Oleh Mochammad Zimraan Asadell*
“And the little screaming fact that sounds through all history: repression works only to strengthen and knit the repressed.”
-John Steinbeck
Dalam pidato HUT ke-17 Partai Gerindra, Prabowo Subianto, Ketua DPP Gerindra sekaligus Presiden Indonesia ‘menghimbau’ agar masyarakat waspada terhadap adu domba yang dilancarkan oleh ‘pihak asing’ yang ingin memecah belah bangsa Indonesia. Prabowo menegaskan bahwa program 15 mega proyek hilirisasi SDA senilai miliaran dolar pada 2025 berpotensi mengancam kepentingan asing, sehingga muncul berbagai upaya provokasi, termasuk demonstrasi besar-besaran bertajuk “Indonesia Gelap”.
Pertanyaan ini mengganggu di benak kita, siapa itu asing dan siapa itu kita?
Saya beranggapan bahwa ‘asing’ merupakan yang-bukan-kita dengan kata lain; bukan pribumi. Agaknya kata ‘asing’ merupakan pelunakkan dari ‘non-pribumi’; sebuah kata yang sudah dilarang sejak tahun 98. Dalam fenomena yang sudah terjadi berulang kali itu, kekuatan yang fiksi dibayangkan sebagai daya yang ampuh dalam mengontrol masyarakat. Orang lebih mudah percaya bahwa PKI akan bangkit setiap 30 September atau Nyi Roro Kidul dengan kereta kencananya yang gelap dan gaib, ketimbang pemerintahan yang bobrok.
Dalam dunia modern ini, proses asimilasi seperti hendak ditinggalkan. Ketika penguasa berseru-seru untuk mengganyang pihak “asing”. Siapa yang dapat disebut sebagai “asing” di zaman ketika manusia dapat bepergian ke mana-mana dan memulai keluarga di mana-mana? Maka yang dimaksud pemerintah sebagai “asing” hanyalah sebuah musuh imitasi untuk mengelabui masyarakat demi agenda politik jahat masing-masing. Kehadiran “asing” dalam pidato nasionalis merupakan pengejawantahan dari sikap anti-kritik. Saran saya, tinggalkan saja slogan “Bhinneka Tunggal Ika” jika kesatuan identitas dilupakan.
Gejala xenofobia sudah sering terjadi di pelbagai belahan bumi, sebuah sikap yang menghadirkan sosok “asing” sebagai sesuatu makhluk yang patut dibenci. Seperti di era supremasi ras fasisme Hitler. Nazi memerlukan kendaraan politik: suatu bentuk ancaman yang nyata dan dekat, sebuah kambing hitam yang tak mampu menyeruduk bila ditindas yaitu Yahudi.
Oleh karena itu, Adolf Eichmann, seorang letnan kolonel SS mendengungkan program solusi terakhir untuk membangun Eropa yang “tentram” bagi ras Arya. Program solusi terakhir menyebabkan seorang tentara tanpa guncangan kemanusiaan menggiring jutaan Yahudi untuk menghadapi eksekusi. Hari ini Auschwitz menjadi sebuah kenangan, sebuah penanda yang mengerikan. Kita akan menyimpannya dalam tata simbolik dengan makna yang angkuh—yang ingin diterima secara universal.
Rasa takut, seperti yang kita tahu, adalah alat kontrol. Ketika Hitler menyelenggarakan parade Nazi menggemuruh. Dan bangunan-bangunan menjulang tinggi diberdirikan. Ia tahu, bahwa manusia tidak dapat memerintah hanya dengan kekuatan. Kaum Fasis, Komunis, Demokrat, dan entah siapa lagi siap menciptakan musuh dan permusuhan, dengan akibat terjadi semacam situasi gawat dan kecurigaan. Di bawah teror, orang gampang dibuat runduk.
“Memang kekuatan sangat menentukan,” kata sang diktator, “Tapi sama pentingnya dengan itu adalah memiliki sesuatu yang bersifat psikologis.”
Pasca-kemerdekaan Indonesia merupakan transisi yang genting. Dari kekuasaan kolonial ke kekuasaan pribumi. Soekarno berada di puncaknya, dengan PKI yang menjadi salah satu partai terbesar. Seberapa bejat dan baiknya Soekarno, dia memerlukan sesuatu untuk membangkitkan rasa kebersamaan. Kemudian musuh diciptakan; mereka yang dianggap kontra-revolusi dan antek imperialisme habis diganyang. Salah satu kejadian yang menjadi tonggaknya adalah pemberontakan PRRI-Permesta yang dilancarkan oleh tokoh-tokoh PSI dan Masyumi.
Setelah peristiwa G30S meletus dan rantai kebencian tercipta. Peristiwa itu diawali dengan 6 Jendral yang dibunuh di lubang buaya, kemudian petinggi militer geram. Padahal saya yakin, mereka mengetahui bahwa kejadian itu hanya konflik internal Angkatan Darat.
