Oleh Hifzha Aulia Azka*
Pada 22 Juli 2022, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta bersama Leimena Institute menerima kedatangan delegasi American Jewish Institute (AJC), organisasi Yahudi-Amerika yang aktif membela hak Israel untuk berdaulat, dalam gelaran diskusi bertajuk “Interfaith Roundtable Discussion”. Rektor UIN Suka saat itu, Al Makin, menyambut hangat kedatangan organisasi pro-zionis itu dan melemparkan senyum kepada mereka. Dalam sambutannya, Al Makin menyampaikan bahwa Indonesia memiliki kemiripan dengan Amerika Serikat dalam hal keanekaragaman budaya dan agama. Sehingga, lanjutnya, UIN Sunan Kalijaga perlu “upaya dialog lintas agama dan kebudayaan dapat menjadi ajang kolaborasi hingga penjajakan kerja sama,” ungkapnya.
Ada 12 delegasi AJC yang berbondong-bondong datang ke ruang pertemuan lantai II gedung Prof. Saifuddin Zuhri, dua di antaranya adalah Ari Gordon, Direktur Hubungan Muslim-Yahudi AJC, dan Rabbi David Rosen, Direktur Urusan Luar Negeri AJC. Dengan cukup jelas, Gordon menyampaikan tujuan kedatangan organisasinya itu ke UIN Suka adalah untuk mengupayakan dialog dan kolaborasi dengan komunitas Islam. Di akhir acara, AJC, UIN Suka, dan Leimena Institute bersepakat untuk melanjutkan kerja sama dalam bidang lainnya, tidak terbatas pada bidang teologi dan dialog lintas agama.
AJC adalah organisasi culas yang gemar melakukan dehumanisasi rakyat Palestina dan secara dangkal menganggap Hamas sebagai kelompok teroris. Dilansir dari situs resmi AJC, mereka secara terang-terangan mengecam serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 dan mengatakan bahwa Hamas telah melakukan “pembantaian terburuk terhadap orang Yahudi sejak Holocaust”. Dengan begitu, mereka mulai meluaskan jaringannya dalam skala global dan berusaha membentuk opini publik terkait legalnya pendirian negara zionis Israel di wilayah Palestina. Lebih jauh lagi, dalam artikel berjudul 6 ‘Pro-Palestinian Protest Chants You’ve Heard – And How They’re Being Used to Target Jews, AJC menganggap bahwa seruan “Free Palestine!” yang bergema di seluruh dunia adalah seruan yang memiliki tujuan untuk melecehkan dan mengintimidasi orang Yahudi.
Salah satu upaya AJC mencari kawanan adalah dengan memperkuat koalisi antar umat beragama di seluruh dunia. Ada tiga agama yang menjadi prioritas utama AJC agar intens menjalin hubungan dengan organisasi mereka: Kristen, Hindu, dan Islam. AJC mengajak seluruh pemeluk agama di dunia ini untuk memerangi “antisemitisme” yang ditujukan kepada kelompok zionis.
Ketika berbicara mengenai antisemitisme, AJC merujuk dokumen International Holocaust Rembrance Alliace (IHRA) untuk menegaskan definisi sebenarnya dari antisemitisme. IHRA sekiranya mengusulkan 11 pengertian mengenai antisemitisme, salah satunya adalah: “menolak hak orang Yahudi untuk menentukan nasib sendiri”, sehingga penentangan terhadap pembentukan negara Israel adalah salah satu bentuk kampanye antisemitsme kepada umat Yahudi. Tapi, fakta yang kita tahu adalah Israel bersemangat melakukan pembersihan etnis terhadap rakyat Palestina yang berlangsung selama puluhan tahun. Tujuannya tentu saja hendak mendirikan sebuah negara di atas wilayah Palestina. Israel sedang melakukan penjajahan dan mereka mencari pembenaran atas aksi-aksi keji mereka menggunakan doktrin antisemitisme.
International Court Justice (ICJ) menyatakan bahwa pendudukan Israel di wilayah Palestina merupakan tindakan ilegal dan ICJ menyerukan agar aktivitas tersebut segera dihentikan. Nawaf Salam, presiden ICJ, mengatakan bahwa aktivitas pemukiman Israel di wilayah-wilayah Palestina melanggar hukum Internasional. Mengapa? Israel telah berusaha melakukan aneksasi de facto yang melanggar hak-hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri. Meski begitu, genosida di Palestina tetap terjadi dan hari demi hari jumlah korban jiwa semakin bertambah. Israel mendapatkan impunitas yang berlebihan dalam kancah politik Internasional.
