Home PROFIL Muttaqin Subroto: yang digerakkan Impian

Muttaqin Subroto: yang digerakkan Impian

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

mandiri dalam ekonomi sejak kecil

Siang itu, mendung nampak menyelimuti kota Yogyakarta. Setiap orang dibuat gelisah akan turunnya hujan. Namun tidak untuk Muttaqin Subroto, salah satu Pedagang Kaki Lima (PKL) di kampus UIN Sunan Kalijaga. Saat itu, di depan gerbang kampus timur telah berjejer penjual makanan dan minuman. Mulai dari es cincau, siomay, cireng hingga jamu kencur dan gula asem (gulas).

Broto, begitu panggilan akrabnya nampak terlihat sedang melayani pembelinya. Mahasiswa jurusan Aqidah Filsafat (AF) semester delapan ini, menjual jamu kencur dan gulas setiap harinya.

Ia sedikit berkumis. Orang sering menyebut kumisnya dengan sebutan “Kumis Lele”. Broto berperawakan kurus, hingga tulang kaki dan tangannya terlihat jelas. Meskipun begitu, ia terbilang sangat kuat. Terbukti, setiap hari ia mengayuh gerobaknya sejauh 14 kilometer untuk mengantarkan dagangannya ke juragannya. Hal ini ia lakukan demi menyambung hidup dan pendidikannya di UIN Suka.

Ia sering memakai baju yang serasi dengan warna kulitnya, coklat. Namun siang itu, ia memakai baju berwarna biru dengan lengan panjang bertuliskan pedagang kaki lima. Celananya berwarna coklat yang digulung sedikit ke atas. Ia juga memakai topi berwarna abu-abu pemberian temannya sesama PKL dari Universitas Gajah Mada (UGM).

Saat ditemui di tempat ia berjualan, Broto memakai sandal yang berbeda merk. Kaki sebelah kanannya, ia kenakan sandal bermerk New Era berwarna merah hijau yang tak lagi utuh bentuknya. Sedangkan di sebelah kirinya ia memakai sandal bermerk Swallow berwarna putih yang mulai terkelupas hingga terlihat warna hijau dasarnya. Lucu memang, namun hal ini yang menjadi daya tarik tersendiri baginya. Orang akan dibuat tersenyum karena kesederhanaannya.

Saat awal semester tujuh, orang tuanya menghentikan biaya kuliahnya. Jika biasanya ia diberi biaya tiap bulan sebesar Rp. 300 ribu, kini ia tak diberi uang sama sekali. Padahal, uang itu biasanya ia gunakan untuk hidup satu bulan. Baginya, itu sangat cukup.

Orang tuanya tak dapat memberi uang kiriman lagi kepadanya karena harus membiayai kedua adiknya. Adiknya yang pertama masih duduk di kelas 3 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), sedang adik satunya lagi duduk di kelas 2 Madrasah Tsanawiyah (MTs). Ia merupakan anak ke empat dari enam bersaudara.

Karena orang tuanya tak lagi bisa membiayai, akhirnya ia memilih menjadi penjual jamu. Baginya, berjualan bukan pilihannya tapi karena keadaannya. Bahkan jika ia sekarang boleh memilih, ia akan memilih fokus pada studinya.

Broto tak hanya belajar di kelas saja tapi ia juga ikut aktif mengadvokasi PKL. Maka tak heran, jika pembeli sedang sepi ia memilih membaca buku untuk terus memperkaya wacana.

Broto lahir di desa Karang Anyar, RT 01/RW 08, kecamatan Gandung, kabupaten Cilacap Jawa tengah. Ayahnya bernama Samirin (50) bekerja serabutan, mulai dari berjualan es gosrok dan es dawet keliling kampung, pembuat batu bata, membuka bengkel kecil-kecilan di pinggir jalan hingga pergi ke sawah. Sedangkan ibunya (40) membuka warung jajanan di depan SD. Broto lahir pada 1989, namun ia tak yakin kapan tepat hari lahirnya karena tak ada bukti tulis yang jelas.

Nek aku tesih disubsidi, aku ra jualan. Sebenere jatahe empat tahun kuliah bakal dibiayai, tapi iki durung empat tahun, adik-ku luwih butuh biaya, mulane subsidi dihentikan. Adik-ku kelas  tiga SMK lan dua MTS, wis keberatan mbiayai iki. Mbake dan Mase lagi masa sulit, meh melahirkan makane ra bisa mbantu” (Kalau aku masih disubsidi, aku tidak jualan. Sebenarnya jatahnya empat tahun kuliah masih dibiayai, tapi belum genap empat tahun, adik-ku lebih membutuhkan biaya, jadinya subsidi dihentikan. Adik-ku sudah kelas tiga SMK dan dua MTs, jadi orang tua sudah keberatan membiayai. Mbak dan mas sedang dalam masa sulit, mau melahirkan, jadi tidak bisa membantu) ungkap Broto.

