Lpmarena.com— Srikandi UIN Sunan Kalijaga mengadakan talkshow bertajuk “Prahara Vasektomi: Stigma Gender, Agama, dan Politik Otonomi Tubuh” di Kafe Leha-Leha, Senin (2/5). Acara ini menyoroti relasi kuasa dalam kebijakan vasektomi serta bagaimana tubuh dikontrol oleh tafsir agama, negara, dan budaya patriarki.
Diskusi ini memperlihatkan bagaimana isu pengendalian tubuh tidak hanya menyasar perempuan, tetapi juga menantang dominasi laki-laki dalam struktur sosial keagamaan. Vasektomi menjadi pemicu munculnya kembali perdebatan lama yang memuat tafsir dominan atas tubuh dan otoritas.
“Padahal, pembahasan mengenai hukum vasektomi sudah diselesaikan oleh otoritas agama. Tapi sekarang narasi-narasi lama kembali dimunculkan untuk memperkuat otoritas itu,” ujar Nafisatul Muawiyah, dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga.
Nafisa menjelaskan bahwa dalam tradisi keilmuan Islam, laki-laki kerap diposisikan sebagai subjek hukum, sementara perempuan menjadi objek. Isu-isu seputar kehormatan dan rumah tangga lebih sering diarahkan kepada perempuan sebagai pihak yang harus menjaga.
Ketimpangan ini juga tampak dalam kebijakan Keluarga Berencana (KB) yang lebih banyak menyasar tubuh perempuan. Ketika giliran tubuh laki-laki yang dibahas, responsnya cenderung lebih reaktif dan defensif.
“Bayangkan, program KB selama ini menyasar perempuan. Laki-laki biasa saja, tidak melakukan perlawanan. Tapi ketika tubuh laki-laki yang disasar, responsnya berbeda,” jelas Nafisa.
Menurutnya, kehadiran wacana vasektomi berpotensi mengancam dominasi maskulinitas yang telah lama dilanggengkan. Isu ini bukan semata soal teknis medis, tetapi menyangkut persoalan siapa yang berhak mengontrol tubuh dan reproduksi.
Dalam situasi ini, laki-laki juga mulai dikontrol agar ikut bertanggung jawab. Namun, tafsir agama yang cenderung bias digunakan untuk mempertahankan posisi dominan tersebut.
“Jadi kalau menurut saya, dalil-dalil keharaman vasektomi yang muncul sekarang itu adalah bentuk mereka mempertahankan dominasi,” paparnya.
Senada dengan itu, Puspita Wijayanti, mantan dokter spesialis yang kini aktif sebagai aktivis gender, juga menyoroti ketimpangan partisipasi antara laki-laki dan perempuan dalam isu pengendalian reproduksi. Menurutnya, tanggung jawab ini selama ini tidak dibagi secara setara.
Ia juga menilai bahwa stigma di masyarakat telah membentuk pandangan bahwa kendali reproduksi adalah urusan perempuan semata. Padahal, seharusnya tanggung jawab ini menjadi ruang bersama antara laki-laki dan perempuan.
“Jangan-jangan masalahnya bukan pada pilihan pribadi. Jangan-jangan memang stigma di masyarakat yang menyuruh perempuan bertanggung jawab atas kendali reproduksi,” ujar Puspita.
Puspita menjelaskan bahwa dari sisi medis, vasektomi justru lebih aman dan minim risiko dibanding metode KB yang umum digunakan perempuan. Ia menekankan bahwa laki-laki tidak mengalami dampak kesehatan jangka panjang dari prosedur ini.
Berbeda dengan tubuh perempuan yang sering mengalami gangguan akibat alat kontrasepsi hormonal, vasektomi hanya menghentikan aliran sperma tanpa mengganggu fungsi seksual.
“Vasektomi tidak memengaruhi tubuh laki-laki. Tidak memengaruhi fungsi seksual, tidak menyebabkan impotensi. Hanya menghentikan aliran sperma,” tambahnya.
Menurut Puspita, tubuh merupakan locus kuasa yang sering diatur oleh norma, negara, dan agama. Dalam sistem patriarkis, tubuh perempuan cenderung dikontrol sejak kecil hingga dewasa, bahkan setelah menikah.
Dalam konteks itu, vasektomi menjadi lebih dari sekadar prosedur medis. Ia menjadi simbol keberanian untuk mengkritik sistem dan membagi ulang tanggung jawab reproduksi secara adil.
“Vasektomi itu bukan soal alat, vasektomi adalah soal keberanian untuk mengoreksi sistem. Selama ini tanggung jawab hanya dibebankan kepada perempuan. Sekarang, mari kita bicarakan hal tersebut bersama,” pungkasnya.
Reporter Ilham Khairun | Redaktur Ridwan Maulana