“Jika kumati, akankah kau mengawetkanku dalam puisi?” (Nersalya Renata)
Lpmarena.com, Puisi tersebut adalah salah satu petikan puisi yang ada dalam buku Lima Gambar di Langit-langit Kamar karya Nersalya Renata. Sebanyak 55 puisi telah megawetkan Nersalya dalam hidup melalui tulisannya. Kumpulan puisi yang dibuat dari sejak tahun 2002-2013 ini merupakan hasil pengendapan Nersa akan hidup dan ingatannya.
Seperti yang disampaikan Nersa dalam peluncuran dan diskusi buku Lima Gambar di Langit-langit Kamar, Kamis (30/4), di pendopo LKiS Sorowajan, penyair asal Lampung ini mengatakan bahwa latar belakang menulis buku ini adalah ingatan.
“Apa yang kita bawa adalah ingatan. Puisi saya juga ingatan. Penyair bertitik tolak pada ingatan, karena semua orang punya ingatan. Tiba-tiba ingatan hadir di samping kita, mereka hadir dan minta dituliskan. Penyair memberi harga pada hal yang remeh temeh dan menyentuh,” ucapnya.
Puisi bagi Nersa diibaratkan seperti ada seseorang yang terus bicara dengan kita. Kita seperti spon yang selalu menyerap. Meski begitu, saat berbicara mengenai proses kreatifnya ia juga bercerita bukan tipe orang yang nulis spontan, ke laut nulis laut. “Saya perlu mengendap lama. Saya mengalami writer block, musuh kita dalam nulis adalah diri kita,” kata Nersa.
Penyair Hasta Indriyana, selaku pembedah buku berujar berhasil menemukan lima gambar yang ditulis Nersa dalam buku itu.
Pertama, gambar tentang kelamin. Banyak kata yang menjuput kelamin, tapi tidak vulgar. Ada yang disinggung secara halus, seperti yang tertuang dalam puisi Stetoskop Plastik yang dalam salah satu baitnya berbunyi: mengapa kelaminku tak sama dengan kelaminmu?
Kedua, tentang perempuan. Yang menarik menurut Hasta, Nersa tidak membahasakan tema itu secara heroik. Pilihan frasa yang digunakan serupa dekonstruksi yang perempuan itu disanjung, sekaligus dilemparkan. Seperti yang terlihat dalam puisi berjudul Rumah, bait awal berbunyi: ibu selalu menjadikan dirinya rumah bagi ayah/rumah yang sekelilingnya dipagari……../rumah yang dihancurkan untuk dibangun kembali.
“Ada disharmoni, perempuan yang bisa diubah-ubah. Harus mau dipagari, dipaku, diam, menyakitkan. Padahal bait pertama disanjung lalu dihempaskan begitu saja. Bahasa yang betul-betul dipertimbangkan,” kata Hasta.
Ketiga, tentang anak-anak. Sebuah sudut pandang yang kata Hasta dipakai Nersa untuk menulis puisinya. “Yang dia pakai sudut pandang anak-anak. Tidak banyak penulis yang berhasil memakai sudut pandang ini. Mbak Nersa sederhana tapi menghantam,” ujar Hasta.
Hal tersebut diamini oleh suami Nersa, Zen Hae yang turut hadir dalam diskusi buku. “Puisi Echa (Nersa-red) ada ketegangan antara dunia kanak-kanak dan perempuan dewasa,” kata penulis yang juga bergiat di komunitas Salihara Jakarta ini.
Keempat, tentang Tuhan. Beberapa puisi Nersa membicarakan sesuatu yang tak terjamah. Seperti di puisi paling awal berhudul Lingkaran baitnya: doa-doa/dosa-dosa/berputar seperti lingkaran air/apa kau tidak bosan. Selain Lingkaran, ada puisi lain yang bertema Tuhan seperti di judul Izrail, Surah, dan lain-lain yang bagi Hasta meninggalkan sekian makna yang panjang.
Kelima, tentang masa lalu yang ada di keluarganya. Masa lalu menjadi sumber ide. Suasananya seperti digambarkan menyenangkan, tetapi sekaligus terjadi disharmoni dan kekacauan. (Isma Swastiningrum)