Home BERITA Studi Pentas XXIV Teater Eska, Soroti Tuduhan yang Tak Berdasar

Studi Pentas XXIV Teater Eska, Soroti Tuduhan yang Tak Berdasar

by lpm_arena

Lpmarena.com– Teater Eska menggelar Studi Pentas dengan judul “Senja dengan Dua Kelelawar”, karya Kirdjomulyo. Pentas digelar di Gelanggang Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, pada Kamis (22/05). Cerita pada pentas kali ini berlatar di Yogyakarta, tepatnya di perkampungan pinggir stasiun kereta api. 

Menceritakan kisah Suwarto, yang ditinggal mati oleh istrinya, Marsiwi, setelah dua minggu pernikahan. Tetapi, kematian Marsiwi menyisakan kejanggalan bagi Suwarto, ia mulai mempertanyakan siapa dalang dari kematian istrinya. Banyak tuduhan dilayangkan pada Ismiyati, yang masih mengharapkan cinta dari Suwarto.

Wildan, sebagai sutradara, menjelaskan bagaimana hari ini, orang dengan mudah melayangkan tuduhan tak berdasar kepada orang lain. Terlebih di media sosial yang begitu luas, semuanya abu-abu, sehingga susah membedakan mana yang benar dan tidak. 

“Kalau di pentas ini kita tertarik di masalah tuduhan-tuduhan yang tak berdasar. Apalagi di sosial media tuduhan makin kesana kemari,” jelas Wildan.

Bukan hanya itu, lanjut Wildan, pentas kali ini juga menyoroti kondisi seseorang yang menjadi korban tuduhan tak berdasar. 

Hal itu digambarkan melalui tokoh Ismiyati, yang mendapat tuduhan telah menjadi dalang atas kematian Marsiwi oleh warga kampungnya sendiri. Tuduhan tersebut hanya berdasar prasangka warga kampung yang mengetahui bahwa Ismiyati cemburu melihat pernikahan Suwarto dan Marsiwi. Dari tuduhan dan tekanan yang ada, akhirnya Ismiyati mengaku telah membunuh Marsiwi, meskipun sebenarnya ia tidak membunuhnya.

Mangkok, mahasiswa UIN Saifuddin Zuhri, menyatakan bahwa dirinya datang dari Purwokerto untuk melihat pentas Teater Eska. Ia menyoroti latar perkampungan pinggir rel kereta yang memiliki daya tarik pada pentas kali ini. Selain itu, pembawaan tokoh bapak Ismiyati yang suka bernyanyi tapi selalu berputar-putar, menancap di pikirannya.

“Karena Eska kalo pentas selalu keren dan beda dari yang lain. Latar kereta, itu yang buat Eska beda dari yang lainnya,” katanya.

Selanjutnya, Wildan menerangkan aliran yang dipakai pada pentas ini adalah realisme, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang memakai aliran surealisme. Hal tersebut dilakukan untuk memperkenalkan kepada calon anggota Teater Eska, tentang bagaimana pentas realis dan proses pembuatannya.

“Studi Pentas itu menyesuaikan kapan Teater Eska open recruitment. Jadi, Goals kita dalam Studi Pentas memperkenalkan bagaimana cara kerja teater pada calon anggota, biar kedepannya mereka sudah tahu cara kerja teater kayak gimana,” jelas Wildan.

Selain itu, Wildan juga menjelaskan dalam pentas ini anggota lama hanya sebagai fasilitator, juga sebagai teman berproses jikalau mendapati kesulitan dalam proses menuju Studi Pentas. Sedangkan pimpinan produksi, sutradara, dan asisten sutradara masih diurus oleh anggota lama.

“Jadi kita mencoba mengkolektifkan mereka agar mereka tahu cara kerjanya, plot-plotnya, gimana dari sisi artistik maupun produksi. Biar setelah itu mereka bisa eksplor sendiri bagaimana cara kerja teaternya,” jelasnya.

Proses pembuatan yang melibatkan banyak orang baru dengan pikiran baru, memiliki ketertarikan tersendiri bagi Wildan. “Mereka punya pemikiran yang berbeda-beda, jadi itu sebuah hal yang menarik ketika membuat mereka akhirnya bisa menjadi satu pikiran dan menjadi konsen dalam pentas,” imbuh Wildan.  

Geri Septian, sebagai penonton, ia menyoroti scene dimana Suwarto sedang berdebat hebat dengan Ismiyati atas pengakuannya menjadi dalang kematian Marsiwi. Namun, Siswo datang melihat mereka kemudian berlari untuk memanggil warga, sehingga mengalihkan fokus penonton. 

Scene mendebarkan yang seharusnya mencapai klimaks pentas, tak sampai puncak. Sehingga penonton juga menjadi kebingungan, emosi apa yang harus dibawa,” pungkas Geri.

Reporter Aqeela Jangkar | Redaktur Niswatin Hilma