Pendidikan hari ini rasanya hanya sebuah formalitas belaka—yang penting ada. Formalitas tersebut ditunjukkan oleh Kementerian Pendidikan yang hanya sibuk dengan urusan pergantian kurikulum atau bahkan nama kementeriannya sendiri. Sejak 1947 hingga 2022, tercatat sudah sepuluh kali perubahan kurikulum terjadi. Setiap menteri membawa ambisi akan “terobosan baru”, namun sayangnya sering kali melupakan dua elemen inti pendidikan: pengajar dan peserta didik. Guru dan murid dipaksa beradaptasi dengan berbagai kebijakan yang berubah-ubah, mulai dari kewajiban membawa ideologi Pancasila, pelajaran agama yang diwajibkan, sistem zonasi, penghapusan Ujian Nasional, perubahan sistem penjurusan, hingga Kurikulum Merdeka yang cenderung mencerminkan selera pribadi menteri dan kepentingan negara.
Formalitas semacam inilah yang membuat pendidikan terpinggirkan dari program prioritas nasional. Melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025, Prabowo menetapkan kebijakan efisiensi terhadap seluruh kementerian dan lembaga, termasuk sektor pendidikan. Anggaran Kemendikbudristek dipotong hingga Rp14,3 triliun dan Kemendikdasmen sebesar Rp7,27 triliun.
Tak lama setelah kebijakan itu diterbitkan, sejumlah kampus mulai melakukan berbagai bentuk penghematan. Fasilitas dikurangi, Unit Kegiatan Mahasiswa digabung, kuliah daring diterapkan bahkan untuk program berbasis praktik, ruang gerak mahasiswa dalam berkegiatan semakin dibatasi, dan lainnya.
Di balik efisiensi ini, pemerintah berhasil mengumpulkan dana hingga lebih dari Rp300 triliun. Namun di sisi lain, banyak orang tua siswa dan mahasiswa yang justru kehilangan pekerjaan. Ironisnya, biaya pendidikan kian membebani. Bahkan kampus yang mengklaim diri sebagai “Kampus Rakyat” pun tak luput dari kenaikan biaya. Pada tahun 2024, biaya kuliah naik hingga Rp500 ribu, sementara Uang Kuliah Tunggal (UKT) kini berada di kisaran Rp2,5 juta hingga Rp9 juta. Dibandingkan dengan UMR Yogyakarta yang hanya Rp2,2 juta, biaya tersebut jelas tidak terjangkau.
Tak hanya soal biaya, ruang aman untuk belajar pun tak pernah menjadi prioritas. Banyak Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di kampus hanya sebatas formalitas. Seperti kasus Bunga di Universitas Hasanuddin yang tidak ditangani dengan serius oleh pihak kampus, korban kekerasan seksual di Universitas Pendidikan Indonesia yang mendapat intimidasi dari kampus, Satgas PPKS Universitas Indonesia yang mengundurkan diri karena tidak mendapat perhatian dari kampus, dan kasus lainnya yang tidak selesai, bahkan tidak terungkap. Pelecehan atau kekerasan seksual merupakan fenomena gunung es yang seharusnya mendapat perhatian khusus. Sayangnya, penanganan kampus melalui satgas cenderung terhambat oleh tekanan birokrasi kampusnya sendiri.
Sementara itu, di tingkat pendidikan dasar hingga menengah, hampir tak terdengar keberadaan satgas serupa. Penanganan kasus kekerasan seksual di jenjang ini langsung dilimpahkan pada kepolisian. Padahal, keberadaan dan efektivitas satgas seharusnya menjadi perhatian utama Kementerian Pendidikan—jika memang kementerian itu benar-benar peduli, dan bukan sekadar menjalankan peran formalitas.
Barangkali, kita perlu kembali bertanya: pendidikan ini sebenarnya untuk siapa?
Jika pendidikan dimaksudkan untuk masyarakat Indonesia, seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 bahwa memberikan jaminan pendidikan merupakan kewajiban negara, maka kita patut bertanya: masyarakat yang seperti apa? Apakah masyarakat seperti Bahlil Lahadalia—yang membutuhkan legitimasi gelar dari kampus untuk menunjang jabatannya?
Tampaknya, pemerintah tak pernah memandang serius permasalahan pendidikan di Indonesia. Mereka tak peduli jika kampus menaikkan biaya UKT tanpa transparansi, abai terhadap pungutan liar yang marak, membiarkan guru beradaptasi dengan kurikulum baru tanpa dukungan pelatihan atau peningkatan kompetensi, tak peduli dengan beban ganda yang dialami dosen, dan tak peduli dengan orang tua siswa dan mahasiswa yang menjadi buruh di luar sana.
Penulis Redaksi | Editor Redaksi | Ilustrator Nabil Ghazy