Dengan gayanya yang patriot, Soeharto mengambil—paksa—tongkat kekuasaan dari Soekarno dan mulai pembantaian massal secara keji, kejam, dan bengis terhadap “mereka” yang bagian dari PKI dan afiliasinya di tahun 1965-1966. Tak berhenti di situ, pemerintah—yang di bawah kendali Soeharto—memerlukan legitimasi bagi politiknya, mereka memerlukan musuh imajiner yang juga nyata dan dekat untuk ambisinya; Partai Komunis Indonesia. Marxisme pun dilarang. Sejarah ditulis ulang dengan fetish militer.
Di buku sejarah yang baru, PKI, partai yang sudah lemah bahkan tiada itu adalah setan garang yang harus dibasmi. Anak sekolah diwajibkan untuk menonton dan meresensi film G30S—yang jelek—yang diproduksi oleh pemerintah, ketakutan ditanam sejak dini. Dan Orde Baru bertahan selama tiga dekade. Di rezim yang berdiri di atas tumpukan mayat jutaan orang itu, setiap diskusi atau kritik yang dianggap “mengganggu stabilitas nasional” adalah antek PKI.
Setiap petani dan buruh yang menyuarakan haknya telah terpapar ideologi komunis. Setiap mahasiswa yang turun ke jalan adalah keturunan PKI. Setiap kegiatan yang tidak elok di mata pemerintah adalah upaya kebangkitan PKI.
Setelah Orde Baru tumbang dan Reformasi bangkit dari reruntuhannya. Konflik identitas berkecamuk kembali. Peristiwa Bom Bali menciptakan musuh yang baru; Islam Teroris. Penggaungan musuh imajiner ini menyebabkan masyarakat luput dari musuh yang sebenarnya; pemerintah. Ketika pemerintah tidak hadir, segala upaya bejat dari aparatus negara bisa saja dimaklumi dengan dalih bahwa mereka bukanlah musuh. Musuh kita adalah antek asing, komunis, kaki-tangan imperialis, dan islam teroris. Begitu mudah bagi pemerintah untuk melempar tanggung jawab kepada sesuatu yang tidak ada.
Modal utama untuk menciptakan musuh yang kasat mata itu hanya satu; kekuasaan. Yang penguasa perlukan hanya menebar benih ketakutan. Beruntungnya Indonesia dan mungkin ratusan negara lainnya memiliki sumber daya ketakutan itu dari masa lalu. Kekuasaan selalu mendaur ulang mitos yang sama selama bertahun-tahun, mereka tidak menginginkan suatu kesalahan jadi yang hanya bisa mereka lakukan melempar kesalahan itu ke entitas yang sebetulnya tidak ada.
Kita ingat operasi yang dilakukan militer di tanah Papua, kita juga ingat bagaimana petinggi tentara menanggapinya. Mereka bilang bahwa para “pemberontak” di sana didanai oleh Australia untuk merdeka. Kenyataan ini tidak masuk akal. Orang Papua dicap sebagai pemberontak hanya karena mereka menginginkan sesuatu yang berbeda. Sebuah ironi juga terbentuk; pemerintah merasa bangga apabila dipuji oleh pihak asing, namun di satu sisi apabila negerinya bermasalah yang mereka salahkan adalah pihak asing. Pemerintah tidak punya malu.
Kita juga ingat Emmanuel Goldstein, sebuah tokoh fiksi dalam novel Orwell 1984. Goldstein diperkenalkan sebagai musuh bersama masyarakat dalam sesi dua-menit-kebencian. Awalnya, dia merupakan bagian penting dari partai yang dikendalikan oleh Bung Besar, kemudian dia berkhianat. Walaupun dirinya dijatuhi hukuman mati, dia berhasil kabur dan membentuk sebuah perkumpulan pemberontak. Seperti Bung Besar, Goldstein tidak eksis tubuh aslinya, dia hanya sebuah alat propaganda pemerintah yang digunakan partai untuk mengontrol emosi masyarakat. Fungsi Goldstein dalam masyarakat totaliter itu sebagai ancaman yang oleh partai digunakan untuk membatasi dan mencegah masyarakat dari pemberontakan. Winston, si tokoh utama di pertengahan cerita mendapat buku yang dikarang oleh Goldstein. Pada akhirnya dia tahu bahwa buku yang diciptakan Goldstein sama dengan Goldstein itu sendiri; diciptakan oleh wakil totaliter.
Dalam kesempatan muram itu terjadilah apa yang disebut “hegemoni” oleh Antonio Gramsci; kemampuan golongan yang dominan—penguasa—untuk meyakinkan golongan yang dikuasai, bahwa membangkang adalah nista. Sungguh malang apabila negeri tak nampak ada oposisi, tak nampak ada masyarakat yang berani, tak nampak adanya protes atau keluhan keras, maka itu berarti golongan yang berkuasa telah berhasil; berhasil melahirkan stabilitas semu dan masyarakat yang pengecut dan cepat puas. Pada penciptaan musuh imajiner ini, pemerintah secara ajaib tidak datang, hanya melihat kemudian menang; konflik horizontal tak perlu menurunkan beratus-ratus aparat keamanan.
“Revolusi, revolusi, tak bisa dipesan hari ini” tulis Goenawan Mohamad.
Penulis adalah mahasiswa semester 8
Editor Maria Al-Zahra | Ilustrator Nabil Ghozy