanya ditentukan aktornya, tetapi juga situasi yang melampaui dirinya. Rada Marxis sekaligus nihilis.  

Kita bukan penguasa, kita rakyat jelata, bekerja dan berdoa. Badai pasti datang, kita tidak akan menang, mengapa harus bimbang? Kata Koil menyuntikkan semangat sambil membatasi kadarnya agar tidak kelepasan.

Tapi hal-hal begini tentu tidak berlaku di Arena dan memang seharusnya begitu. Anak muda harus meledak. Anggapan ini datang dari penuaan dikali beban hidup yang menghasilkan demoralisasi. Anjing. Menua dan jadi bangka lalu kolot lalu suka bercerita soal dulu. Membosankan. Simpan saja kenanganmu sendiri!

Maka sesekali, saya menghindarkan diri dari hal-hal berbau alumni. Buat saya itu menakutkan. Alumni berarti mengaku tua sementara saya lebih suka memperpanjang masa muda. Alumni berarti hal-hal yang sepantasnya diberi respect dan diambil hikmahnya. Saya selalu takut menua dan tidak lagi relevan tapi sok tahu meski tak dapat menghindarinya. Dulu itu ….

Tapi tentu, ajaran-ajaran ini datang dan menebal sebab Arena. Generasi tua blablabla, begitu kata sebuah buku milik Arena yang saya baca di sekret dan seingat saya dirayakan bersama. Ya, ada banyak ingatan dan perayaan dari sekret sekecil itu. Sekret yang terpojok di SC dan kotor dan sangat sering jadi tempat saya menghabiskan sore usai kuliah sebab saya rasa tempat itu mengizinkan pemuda-pemuda miskin untuk membaca dan berpikir dan melamunkan kenyataan. Tempat yang lebih lambat dari Yogyakarta sendiri sebab kota ini terus membangun gedung sedangkan kami mencoret dinding dan membiarkan gelas kopi tidak tercuci hingga muncul belatung. Di sana tubuh melambat tetapi pikiran bergerak cepat.  

Saya punya hutang hidup pada Arena dan semua orang di sana yang membuat saya mau belajar. Mari saya tuliskan apa-apa yang saya “rasakan” sepanjang 6% itu.

Waktu itu saya semester tiga di sebuah jurusan di satu fakultas. Kuliah terasa membosankan dan saya pikir saya tidak akan dapat banyak jika hanya kuliah. Sudah bayar dan merantau di Jogja dan rasanya peh. Maka saya mendaftarkan diri di Arena dan diterima.

Pertama kali ikut kegiatan diskusi di sana, saya hanya merasakan satu hal: bodoh. Semua hal yang saya dapatkan di sekolah terasa tidak berguna di sana. Hafalan rumus IPS tidak berguna, apalagi fafifu kehidupan. Semua orang doyan baca dan tanpa bacaaan seseorang tidak punya nilai diri. Ampas. Sampah. Diam, kamu tidak punya hak bicara!

Maka dari waktu ke waktu saya hanya mendengarkan orang-orang mengutip sana-sini serta mengelaborasi argumen lantas membuktikan. Debat terus. Ngomong terus. Saya hanya duduk diam merasa tolol sekaligus terkagum-kagum. Apa ini yang dimaksud jadi mahasiswa kritis? Apa ini yang disebut intelektual? Apa ini, emm, cara belajar yang lebih baik ketimbang menghafal rumus ala sekolah? Saya pusing tetapi menikmatinya dan jadi kecanduan. 

Arena bagi saya tampak mengagumkan karena itu. Sudah pandai bicara, bisa menulis pula. Tapi waktu itu saya sendiri tidak suka menulis apalagi liputan. Di kepala saya liputan itu pekerjaan Arena paling menyebalkan karena harus turun lapangan, menunggu narasumber begitu lama hanya untuk dapat beberapa pernyataan. Tapi Arena toh UKM jurnalistik sehingga bagaimanapun kadernya harus melakukan liputan. Jadi dibanding rekan sejawat saya macam Faksi apalagi Isma, saya hanya melakukan sedikit sekali liputan sebagai bare minimum agar tidak diusir. Ini buruk, tentu saja. Saya menulis sebagai kompensasi agar bisa dapat ruang ngobrol dan bagi bacaan, agar dapat bersaing dalam “kegiatan adu mulut” seperti orang-orang yang sudah masuk sebelumnya. Misi yang sungguh narsistik. 

Konsekuensi lainnya tentu saja adalah berkubang dalam segala penderitaan. Uang sakumu sudah tipis dan sebaiknya kamu suka membeli buku saban bulan agar kapasitas otakmu berkembang. Perutmu lapar, tetapi pikiranmu dituntut berkembang saban waktu. Sangat bertentangan dengan gaya MBG hari ini. 

Tiga tahun berlalu dan begitu banyak hal yang Arena ajarkan pada saya–maafkan saya yang korupsi waktu satu tahun. Tiga tahun itu saya hayati sebagai waktu luang paling nikmat sebab bertemu teman-teman yang baik yang mau berbagi pengetahuan. 

Di Arena, otak saya seperti dioperasi agar bisa melihat dunia dengan cara berbeda. Ada banyak keterguncangan setelah menghayati beragam bacaaan yang analitis maupun sentimentil maupun marah-marah. Sejak masuk Arena, banyak anak muda yang tidak lagi menjadi orang yang sama. Bagi saya, bonusnya jadi anak skena. 

Selamat ulang tahun, Arena, tetaplah hidup. Kamu baru berusia 50 tahun. Kamu dibutuhkan, apalagi di negara dengan pemerintahan seperti saat ini.

*Jadi anggota Arena sejak 2013 dan kini bekerja di satu peneritan buku  | Foto Arsip Arena