Sebagai manusia biasa, Broto pernah mengalami masa-masa tak menerima atas kondisi yang ia alami. Terkadang, ia harus merasa sangat marah terhadap keadaan yang terlihat tidak adil. Wajar saja di usianya yang terbilang masih muda ini, ia harus membiasakan bekerja keras. Terbiasa untuk tegar dan mandiri ia jalani sejak SMP, hingga sekarang. Jika anak lainnya menggunakan kendaraan bermotor untuk sampai ke sekolah, ia harus mengayuh sepeda yang sederhana sejauh 4 Km.

Kisah ini berlanjut saat ia duduk di bangku SMA. Ia harus mengayuh sepeda sejauh 8 Km Pulang-pergi dari rumahnya. Tak jarang saat ia pulang, ia harus menahan lapar karena tak ada makanan di meja makan. Orang tua pun terkadang tidak menyiapkan makanan untuknya. Saat itu kemarahannya mulai memuncak. Ia pun mengalami perang batin.

Namun seiring berjalannya waktu, keadaan itulah yang mendidiknya untuk bekerja keras, dan tak menyerah pada keadaan apalagi sekedar untuk cengeng. Pada awalnya ia juga merasa dunia ini terasa tidak adil, dan akhirnya ia belajar menikmati dan mensyukuri atas apa yang Tuhan berikan kepadanya.

“Filsuf Jerman Karl Marx mengatakan, kesadaran bukan membentuk lingkungan, tetapi lingkungan yang membentuk kesadaran. Itulah yang mendidik saya, bukan keluarga saya” ungkap Broto.

Hingga saat ini tidak ada perasaan malu ataupun perasaan bangga, bahkan ia mengaku biasa saja. Pada awalnya ia juga mengaku berat memulai usaha dengan menjual jamu, namun tekad yang kuat membuatnya tak menyerah.

“Awal usaha ini ya berat, tiga minggu pertama rujine mengsol, ra iso di tumpaki soko Kricak sampai UIN, pulang pergi didorong kambi mlaku, 2 jam. Pernah pas malam-malam meh balik neng bos-e malah bane bocor neng dalan, trus neng bos-e di goleti dikirane ke sasar atau tabrakan, akhire nyampai umahe bose jam 20.00 malam, (Awal usaha ini ya memang berat. Tiga minggu pertama, jeruji bannya rusak, tak bisa dipakai. Dari Kricak sampai UIN pulang pergi mendorong sambil jalan selama dua jam. Pernah saat mau pulang ke juragannya, bannya malah bocor jam delapan malam-red),” kenang broto saat awal memulai usaha ini.

Setiap pagi ia berangkat sekitar pukul 08.00 dengan mengendarai sepedanya ke tempat juragannya. Ia berangkat dari kost ke arah Tugu kemudian belok ke kanan ke arah jalan Magelang. Ia berhenti tepat di plengkungan yang bertuliskan “Selamat Datang Kota Yogyakarta”. Ia kayuh sepeda kira-kira sejauh 7 Km. Jika jalanan lancar, ia dapat menempuh dalam waktu 30 menit. Namun saat jalan macet, ia harus menempuhnya selama 40 menit. Sepeda yang dibawa, ia titipkan di tempat juragannya.

Setiap hari Senin hingga Jum’at, ia berdagang di sekitar UIN (depan gerbang kampus timur). Saat mulai siang, ia pindah ke depan Gedung Multipurpose, di bawah pepohonan yang sedikit rindang. Saat Sabtu pagi, ia berjualan di UNY karena kampus UIN sepi. Setelah siang ia baru pindah ke UIN. Dan pada hari Minggu, ia berjualan di Pasar Sunday Morning (Sunmor) UGM. Ia harus berangkat pagi-pagi untuk berburu pembeli.

Setiap harinya ia pulang pukul 17.00. Namun saat hujan atau langit gelap datang, ia pulang lebih awal sekitar pukul 16.00. Saat hujan datang, keuntungannya tipis, hanya berkisar Rp. 10 ribu hingga Rp. 20 ribu. Namun saat musim panas, ia dapat mengantongi untung sebesar Rp. 40 ribu hingga Rp. 50 ribu/hari. Setiap hari ia menjual dua belas botol yang masing-masing berukuran satu liter tiap botolnya.

Jika jamunya masih banyak yang tersisa, ia akan membeli dan membagikannya kepada kawan-kawannya. Hal ini ia lakukan karena ia merasa kasihan kepada juragannya jika terlalu banyak yang tak laku.

Bosku apikan, nek esuk karo sore di wai wedang teh. Aku ya pernah di ajak maem. Nek digawe apik karo wong, ya pantas nek kita berbuat apik, (Juraganku baik, saat pagi dan sore, aku dikasih minuman teh. Aku juga pernah diajak makan. Kalau kita dibuat baik sama orang, ya pantasnya kita juga berbuat baik terhadapnya-red)” tutur broto dengan logat Ngapaknya yang khas.

