Lpmarena.com–Dunia berubah, begitu pula pola konsumsi. Koran cetak, yang dahulu menjadi sumber informasi, kini perlahan ditinggalkan dan beralih pada media daring. Dapat terhitung jari perusahaan yang masih mempertahankan produk cetak. Selain memang pelanggan, pasokan iklan, serta biaya produksi yang kurang efisien dibanding daring pun menjadi masalahnya. Meski begitu, beberapa orang masih menggunakan koran sebagai sumber informasi, dan beberapa orang pula mengais rezeki dari distribusi koran ke tangan-tangan pembaca.
Perempuan itu bernama Paidi. Ia loper koran yang biasa berjualan di lampu merah Timoho, sepelemparan dari kampus Akademi Pembangunan Masyarakat Desa (APMD ). Dengan rompi biru dongker yang memudar sebagai andalan dan masker hitam untuk menutupi mulutnya, berikut sandal jepit berwarna merah yang sudah kian aus itu, aku menemuinya.
Pada Sabtu (08/02), aku mengikuti sedikit adegan dari keseluruhan kehidupan Paidi di hari itu. Tatkala semua manusia barangkali masih sibuk dengan mimpinya alias tertidur, Paidi sudah bergegas semenjak jam 05.00 WIB dan setelah mengabdi pada Tuhannya, Paidi diantar oleh sang anak ke sebuah ruko di bilangan Ambarukmo Plaza, untuk menjemput tumpukan kertas yang menjadi sumber penghidupannya sehari-hari. Setelah rampung mengambil, ia pergi dan jajakan di lampu merah Timoho.
Trotoar satu setengah meter menjadi tempat ia memajang koran-koran jualannya. Kompas, Jawa Pos, Tribun Jogja, hingga Kedaulatan Rakyat (KR), berjejer rapi di atas spanduk putih bekas yang ia gunakan sebagai alas itu. Tidak hanya koran, namun beberapa majalah Bobo terlihat terpajang bersama koran-koran lainnya.
Selesai menata rapi koran-koran, ia ambil beberapa koran, menyampirkan di lengan kirinya dan mulai berdiri. Paidi memulai aksinya. Operasi menjajakan koran dimulai saat lampu lalu lintas mengisyaratkan warna merah. Ia mulai berjalan dari titik depan lampu lalu lintas hingga ke ujung trotoar depan warung makan dekat Gedung Pertemuan Ganesha APMD.
Paidi menjual, dengan harga yang paling murah, Rp2.000 sampai Rp12.000 per korannya. Sistem loper koran saat ini mengharuskan sang loper untuk mengeluarkan modal dari kantongnya sendiri, tidak bisa titip (modal ditanggung pengepul, loper hanya menjajakkan) seperti tahun-tahun lampau. Hal tersebut membuat Paidi mau tak mau menjajakan korannya hingga pada kertas terakhir.
Namun, nasib tidak selamanya menguntungkan. Adakalanya Paidi harus menanggung resiko, menanggung rugi sisa koran yang tidak habis dilirik oleh pembeli. Koran-koran sisa, akan ia kumpulkan dan akan ia rongsokkan pada penghujung bulan.
“Sebulan biasanya sisa sekilo setengah sampe dua kiloan. Sekilonya sepuluh ribu. Biasanya ada yang ngambil ke rumah,” terang Paidi ketika kutanyai.
Beban modal itu bermula dari kebijakan perusahaan cetak yang mewajibkan para pengepul membeli lebih dulu tumpukan koran yang entah laku, entah tidak. “Ada yang bisa diretur, ada juga yang cuma laku dijual kiloan. Kayak (koran) KR, itu bisa diretur, tapi yang balik cuma sepuluh persen,” tutur Muhidin, pengepul koran dekat Amplaz yang menjadi tempat Paidi mengambil dagangannya.
Jam menunjukkan 06.45. Empat koran sudah terjajakan. Selagi menunggu pelanggan yang menghampirinya, ia menyapu halaman rumah di samping lampu merah itu. Rumah itu, kata Paidi, milik mantan staf pakualaman yang sudah meninggal dunia dan sekarang, hanya dihuni oleh sang istri dan anaknya.
