Home - S.K. Trimurti dan Jurnalisme Berperspektif Gender

S.K. Trimurti dan Jurnalisme Berperspektif Gender

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com, Soerastri Karma Trimurti atau lebih akrab disebut S.K. Trimurti adalah tokoh pejuang perempuan Indonesia yang aktif memperjuangkan kebebasan pers. Ia ikut dalam gerakan aktivis maupun politik. Pejuang yang juga merupakan mantan istri dari Sayuti Melik tersebut melalui media massa memperjuangkan nasib para kaum perempuan di Indonesia.

Hal tersebut di sampaikan Dewi Candraningrum pemimpin redaksi Jurnal Perempuan dan aktivis perempuan dalam acara Diskusi Beranda Perempuan #4 dengan tema S.K. Trimurti dan Jurnalisme Masa Kini, Senin (31/08). Diskusi yang mengulas lebih dekat S.K. Trimurti tersebut bertempat di Ruang Student Center UNY yang juga menghadirkan jurnalis TEMPO Shinta Maharani yang juga menjabat sebagai koordinator divisi gender Aji Yogyakarta, dan Winna Wijayanti selaku perwakilan dari divisi diklat dan kaderisasi LPM Ekspresi UNY.

“Orangnya kecil, tapi sangat cerdas. Pers dan penjara begitu dekat. Masuk penjara pas ngandung anak pertama. Banyak buletin koran yang dibidani,” kata Dewi.

Beberapa kali S.K. Trimurti keluar masuk penjara karena menyebarkan pamflet anti-penjajah dan dianggap tulisan-tulisan di media massa membahayakan pemerintah kolonial. S.K. Trimurti juga merupakan Menteri Perburuhan yang menolak tinggal di rumah dinas.

Dewi juga menjelaskan bahwa S.K. Trimurti memiliki andil dalam berdirinya Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) yang kemudian berganti nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). “Kemunculan Gerwani diwarnai oleh gelombang feminisme,” tambah Dewi.

Dari peparan Shinta, S.K. Trimurti merupakan ikon tersendiri dalam melakukan aktivitas jurnalistik yang ini tak jauh dari perepektif gender. Menurut Shinta, menulis isu gender di media massa itu penting. Hal tersebut yang mengaitkan perjuangan SK Trimurti dengan jurnalisme masa kini. “Dengan menulis dapat memberikan suara dan tulisan bisa menjadi advokasi. Bisa mewakili mereka yang tak bersuara,” ujar Shinta yang merujuk “mereka” pada perempuan.

Sedangkan menurut Winna sendiri berkata perhatian pers mahasiswa khususnya dalam menulis berita dan opini mengenai gender masih kurang. “Perlu penanaman gender yang berkelanjutan,” ujarnya. (Alifah Amalia)

Editor: Isma Swastiningrum