Home BERITA Peringatan Hari Buruh Internasional di Yogyakarta: Tuntut Kenaikan Upah dan Perlindungan Kerja

Peringatan Hari Buruh Internasional di Yogyakarta: Tuntut Kenaikan Upah dan Perlindungan Kerja

by lpm_arena

Lpmarena.com–Peringatan Hari Buruh Internasional, Kamis (01/05), kembali menjadi panggung perlawanan bagi berbagai kelompok buruh di Yogyakarta. Salah satunya datang dari sektor pekerja media yang menyuarakan kondisi kerja tak menentu dan praktik perburuhan yang eksploitatif.

Kim, pengurus Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), mengungkapkan bahwa banyak pekerja media, terutama di Yogyakarta, tidak memiliki gaji tetap. Upah yang diberikan berdasarkan jumlah view konten , sementara tidak ada jaminan keselamatan kerja maupun fasilitas produksi yang layak.

“Kalau izin atau tidak mengerjakan konten karena sakit, maka tidak mendapat gaji sama sekali,” ujar Kim saat diwawancarai ARENA di pelataran Titik Nol Kilometer Yogyakarta.

Selain itu, menurutnya banyak media daring yang berbasis di kota-kota besar seperti Jakarta kerap merekrut pekerja dari daerah tanpa membuka cabang resmi. Proses perekrutan pun dilakukan secara serampangan, bahkan tanpa pelatihan yang memadai. Para pekerja dituntut memenuhi target konten yang tinggi, tetapi tidak mendapatkan upah layak.

Ia menilai, praktik semacam ini merupakan cara perusahaan untuk mengakali upah agar tetap rendah, namun tetap mendapatkan sebanyak mungkin konten. Akibatnya, banyak bermunculan berita-berita sampah di media online karena tekanan kerja yang begitu tinggi.

“Hubungan kerja menjadi kabur, tidak ada kejelasan tanggung jawab maupun perlindungan. Gaji pokok sesuai UMR harusnya jadi dasar, sementara sistem view konten bisa jadi bonus,” tambahnya.

Selain persoalan ekonomi, Kim juga menyoroti persoalan keselamatan dan kebebasan berekspresi pekerja media yang kian terancam. Praktik intimidasi seperti doxing, teror, hingga kekerasan terhadap jurnalis masih terjadi, apalagi di tengah situasi politik yang semakin represif.

“Risiko macam apa yang bisa kita ambil untuk menciptakan produk berita yang kritis?,” tegasnya.

Selain itu, Koordinator Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY, Irsyad Irawan, menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi pekerja media hari ini. Menurutnya, pekerja media kerap menghadapi berbagai bentuk kerentanan dalam menjalankan profesinya, seperti sistem outsourcing yang berdampak pada rendahnya upah serta minimnya jaminan keselamatan kerja.

Irsyad menilai bahwa kerentanan sistem kerja yang dialami oleh pekerja media tidak jauh berbeda dengan buruh di sektor lainnya. Hal itu disebabkan oleh undang-undang ketenagakerjaan yang belum berpihak sepenuhnya pada buruh.

“Masalah-masalah kehilangan pekerjaan dan lain sebagainya itu, menurut kami karena memang undang-undangnya yang kurang bagus,” ungkapnya.

Ia juga menyampaikan kekhawatirannya terhadap ketidakpastian hukum yang masih membayangi para pekerja hari ini. Salah satu contohnya adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja cacat secara formil dan materil. Namun, hingga kini, pemerintah belum menindaklanjuti putusan tersebut secara konkret.

Oleh karena itu, Irsyad menuntut kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU Naker) guna mewujudkan hubungan industrial yang lebih adil. Ia juga berharap revisi tersebut dapat memberikan perlindungan lebih bagi pekerja, khususnya pekerja media, agar tidak lagi menghadapi kerentanan dalam menjalankan profesinya.

“Pemerintah seharusnya segera membentuk klaster ketenagakerjaan dan memperbaiki UU Cipta Kerja. Tapi sekarang belum ada langkah apa-apa,” pungkasnya.

Reporter Dzikria Al-Haq | Redaktur Ridwan Maulana