“Yang punya rumah itu baik, wong nek mau idul fitrigitu saya suka dikasih mukena, hampir setiap bulan dikasih seratus ribu. Kalau mau idul fitri, empat ratus ribu,” tutur Paidi, ketika ditanyai mengapa repot-repot menyapu halaman rumah yang tak berpenghuni.
Hari libur yang mungkin menurut kebanyakan orang adalah hari paling dinanti, tapi tidak untuk Paidi. Hari libur bikin sepi pelanggan, karena kebanyakan pelanggan adalah orang-orang yang melakukan aktivitas di pagi hari. Para pekerja berdasi, orang tua yang mengantarkan anaknya ke sekolah, hingga mahasiswa yang lalu-lalang menuju kampus. Merekalah yang menjadi alasan Paidi untuk pulang dengan senyuman.
Pukul 08.00, kendaraan mengular panjang, lampu merah Timoho memadat. Paidi menyusuri jalan yang masih sama—dari ujung hingga ke ujung—dengan beberapa koran pada tangannya yang terus berkurang. Bagi Paidi, selang waktu antara merah dan hijau adalah ladang pundi-pundi baginya. Paidi hanya berjalan dari ujung hingga ke ujung, menyisiri jalan, pantang bagi ia untuk berjalan di tengah-tengah kendaraan yang berhenti.
Paidi tidak banyak mengeluarkan suara. Ia berbicara melalui tangannya. Tangan kirinya memegang segepok koran yang menandakan “masih ada koran di sini,” dan tangan kanan membawa satu koran untuk ditawarkan.
“Jangan tawar-tawar, Nduk, nanti kalau butuh pasti manggil sendiri. Atauyang sudah hafal berhenti sendiri,” ingat Paidi padaku dalam bahasa Jawa ketika aku hendak berjalan di antara kendaraan yang berhenti dan menawarkan koran kepada para pengemudi.
Lampu beralih ke warna hijau, dan Paidi mendudukkan diri. Setelah menyusuri jalan dari ujung hingga ke ujung, Paidi duduk di atas batang pohon untuk mengambil jeda. Adakalanya ia mendudukkan di atas dingklik dapur yang ia tenteng dari rumah. Lampu berganti ke warna merah, lagi. Paidi kembali berdiri dan berjalan dari ujung hingga ujung, lagi, seperti tadi yang ia lakukan.
Hingga sekitar pukul 09.00, wajah yang familiar bagi Paidi datang menghampiri, wajah yang selalu membuat garis senyumnya terlihat jelas bagi siapa pun yang melihatnya, yaitu seorang mahasiswa yang selalu memborong dagangan Paidi. Mahasiswa itu selalu memborong koran-koran tipis yang Paidi jual, seperti KR, Tribun, dan beberapa koran Jawa Pos. Selembar uang berwarna biru selalu ia dapatkan dari mahasiswa itu.
Tidak hanya mahasiswa itu, salah satu Kyai pondok dari daerah Timoho juga sering membuat bungah Paidi. “Alhamdulillah nduk, satus ewu!” teriak Paidi kepadaku sembari menunjukkan selembar kertas merah yang ia bentangkan dengan kedua tangannya. Terkadang, rezeki datang pula dari penjual ayam sapen. Setiap Jumat, kata Paidi, ia memberikan sekitar 30 ribu kepadanya.
Sebagai tanda terima kasih, Paidi tak luput untuk merapalkan doa bagi sang pemberi maupun sang pembeli.
Paidi mengaku, ia tak pernah rugi selama menjual koran. Hal itu karena banyaknya pelanggan dengan sengaja tidak mengambil kembalian dan banyak orang baik yang membantunya, untuk menutupi modal setiap hari. Paidi merasa senang dengan berjualan koran daripada diam di rumah dan menunggu anaknya pulang kerja, itu membuatnya sumpek. Terlebih lagi melihat para tetangga yang mendapatkan bantuan sosial, sedangkan ia tidak, bikin ia akrab dengan kata tabah juga sabar.
“Yang punya rumah bertingkat aja dapat beras, aku yang nggak punya apa-apa, bahkan nggak dapat (beras) sekalipun. Bantuan nggak dapat, BPJS juga aku bayar sendiri setiap bulan 35 ribu,” ungkap Paidi kepadaku dengan nada sedikit kesal.
Reporter Aqeela Jangkar K. | Redaktur Selo Rasyd Suyudi | Ilustrator Nabil Ghazy