Oleh: Maria Al-Zahra*
Tahniah kepada Bu Afni yang saat ini sudah menjadi ketua PLT, dan terima kasih kepada Bu Andayani yang telah menghidupkan kembali PLT sejak Agustus 2024—Januari 2025.
Tentu harus diucapkan dulu ucapan selamat karena selama satu tahun tahun kemarin PLT juga giat mengucapkan selamat dalam media sosialnya. Dari total 51 postingan, saya hitung-hitung ada tujuh postingan ucapan selamat, 12 postingan dokumentasi kegiatan dan hanya empat postingan konten yang membahas soal pelecehan seksual, ada pembahasan sextortion, catcalling, KBGO dan Metode Intervensi 5D.
Karena melalui banyaknya postingan dokumentasi PLT di media sosial, ada pertanyaan yang selalu muncul dalam kepala: PLT hendak ke mana?
***
Siang itu, 21 Maret 2024.
Aku bertemu dengan salah satu korban pelecehan seksual. Korban adalah sesama mahasiswi, sama sepertiku. Ia mahasiswi UIN Sunan Kalijaga yang melapor ke PLT dan tidak ada lanjutan penanganan kasusnya. Korban bercerita sudah digantung lebih dari 4 bulan, padahal menimbang kasusnya, berdasar kategori dari PLT, pelecehan yang ia alami tergolong berat.
Jika merujuk pada SOP, pelanggaran berat terkategorisasi sebagai pelanggaran fisik. Seperti meraba, menempelkan tubuh pelaku pada korban, pemaksaan kehamilan serta aborsi dan yang lainnya.
Sungguh, pada pertemuan itu aku tidak meminta kronologi kasus yang korban alami. Aku meminta bagaimana penanganan yang PLT berikan kepadanya selaku korban pelecehan seksual. Tapi, entah bagaimana bayang-bayang korban yang tertunduk saat bertemu denganku, lebih banyak diam daripada pendampingnya, dan emosi yang kurasakan di ruangan itu; semuanya terekam jelas dan begitu menyakitkan.
***
Tidur, kegiatan paling krusial bagiku. Saat tidur setidaknya ada rasa tenang karena memeluk guling di kanan dan kiriku; Selimut yang hangat, kadang juga ditumpuk dengan sarung, maklum sebagai warga Semarang yang terbiasa panas, hawa di Jogja dapat dikata cukup adem. Tidur pun bukan sembarang tidur, seperti kata warganet: bocan atau bobo cantik. Membersihkan muka dengan milk cleanser Viva dan serum dan krim malam Azarine. Nyenyak.
Namun, pagi itu aku bangun dengan keringat di dahi. Tanganku terkepal keras dan saat kulihat jam masih pukul setengah 5. Satu jam lebih cepat dari kebiasaan tubuhku. Menatap langit-langit—barangkali ada sekitar 30 menit—hanya itu yang bisa kulakukan. Rasanya nge-freeze, termangu. Tidak bisa bergerak bahkan berpikir apa pun. Hanya ada rasa takut dan cemas yang entah bagaimana caranya datang merangsek subuh itu.
Perlahan aku bangun. Membuka hape dan segara kucari nomor salah satu temanku. “Mas, aku takut. Mimpi dikejar orang,” begitulah sekiranya isi pesanku. Dari pesan itu aku terus bercerita panjang di pagi hari. Cerita soal mimpi anehku, mimpi yang ingin ku lupakan, tapi bahkan sampai tulisan ini kutulis masih saja teringat.
***
Malam itu, 22 Maret 2024.
Aku berada di kampus. Sangat yakin. Interior yang kukenal persis. Bangku kelasnya, papan tulisnya, lampunya, kantinnya, tangga yang kecil hingga pendingin kelas. Itu di fakultasku, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga. Duduk di bangku kelas, mendengarkan dosen dan kemudian Orang Yang Tak Dikenal itu datang. Menatapku dengan lirikan matanya, tubuh yang tinggi besar dan wajahnya; entahlah, terlalu samar. Aku tidak berani melihatnya. Dia mendekat, duduk di sebelahku dan aku lari pergi ke bawah. Bersembunyi di kamar mandi.
Orang Yang Tak Dikenal itu mengintip dan tertawa keras. Aku lari ke arah MP lalu SC. Dan dia mengejar terus sampai kemudian aku terbangun.
Hal yang paling ku ingat adalah tatapannya yang sungguh membuatku muak, cemas, takut dan ingin kubogem rasanya. Tatapan cabul. Tatapan saat teman laki-lakiku menceritakan film Sydney Sweeney; tatapan yang berisi gairah dan ah sudahlah muak aku menulisnya!
***
Esok malam, 23 Maret 2024
Orang itu datang lagi, masih mengejar di area Kampus Timur. Ke sana kemari aku lari. Tanganku terkepal saat terbangun. Ya, masih dengan tatapannya yang membuatku muak. Aku ingin menangis sebab Orang Yang Tak Dikenal itu terus mengejar.
