Lpmarena.com– Ratusan mahasiswa dan masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Jogja Memanggil menggelar aksi damai di Bundaran UGM, Senin (01/09). Aksi ini menjadi ruang untuk melayangkan berbagai tuntutan, termasuk penyandang disabilitas yang segala haknya belum terpenuhi.
Flo, salah satu massa aksi difabel, mengungkapkan bahwa hak disabilitas kerap diabaikan oleh pemerintah, terutama dalam menjangkau fasilitas umum dan pendidikan. Menurutnya, kurikulum di Sekolah Luar Biasa (SLB) justru memperlebar jurang ketidaksetaraan dengan sekolah umum lainnya.
“Hak teman-teman difabel harusnya bisa mendapatkan akses pendidikan yang layak dan setara. Jadi enggak ditinggalkan,” paparnya saat di wawancarai ARENA.
Senada dengan itu, Ika Ayu, direktur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Samsara, menyebut kondisi penyandang disabilitas semakin lama semakin memprihatinkan. Hal itu disebabkan karena pemerintah selalu abai dalam memperhatikan hak-hak disabilitas. Sehingga nasib difabel kurang diperhatikan.
“Melihatnya sangat disayangkan dan memprihatinkan. Karena seharusnya difabel punya hak yang sama,” ujarnya.
Ika juga menjelaskan, minimnya anggaran selalu dijadikan tameng alasan pemerintah untuk menutup akses bagi disabilitas. Tetapi ironinya, di saat yang sama pemerintah justru dengan mudah menggelontorkan dana untuk menaikkan tunjangan DPR ataupun membeli peralatan perang untuk TNI dan Polri.
Padahal menurutnya, permasalahan utama difabel bukan persoalan teknis semata, melainkan harus dibenahi secara serius. Karena sejak lama, akses pendidikan, pekerjaan, maupun layanan kesehatan tidak pernah berdiri di titik yang setara. Sehingga, ketimpangan itu terus menumpuk dan penyandang disabilitas semakin terpinggirkan dari ruang publik.
“Kesempatan yang sama tidak diberikan, akses pendidikan minim, pekerjaan juga sulit. Kalau hulunya saja sudah timpang, bagian hilirnya otomatis bermasalah semua,” jelasnya.
Flo menambahkan, penyandang disabilitas terjebak dalam lingkaran diskriminasi struktural. Kesempatan kerja yang terbatas berujung pada ekonomi yang rapuh, akses kesehatan yang tidak ramah disabilitas memperburuk keadaan. Akhirnya, kehidupan penyandang disabilitas jauh dari kata layak.
“Misalkan teman-teman difabel itu bekerja, kan masih susah gitu ya. Kalau adapun gajinya minim,” ungkapnya.
Menurut Flo, perubahan hanya mungkin terjadi jika pemerintah berhenti menutup telinga dan mulai menempatkan difabel sebagai bagian dari masyarakat yang setara. Baginya, perjuangan difabel tidak boleh dipandang sebagai urusan belas kasih, melainkan soal hak dan perubahan sistem. Maka, Ia mendesak pemerintah untuk benar-benar mendengarkan aspirasi difabel.
Lebih jauh, Ika melihat ketimpangan antara rakyat dan pemerintah kian jelas. Rakyat, terutama difabel harus bertahan hidup dengan diskriminasi struktural dan upah murah. Sementara pemerintah dan anggota DPR menerima tunjangan hingga puluhan juta.
“Kalian duduk di sana itu siapa yang memilih siapa? Kan rakyat yang milih. Harusnya bisa menyediakan semua fasilitas, terutama untuk difabel,” pungkasnya.
Reporter Khirza Zubadil | Redaktur Ridwan Maulana