Home BERITA Hari Tani Nasional: Warga Kampung Laut Lawan Perampasan Tanah oleh Lapas Nusakambangan

Hari Tani Nasional: Warga Kampung Laut Lawan Perampasan Tanah oleh Lapas Nusakambangan

by lpm_arena

Lpmarena.com— Dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional, puluhan warga Kampung Laut menggelar aksi di depan Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Cilacap, Rabu (24/09). Pada aksi tersebut, mereka mendesak pemerintah menghentikan klaim sepihak Lapas Nusakambangan yang dituding telah merampas lahan warga di wilayah Gragalan, Klaces, dan Ujung Alang. 

Mardiem, salah satu warga Kampung Laut, menjelaskan bahwa tuntutan utama warga adalah penegasan kembali kepemilikan lahan yang sebelumnya sudah dipatok. Ia menekankan agar BPN segera menindaklanjuti  permasalahan sengketa tanah tersebut dengan segera menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) kepada warga.

“Dulu sudah pernah dikasih patok. Ini harus jadi SHM. Hak kita seharusnya milik kita,” tegas Mardiem saat diwawancara ARENA.

Menurut Mardiem, warga memang sudah lama mengelola dan menempati lahan tersebut, sehingga harus dijaga dan dipertahankan untuk diwariskan kepada generasi setelahnya. Namun, tiba-tiba muncul klaim sepihak dari pihak Lapas Nusakambangan  yang kemudian menyuruh warga untuk segera mengosongkan lahan tersebut.

Mengutip dari TribunNews.com sengketa ini bermula dari rencana pembukaan lahan food estate seluas 34,2 hektar yang dikerjakan oleh narapidana di atas lahan warga. Akibatnya, terdapat 32 kepala keluarga dengan sekitar 100 jiwa yang terancam kehilangan tempat tinggal dan sumber penghidupan.

“Mengelola tanah ini dari nenek moyang kita sejak dahulu. Kami nguri-nguri (menghidupkan) tanah leluhur ini ibarat leluhur kita masih ada. Bagaimana sakit hatinya mereka (leluhur, Red) ketika kita dikasih, disuruh jaga tanah tetapi engga kita jaga,” ujarnya.

Senada dengan itu, Yusworo, salah seorang warga sekaligus Ketua Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) Ujung Alang tahun 1988, menyatakan warga Kampung Laut sudah mendiami kawasan tersebut sejak era kolonial. Menurutnya, penentuan batas wilayah antara Nusakambangan dan tanah timbul di Ujung Alang (sekarang Gragalan) telah dilakukan melalui forum resmi yang dimediasi BPN Cilacap dan dihadiri berbagai unsur pemerintah. Hal ini menunjukkan keberadaan warga telah lama diakui secara sah oleh negara.

Menurut Yusworo, BPN harus segera menyelesaikan perkara ini dengan berpihak kepada rakyat. Pasalnya, rakyat banyak dirugikan akibat sengketa ini karena sering mendapatkan intimidasi dari pihak lapas yang menyebabkan ketakutan dan kemungkinan besar akan kehilangan lahannya.

“Saya termasuk salah satu pelaku pelaksanaan pembatasan antara Pulau Nusakambangan dan tanah timbul yang ada di Ujung Alang. Batasan itu ditentukan sekitar tahun 1988. Saya mewakili desa Ujung Alang, saat itu saya sebagai ketua LKMD,” tegas Yusworo dalam orasinya.

Wandi Nasution, perwakilan LBH Yogyakarta juga menjelaskan alih-alih mengadakan sosialisasi dan melibatkan warga, pihak lapas justru mengklaim lahan milik warga secara sepihak. Padahal lahan tersebut digunakan warga sebagai tempat pemukiman dan pertanian.

Wandi meminta kepada BPN untuk menghentikan penerbitan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) atau Hak Pakai yang mengarah pada perampasan hak warga negara yang sudah mengelola tanah tersebut sejak lama. Ia juga meminta kepada pemerintah supaya warga yang tinggal di sana tidak disingkirikan dari wilayahnya.

“Warga yang tinggal di sana itu sudah lama. Tapi semakin kesini, lapas berupaya untuk menguasai,” katanya.

Reporter Bahtiar Yusuf | Redaktur Ridwan Maulana