Apakah UIN Sunan Kalijaga hendak tampil sebagai pihak yang menormalisasi genosida dan setengah hati menyerukan pembebasan Palestina dari gempuran zionis?
Dialog Antaragama untuk Siapa?
Di Indonesia, AJC menggandeng Leimena Institute, sebuah LSM yang gencar menyuarakan nilai-nilai pluralisme. Bentuk nyata kerja sama antar dua organisasi ini adalah merancang sebuah webinar internasional yang membahas topik-topik Yahudi. Kementerian Agama Indonesia turut mengambil andil dalam terselenggaranya webinar ini. Selain itu, dalam setahun terakhir, AJC dan Leimena Institute mengadakan kelas “Pengantar Yudaisme” bagi para guru agama di Indonesia. Kelas ini merupakan bagian dari program Cross Cultural Religius Literacy (CCRL).
Leimena Institute telah bermitra dengan berbagai organisasi, yayasan dan kampus di seluruh Indonesia, salah satunya UIN Sunan Kalijaga. Program unggulan mereka adalah Literasi Keagamaan Lintas Budaya (LKLB), sebuah program yang bertujuan untuk menguatkan sinergitas antaragama. Leimena menyediakan pelatihan bagi penyuluh dan guru agama untuk mendalami wacana LKLB ini. Dalam situs resmi mereka, tercatat nama dosen UIN Suka seperti Fahruddin Faiz, Al Makin, dan Amin Abdullah sebagai narasumber yang pernah menyampaikan materi perihal LKLB.
Pertemuan antara AJC, Leimena Institute, dan UIN Suka pada 2022 silam merupakan agenda tindak lanjut dari program LKLB yang telah dilaksanakan sebulan sebelumnya. Mengapa AJC begitu senang melakukan kegiatan dialog antaragama? Pertanyaan ini akan terjawab dengan benderang jika kita menyimak tanggapan Zuhair Al Shun, Duta Besar Palestina untuk Indonesia, ketika mengetahui Yahya Cholil Staquf memenuhi undangan AJC untuk menyampaikan kuliah umum The Israel Council on Foreign Relations pada tahun 2018.
Menurut Zuhair, peristiwa lawatan Yahya ke Israel merupakan salah satu bagian dari kampanye zionis untuk menunjukkan wajah beradab kepada dunia karena telah mempromosikan narasi perdamaian dan menyelenggarakan dialog antaragama. Tak hanya Kedutaan Besar Palestina untuk Indonesia saja yang mengecam laku busuk Yahya, Kementerian Luar Negeri Palestina pun menyatakan bahwa negaranya begitu kecewa dengan “peristiwa Staquf” itu, padahal pemerintah Indonesia sejak lama berkomitmen mendukung kemerdekaan Palestina.
Misi zionis untuk terlihat beradab di hadapan dunia lewat agenda dialog antaragama bukanlah sesuatu yang baru. Hal ini pernah dilakukan juga oleh kolonial Eropa pada abad 19 dan 20. Saat itu, seperti dijelaskan oleh Lailatul Fitriah dalam artikelnya Paradigma Dekolonial dan Dialog Antaragama, kaum kulit putih Eropa sedang berupaya mengadakan konferensi perbandingan antaragama yang didasari oleh ambisi akademis, teologis, dan kolonial. Ketiga ambisi itu pada intinya ingin menunjukkan bahwa agama Kristen merupakan agama paling maju dan universal. Konferensi yang mendudukkan agama-agama non-kristiani lainnya, menurut Lailatul, tidak memandang agama-agama non-kristiani sebagai subjek yang sejajar, tapi sebagai objek yang perlu diteliti menurut kacamata imperial Eropa.
