Lpmarena.com – Dalam rangka memperingati Hari Bumi pada April lalu, Mahasiswa Pecinta Alam Sunan Kalijaga (Mapalaska) berkolaborasi dengan Dompet Dhuafa gelar kegiatan Jogja Njogo Jagad. Kegiatan ini berupa diskusi dan penanaman pohon di Tempel, Sleman pada Sabtu (03/05). Kegiatan ini diadakan karena krisis lingkungan yang semakin meluas dan dinilai telah mencapai tahap darurat.
“Sekarang itu terlalu menyepelekan alam, jadi kita tuh terlalu membuat alam itu sebagai objek, objek apapun, objek penelitian, objek kebutuhan sehari-hari dan sebagainya,” jelas Abdul Malik Lubis selaku pembicara dalam diskusi tersebut.
Malik menyoroti bahwa hubungan manusia dengan alam kini lebih seperti hubungan bisnis. Alam tidak lagi dipandang sebagai sumber kehidupan yang sakral, melainkan sebagai objek yang hanya digunakan untuk kepentingan ekonomi, tanpa memperhatikan dampak jangka panjangnya.
Kumailatunnida, ketua panitia acara ini mencontohkan krisis lingkungan seperti deforestasi, penumpukan sampah sampai perubahan iklim yang langsung kita rasakan hari ini. Maka, aksi penanaman pohon sebagai wujud terhadap pelestarian lingkungan. Tak hanya itu, kegiatan ini sebagai edukasi bagi peserta tentang pentingnya menjaga alam demi keberlanjutan kehidupan.
“Banyak kerusakan alam yang seolah dianggap biasa oleh sebagian orang. Kami sering turun ke lapangan dan melihat langsung bagaimana alam kita semakin terancam,” ungkapnya.
Kumailatunnida menilai pemerintah masih acuh tak acuh terhadap alam. “Apalagi di Jogja yang makin hari makin padat, alih fungsi lahan makin masif, pembangunan enggak terkontrol. Tapi sayangnya, kadang tuh kebijakan yang keluar malah makin merugikan lingkungan,” lanjutnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Malik. Menurutnya program-program lingkungan dari pemerintah terlalu birokratis dan tidak menyentuh akar masalah. Menurutnya, pemerintah cenderung melakukan formalitas dengan memberikan alat tanpa mendampingi masyarakat dalam menjaga keberlanjutan program.
“Sosialisasi ini kan gak bisa sekali untuk satu produk ke depan, itu kan gak bisa ya, harus tetap terus diberikan kepada masyarakat. Mungkin bisa diberikan contohnya juga kepada masyarakat dan seharusnya pemerintah juga bisa berkolaborasi dengan komunitas-komunitas yang ada di Jogja untuk menjadi akselerator,” ujar ketua Trash Ranger Yogyakarta tersebut.
Dalam diskusi tersebut dipaparkan krisis lingkungan tidak hanya disebabkan oleh faktor alam, tetapi juga sikap manusia. Shofa Qudus, ketua General Manager Program DMC Dompet Dhuafa, menjelaskan bahwa modernisasi yang tidak terkontrol dan birokrasi yang tidak mendukung keberlanjutan semakin memperburuk keadaan.
“Dulu hutan kita tahun 60-an bagaimana di Kalimantan itu hutan hujan dan sekarang kan sudah beda. Ada tambang segala macam,” papar Shofa.
Lebih lanjut, Shofa menyoroti ketidaktegasan negara dalam menangani masalah lingkungan. Menurutnya, Pasal 33 UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat, namun kenyataannya negara tidak menjalankan amanat tersebut secara optimal.
“Seharusnya secara ideal, tugas mereka kan jelas di undang-undang dasar, ya kan kekayaan alam, sumber daya, dikuasai negara dan demi kemakmuran, masalahnya saat ini kan enggak makmur. Kita jadi dilema kan,” tegas Shofa.
Acara ini diikuti oleh sekitar 130 peserta dari berbagai elemen, mulai dari kalangan mahasiswa, komunitas lingkungan, dan peserta umum lainnya yang turut hadir dan berpartisipasi aktif dalam rangkaian kegiatan. Kegiatan ini juga menjadi ruang temu lintas kelompok untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam upaya pelestarian alam.
Catatan Redaksi: Berita ini dikoreksi pada 05 Maret pukul 18.17 WIB. Sebelumnya Malik tertulis tanpa keterangan. Seharusnya Abdul Malik Lubis selaku pembicara dan ketua Trash Ranger Yogyakarta
Reporter Khirza Zubadil | Redaktur Maria Al-Zahra | Foto Dokumentasi Dompet Dhuafa Volunteer