***
Dan malam selanjutnya: 24 Maret—Juni 2024.
Aku merindukan tidur nyenyakku. Di kamar Kos Istana milik Bu Darto sejak dua malam itu, sungguh, tidurku tak pernah nyenyak. Doa adalah jalan satu-satunya yang kuyakini. Namun, apalah arti kekuatan doa jika pikiranmu masih kacau oleh Orang Yang Tak Dikenal itu. Orang yang mengejar dengan tatapan cabul dan dia ada dekatmu. Di kampusmu. Mungkin pernah berpapasan, mungkin pernah satu ruangan, mungkin pernah mengobrol atau mungkin, mungkin, mungkin yang lain.
Dihinggapi rasa takut dan cemas setiap malam, padahal itu hanya dalam mimpi, tapi, rasanya sakit. Untungnya aku sudah memesan kamar kos lain di daerah Gowok; berharap tidurku bisa nyenyak kembali.
***
Begitulah sedikit kisahku dalam proses liputan SLiLiT yang sedang dikerjakan Arena. Pasca bermimpi soal Orang Yang Tak Dikenal itu, aku memberi jarak beberapa hari dan tidak menyentuh laptop. Setelahnya kembali aku membuka laptop dan mengerjakan liputan. Transkrip semua rekaman, merapikan file dan membuat rancangan.
Rekaman bersama korban tentunya aku transkrip juga, tak lain untuk memudahkan dalam menulis. Tapi, kembali kudengar cerita itu dan (Sial!) kembali kubermimpi Orang Yang Tak Dikenal itu. Lagi dan lagi, orang itu datang dan latar mimpiku selalu kampus. Ya, kampus ini, UIN SUKA DUKA ini.
Mimpi-mimpi yang kualami rupanya hal yang biasa terjadi ketika seseorang menjadi pendamping atau pendengar atau teman korban kekerasan seksual. Ternyata memang cerita korban bisa berdampak bagi pendengarnya juga dan mungkin dalam hal ini aku terlalu lemah. Lemah dan takut.
Cerita korban yang kutemui memang memenuhi pikiran. Bayangan bahwa si pelaku masih berkeliaran; pelaku masih bisa kuliah dan masuk kelas; pelaku masih ada di kampusku dan aku tidak tahu siapa dia; pelaku yang sudah melakukan tindakan asusila dengan memanfaatkan ruang privat di antaranya dengan korban.
Pelaku ini masih ada di kampus. Hei, sampai kapan dia berkeliaran!?!
Fakta itu menggerayangiku.
***
Kekerasan seksual atau pelecehan seksual di UIN itu sungguh ada.
Sayangnya masih ada yang bilang kalau kasus yang dilaporkan—cerita yang mungkin tak sengaja dengar di angkringan dan bisikan soal dosen cabul itu—tidak benar-benar terjadi. Bahwa cerita itu dibuat-buat dan perempuan yang mayoritas menjadi korban itu hanya bersikap lebay. Terlalu mudah bilang pelecehan, katanya, ujar seorang mahasiswa yang duduk bersamaku seusai pentas teater pada 7 Juni 2024.
Miris mendengar pernyataan itu. Rupanya wacana gender, salah satunya soal kekerasan seksual di kampus begitu memprihatinkan. Kekerasan atau pelecehan seksual tidak pernah bebas dibicarakan. Sekalinya dibicarakan malah menyalahkan korban.
Barangkali PLT bisa menggencarkan dan menegaskan ke mana arah geraknya. Dalam kerja-kerjanya PLT memiliki Gender Focal Point yang direncanakan di tiap fakultas. Melalui penyebarannya di setiap fakultas diharapkan banyak mahasiswa dan dosen yang dapat dijangkau. Sayangnya, baru ada dua Gender Focal Point ini, bernama Rumah Gender dan berada di Fakultas Ushuluddin serta Fakultas Dakwah.
Di antara dua fakultas itu pun yang aktif dan masif hanya di Ushuluddin, sedang Dakwah sepi-sepi saja dan entahlah mereka membuat apa. Pergerakannya hanya terbatas seminar. Ketua Rumah Gender Dakwah 2023 juga mengaku pada saya jikalau seminar saja sebenarnya tidak dapat diandalkan untuk menyebarkan wacana gender dan kekerasan seksual itu. Apalagi jika seminar yang diadakan setahun hanya satu atau dua kali. Tak heran, jika banyak dari teman-teman di fakultas yang sudah semester 7 atau 5 bahkan tidak tahu-menahu ada Rumah Gender di fakultasnya.