Ia juga bercerita bahwa teman jualannya atau pedagang yang lainnya memiliki solidaritas yang tinggi. Terbukti saat ia ingin makan siomay, ia tak lagi membayar tinggal mengambil, begitupun sebaliknya. Selain itu, semenjak ia berjualan para pedagang yang di advokasinya pun semakin terbuka, karena ia juga merasakan bagaimana panas matahari, kehujanan bahkan saat barang dagangannya tak laku.

Di tengah keinginan untuk menggapai mimpinya yang tinggi, Broto memilih hidup penuh dengan kesederhanaan. Baginya tak ada yang tak mungkin. Dari mulai ia masuk kuliah hingga semester tujuh, ia hanya mempunyai celana empat buah, tiga berwarna hitam dan satu berwarna coklat. Bajunya pun hanya berjumlah tiga, namun berganti-ganti, ia juga sering diberi baju oleh kawan-kawannya. Menurutnya, berjualan jamu adalah ruang usaha untuk melanjutkan studinya hingga S2.

“Dodol jamu iki ruang untuk mengarah ke S2, percuma nek S1 Filsafat iki akan terlantar, jadine meh S2 Agama dan Filsafat. Berdagang itu juga batu loncatan untuk S2. Hari ini ga ada dana untuk S2. Aku arep membuktikan apakah S2 saya untuk cari ijazah atau bukan? (Berjualan jamu ini adalah ruang saya untuk melanjutkan S2, karena jika hanya S1 Filsafat akan terlantar, jadinya mau ambil S2 Agama dan Filsafat. Berdagang itu juga bisa menjadi batu loncatan untuk S2. Sekarang nggak ada dana untuk S2. Aku ingin membuktikan, apakah S2 ini untuk mencari ijazah atau bukan? -red),” ungkap Broto

Broto bercita-cita mencoba menghubungkan pendidikan dengan realitas untuk membangun kesadaran massa. Menurutnya, lewat pendidikan, ia akan lebih gampang untuk mengorganisir massa. Maka pilihannya adalah menjadi dosen. Sampai saat ini, ia tak hanya memperjuangkan orang lain. Ia juga membuktikan kalau dirinya memang hebat.

Ia tunjukkan semuanya di tengah kesibukannya berjualan dan meng-advokasi. Kuliahnya tak tertinggal, nilainya tetap tinggi. IPK-nya cukup baik yaitu 3.42. Untuk mendapat nilai sebaik itu, ia tak menafikan kebaikan beberapa dosen yang membolehkannya tak masuk kelas, namun menggantinya dengan diskusi bersama atau tugas lainnya. Selama kuliah, ia pernah meng-advokasi PKL UGM yaitu lembah bawah dan lembah atas, PKL Sardjito, Agro Barat dan Agro Timur, serta PKL di UIN.

Bagi Broto, ini semua terasa biasa saja. Ia sudah tidak kaget dengan apa yang ia lakukan sekarang. Selama SMA ia pernah menjalani berbagai profesi mulai dari buruh pertamina yang angkat tabung beratnya berkilo-kilo, kompor, regulator, buruh tani sampai menjadi guru les pelajaran dan menjadi asisten gurunya di sekolah. Ia mengaku, cara pandang hidup pun terkait dengan filsafat yang di pelajarinya. Baginya hidup adalah bagaimana mengisi sesuatu yang kosong.

“Pandanganku mengurip tidak ada yang dicari, kosong. Kita cuma mau mengisi hidup yang singkat ini dengan apa. Tidak ada kecemburuan, biasa aja. Tuhan itu adil, memberi masalah juga memberi solusi. Sing penting tua muda itu berkarya. Dulu cita-citaku ya ga muluk-muluk, kepengin dadi guru fisika, (Pandanganku, hidup itu akan kosong jika tidak ada yang dicari. Kita ingin mengisi hidup ini dengan apa. Tak ada kecemburuan bagiku, biasa saja. Tuhan itu adil, memberi masalah tapi juga memberi solusi. Yang penting tua muda tetap berkarya. Dulu, cita-cita-ku nggak terlalu tinggi, hanya ingin menjadi guru Fisika-red),” tuturnya saat duduk menunggu pembeli datang.

Ia juga mengamati situasi sekarang dimana mahasiswa cenderung mapan. Orang lebih suka update status Facebook dibandingkan dengan membaca buku. Hal ini menjadi salah satu fenomena yang menyudutkan kesadaran massa. Manusia kehilangan kesadaran, identitas, dan lebih payah lagi, ia bingung apa yang dicarinya.

Ia juga tidak menafikkan kondisi saat ini yang mudah mengakses apa saja, sehingga orang tak lagi suka bekerja. Padahal hakikat kerja adalah usaha pe-realisasi-an diri. “Kita ada karena kerja, saya juga gak merasa sendirian. Selain itu saya juga berterimakasih pada UIN dan kawan-kawan saya semua yang turut membentuk ke-aku-an ku,” katanya saat ia mulai beranjak melayani pembelinya.[Ulfatun Ni’mah]