Lpmarena.com—Toko buku Warung Sastra menggelar acara Malam Buku untuk membedah novel “Dari Dalam Kubur” karya Soe Tjen Marching pada Senin (21/4). Novel ini mengangkat kisah tentang luka-luka sejarah bangsa Indonesia melalui sudut pandang personal dan lintas generasi. Dengan pendekatan fiksi sejarah, Soe Tjen menggambarkan dampak kekerasan politik masa lalu, terutama tragedi 1965 dan 1998.
Soe Tjen mengungkapkan bahwa novel ini lahir dari riset panjang yang telah ia mulai sejak lima dekade lalu. Riset itu mencakup wawancara dengan para korban kekerasan, baik penyintas langsung maupun keturunannya.
“Setelah berbincang dengan para korban, juga anak dan cucunya, saya melihat bahwa trauma tetap dirasakan hingga generasi ketiga. Meskipun mereka tidak memahami konflik, dampaknya tetap terasa,” jelas Soe Tjen.
Ia juga menyoroti bagaimana korban perempuan sering kali menutupi pengalaman kekerasannya. Menurutnya, korban tidak mau menceritakan pengalamannya karena takut dianggap bohong. Namun, melalui pertemuan berulang, akhirnya mereka berani membuka diri.
“Awalnya bilang dilecehkan, lalu mengaku diperkosa, dan akhirnya mengungkapkan diperkosa secara massal,” ungkapnya.
Selain itu, ketakutan korban untuk bersuara merupakan tanda otoritarianisme. Ia menyebut bahwa ketika sejarah tidak bisa diceritakan secara terbuka, maka sejarah yang diketahui masyarakat patut dipertanyakan. Oleh karena itu, ia memilih menuturkan sejarah lewat novel fiksi sejarah.
Terkait genosida 1965, Soe Tjen menyoroti ketidakpastian jumlah korban jiwa. Ia menyampaikan bahwa ada yang memperkirakan korban mencapai satu hingga tiga juta orang, namun tidak ada angka pasti. Ia mempertanyakan bagaimana mungkin nyawa manusia bisa dianggap begitu murah.
“Bayangkan ada anggota keluarga kita yang mati, lalu ada yang bilang ‘nggak penting, nggak usah dihitung’. Betapa marahnya kita,” tambahnya.
Ramayda Akmal, dosen Sastra Indonesia UGM, menjelaskan bahwa satu tokoh perempuan dalam novel dapat merepresentasikan luka bangsa lintas generasi. Pasalnya, tokoh tersebut mencerminkan 30 tahun sejarah Indonesia, dari masa kolonialisme hingga peristiwa genosida 1998.
Menurutnya, trauma kolektif merupakan hasil dari sistem yang menekan masyarakat, termasuk munculnya ketakutan terhadap hal-hal kecil yang berasosiasi dengan masa lalu. Ia mencontohkan seperti rasa takut untuk bersikap karena khawatir dicap sebagai pendukung komunisme.
“Ini bukti bahwa trauma bisa diwariskan hingga generasi kedua, ketiga, bahkan selanjutnya,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa trauma dapat dikenali melalui karya sastra, terutama ketika sejarah disampaikan secara tidak konsisten. Kesulitan dalam menulis dan perubahan gaya sastra setelah rezim tertentu disebutnya sebagai indikator trauma kolektif.
Senada dengan Ayda, Soe Tjen mengungkapkan bahwa trauma menjadi hambatan dalam menulis novel ini. Menurutnya, semakin trauma dilupakan dan dihindari, semakin kuat ia menghantui. Meski merasa telah pulih, selama trauma dipendam, dampaknya bisa muncul dalam berbagai bentuk.
“Semakin kita mau menghapus, semakin jelas trauma itu menghantui,” pungkas Soe Tjen.
Reporter: Fathia Fajrin Dewantara | Redaktur: Ridwan Maulana