Untungnya, PLT sering mengadakan seminar. Dari 51 postingan ada 8 info seminar. Sisanya adalah foto kegiatan-kegiatan PLT seperti Goes to School atau Rapat Koordinasi. Namun, jika menggantungkan harapan sepenuhnya pada PLT tidak akan pernah bisa, karena pencegahan kekerasan atau pelecehan seksual adalah tanggungjawab bersama.
Bagaimana mau berharap ke PLT, jika kepercayaan masyarakat UIN saja belum dipegang. Contohnya saat ada laporan pengaduan yang masuk, sayang sekali jika hotline yang dipasang punya laku yang amat slow respon. Tak heran pula jika beberapa korban lebih memilih melaporkan kasusnya kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Rifka Annisa. Ada seorang teman yang menceritakan hal itu. Akhirnya saya juga mencoba menghubungi kontak tersebut. Hasilnya, pesan saya baru dijawab setelah dua hari.
Sama halnya ketika PLT membuat laporan kasus pada Juli 2024 lalu. Laporan tersebut, entahlah, seperti belum pantas disebut laporan. Pasalnya data kasus yang dikumpulkan adalah rekapitulasi selama 4 tahun, dan dibuat tanpa persiapan.
Pertama, rekap data ini adalah data selama 4 tahun yang dipendam oleh PLT. Sayangnya dari data ini tidak dirinci bagaimana peningkatan atau penurunan laporan kasus yang masuk ke PLT. Padahal data statistik yang diperlihatkan tentu akan lebih baik dan dapat menjadi bahan evaluasi jika mencantumkan misalnya, di setiap fakultas mulai sadar diri akan wacana gender dan mana saja yang perlu ditingkatkan, atau dengan adanya penelitian mahasiswa semester akhir terhadap peningkatan atau penurunan laporan kasus kekerasan seksual di UIN.
Pun dengan data tersebut PLT juga dapat mengawasi lebih tajam fakultas dengan tingkat kekerasan atau pelecehan seksual tertinggi. Pun para pejabat kampus seperti dekan dan wakil dekan dapat melakukan evaluasi lebih cermat. Sayangnya, itu hanya sebatas angan saja.
Kedua, keraguan datang saat file data ini dibuka. Tidak berkop dan layout yang tidak niat dan tanda tangan penanggung jawab data ini atau siapa saja anggota PLT yang ikut andil merumuskan rekap data ini, tidak ada. Jika data ini hanya dilihat sekilas dan di-scroll saja, siapa yang akan percaya bahwa ini rekapitulasi data kekerasan seksual yang dikeluarkan oleh PLT? Lalu, bagaimana jika data ini mau disebar di grup-grup WhatsApp, tapi siapa yang mau percaya jika tidak ada penanda bahwa itu dari PLT sendiri?
Keempat, dalam rekapitulasi ini tidak dijabarkan sumber data menjaring berapa orang. Tiba-tiba saja hanya persentase tanpa angka. Ini 30% dari berapa kasus? Padahal sedapat ilmu kuantitatif di kelas, dalam mengolah data juga harus terbuka terkait sumber data yang diperoleh dan margin error-nya.
Kelima, dalam rekap data PLT dijelaskan jenis kekerasan seksual terdiri dari fisik, nonfisik dan KBGO. Padahal jika menilik kembali SOP yang menjadi pegangan PLT, setidaknya ada 9 bentuk kekerasan seksual: pelecehan seksual, intimidasi seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan aborsi, perkosaan dan pencabulan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, penyiksaan seksual dan Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE).
Mau bagaimanapun, data tersebut seperti menyederhanakan kekerasan seksual itu sendiri. Mirisnya, dilakukan oleh lembaga penanganan kekerasan seksual.
Namun, PLT yang tidak serius itu juga akibat dari kebijakan kampus yang lebih tidak serius. Dosen-dosen yang sudah memiliki beban banyak seperti pengajaran, pengabdian dan penelitian dibebankan pula untuk mengurusi PLT. Tidak ada ahli atau praktisi yang memang kompeten dan bisa stay serius mengurus laporan-laporan korban. Beberapa pengurus PLT—setahu saya—juga aktif di beberapa lembaga lain di kampus. Tentu, waktu mereka tambah terbatas.
Pun, seperti dalam liputan yang pernah saya tulis di SLiLiT Arena, PLT mengalami masalah di bagian pendanaan, mendapat ancaman dari pelaku yang juga sebagai dosen di kampus dan kuasa dan beban ganda sebagai pengajar yang menghambat satgas menangani kasus. Akan tetapi, saya juga meragukan arah gerak PLT itu sendiri.
Bukan saya meragukan para dosen di UIN, tapi ini soal keseriusan menangani kasus, bukan yang “disempat-sempatkan” di sela kesibukan, atau lebih buruk hanya buat mengisi waktu luang.
Jadi, PLT, (sudah tahu) hendak ke mana?
*Kuli tinta di Arena
Editor Selo Rasyd Suyudi | Ilustrator Nabil Ghazy