Akibatnya, kedatangan delegasi agama-agama non-kristiani di konferensi perbandingan agama-agama itu seperti meneguhkan bahwa tradisi Kristen Eropa adalah tradisi yang agung dan juga membenarkan penjajah Eropa merupakan pihak yang mendorong perdamaian, dibuktikan dengan suksesnya misi penyatuan antar kelompok yang berbeda. Padahal, lanjut Lailatul, misi perdamaian itu sebetulnya hanya memuaskan keinginan imperial, atau dengan kata lain, perdamaian yang disemarakkan semu semata.
Kemudian, Lailatul mengkritik keras kunjungan para agamawan Indonesia ke Israel untuk melobi negara jahanam itu agar bisa menghentikan kekejaman yang berlangsung berpuluh-puluh tahun di tanah Palestina. Menurutnya, kunjungan itu sama sekali tidak bermakna, kecuali hanya akan memberikan keuntungan secara simbolik bagi Israel. Suksesnya kampanye kolonialisme ditandai dengan sikap afirmasi dari pihak terjajah, atau pihak dari negara pascakolonialisme, terhadap serangkaian praktik kolonialisme mereka. Di sisi lain, para agamawan itu merasa bangga karena telah mengupayakan lobi langsung dengan penjajah. Dalam kesimpulannya, Lailatul menganggap dialog antara Israel dan para agamawan adalah dialog antar kuasa, bukan dialog antaragama. Dialog antaragama sesungguhnya harus berdasarkan konflik.
Mengapa harus berdasarkan konflik? Dialog antaragama seharusnya menjadi agenda untuk menuntut, memprotes, dan menggugat segala macam praktik kolonialisme yang masih eksis di dunia ini. Dialog antaragama tidak boleh terlepas dari realitas yang timpang dan kaum beragama harus bersuara paling lantang mengutuk ketimpangan. Peristiwa kemah para mahasiswa di berbagai kampus di Amerika untuk menentang kekejian Israel menjadi contoh terbaik dari dialog antaragama yang berdasarkan konflik. Saat terselenggaranya aksi demonstrasi itu, seluruh umat beragama berkumpul, dan tentu saja timbul obrolan di antara mereka, untuk bersama-sama membenci zionisme, mengkritisi kebijakan Amerika Serikat yang secara langsung menyuntik dana kepada Israel untuk melakukan genosida, dan mereka saling melindungi satu sama lain dari brutalitas kepolisian yang hendak membubarkan aksi mereka.
Setelah mengetahui UIN Sunan Kalijaga merangkul organisasi zionis AJC atas nama “toleransi beragama”, saya meragukan komitmen kemanusiaan UIN Suka ketika menyikapi genosida di Palestina. Poster-poster yang diolah oleh AI di perpustakaan UIN Suka tidak memiliki makna apa pun, semua terasa hambar. Selain itu, saya menemukan satu dosen yang meragukan praktik kolonialisme Israel atas Palestina. Ia bertanya dengan tersenyum, “memangnya benar Israel itu penjajah?” Jujur saja, saya prihatin sekaligus jijik.
Mungkin, sudah sepatutnya mahasiswa UIN Sunan Kalijaga menyelenggarakan kemah di kampus yang sudah tercemar polusi zionisme ini. Kita ajarkan kepada mereka tentang bahaya laten zionisme dan akan lebih asyik jika kita sama-sama menggetok kepala para elit kampus yang tangannya tercium bau busuk zionis. Zionis tidak layak hidup di dunia ini. Kemerdekaan Palestina adalah sebuah kepastian. Dan bagi siapa pun yang masih menaruh simpati terhadap ideologi zionisme, atau bahkan lebih jauh mengajak foto, memeluk, dan terlihat bahagia ketika bertemu zionis, kalian adalah sejahat-jahatnya makhluk. Kalian sama kejamnya dengan tentara IOF yang membakar rumah sakit, sekolah, dan pemukiman rakyat Palestina. Kalian tak sekali pun merasa ngeri ketika melihat kepala bayi terpenggal, seorang anak terjebak di reruntuhan bangunan, dan jutaan rakyat lainnya hangus terbakar setelah terkena rudal. Akhirul kalam, from the river to the sea, Palestine will be free. Free Palestine.
Zionis yang baik adalah zionis yang mati.
*Masih Mahasiswa. Suka menulis. Lebih banyak membaca. Terkadang nonton film. Sering mendengarkan musik. Selamanya anti-zionisme.
Editor Ghulam Ribath | Ilustrasi Siti Hajar Fauzia