Lpmarena.com, Lukisan berbau kritik, berani, bebas, dan penuh gairah menjadi gambaran singkat pameran tunggal seni rupa almarhum Wardi Bajang, seniman yang juga seorang aktivis masyarakat yang meninggal pada bulan November 2015 lalu. Pengunjung dapat menikmati karya seni sekaligus diajak untuk menjelajahi unek-unek Wardi Bajang. Pameran melukiskan kisah seorang aktivis yang bercokol pada kehidupan sosial di luar sana.
Pameran yang dibuka sejak tanggal 20-26 Februari 2016 ini merupakan bentuk realisasi keinginan Wardi Bajang oleh teman-temannya. Wardi berkeinginan untuk menggelar pameran tunggal keduanya di Bentara Budaya dengan matang. Namun dia berpulang ketika masih dalam prosesnya.
Tema Terima Kasih Tanpa Batas merupakan kata-kata yang sering terlontar dari Wardi Bajang, terutama di media sosialnya. Ungkapan tersebut sangat melekat bagi teman-teman yang menyelenggarakan pameran tersebut.
Petro Benny, seniman yang juga salah seorang teman Wardi Bajang mengaku ungkapan itu sangat medok atau melakat sekali pada seorang Wardi Bajang. Sehingga ketika dia beserta teman-temannya berembug, maka diputuskanlah kata-kata tersebut sebagai tema.
“Terima kasih tanpa batas sebenarnya itu bukan dari saya atau panitia. Sebenarnya itu kata-kata yang sering almarhum ucapkan di medsos,” ungkap Petro yang juga ketua panitia pameran ketika ditemui ARENA di Bentara Budaya Yogyakarta, Selasa (23/2).
Benny mengaku alasannya beserta teman-temannya memilih Terima Kasih Tanpa Batas sebagai tema adalah untuk menyampaikan aspirasi almarhum yang ingin berterima kasih kepada siapapun. Baik saudara, teman, bahkan Indonesia sendiri dari saat Wardi hidup sampai berpulang.
Menurut Cahaya Novan (28), teman Wardi sekaligus panitia, menjelaskan apa yang tersemat di dalam Terima Kasih Tanpa Batas adalah kita tidak memiliki batasan dalam berterima kasih. “Kita, sampai kapan pun yang namanya kita berucap terima kasih itu nggak ada batasan-batasannya. Jadinya, sangat luas sekali kita mau berucap terima kasih,” terangnya yang juga seorang seniman.
Dalam pameran ini, karya Wardi memiliki relevansi dengan keadaan yang dirasakan masyarakat. Dari keberingasan manusia kepada alamnya, sampai krisis nasionalisme yang melanda bangsa ini. Menurut Benny, karya Wardi memiliki sifat kritis, nasionalis, walau pun belum sempat berbicara solusi, dan penuh gairah sebagai seorang aktivis yang peka terhadap lingkungannya.
“Karyanya cenderung mengkritisi meski pun belum sempat bicara solusi, tapi Wardi peka dengan lingkungan yang sekarang ini. Minimal lingkungan yang di dekat dia. Khususnya kota Jogja,” kata Benny yang juga pendidik di SD Negeri 1 Lempuyangan ini.
Wardi berusaha menyampaikan atau mengkomunikasikan apa yang diunek-uneknya masyarakat. Meskipun dari pengakuan Wardi kepada Benny bahwa kadang omongannya, gambar-gambarnya, serta puisi-puisinya tidak didengar oleh orang-orang di sana. Setidaknya Wardi sudah ngomong, dia lega.
“Ya, memang kenyataannya, orang-orang penting berbicarapun belum tentu didengar. Nah ini kita kaum-kaum perupa , seniman-seniman, kita tidak berbicara, kita bisanya hanya lewat karya. Semoga itu juga punya efek samping, kita mempunyai perubahan-perubahan seperti tujuannya pak Wardi,” tambahnya.
Beberapa karya yang dipamerkan tidak berjudul, karena Benny, teman-teman Wardi, dan istri almarhum juga tidak tahu judulnya. Sementara di balik karya Wardi juga belum ada identitas karyanya. Bahkan terdapat goresan yang belum selesai. Karya tersebut direncanakan untuk Lempuyangan Art Word pada bulan Mei mendatang.
Benny dan temannya berharap, terselenggaranya acara ini dapat bermanfaat untuk semuanya. Entah itu secara psikologis untuk memotivasi teman-teman, atau secara fisik, yakni mengkritisi, tapi ada tepo seliro–nya. Wardi Bajang merupakan sosok kritikus yang mengutamakan perdamaian. Caranya dalam mengkritik selalu dia jaga agar tidak menciptakan konflik atau bahkan menyakiti orang lain.
“Karena banyak kriktik, tapi kadang-kadang malah bikin berantem. Wardi itu ngritik, tapi dia tahu batasan ngritik dan tidak sampai berantem. Dia menyampaikan unek-uneknya,” jelasnya.
Sosok Wardi Bajang
Wardi Bajang merupakan seniman dengan ciri khasnya yang njawani. Meski pun penampilannya sangar, banyak tato, dan bertindik, tapi tindak tunduknya sangat memiliki sopan santun. Benny menceritakan bahwa almarhum adalah seorang Javanist Art yang sangat menjaga kejawaannya.
Dia pernah menyatakan bahwa sekaya kayanya seseorang, setinggi tingginya pangkat, jika orang Jogja, jangan sampai hilang Jawanya. Dengan Benny, dia selalu menggunakan bahasa krama inggil. Tidak pernah menggunakan bahasa Jawa kasar. Bahkan dengan teman senimannya almarhum sun (cium) tangan. “Bahkan kepada sesama seniman, dia sun tangan. Biasanya seniman kan cuek-cuek,” terangnya.
Sedangkan bagi Novan, almarhum adalah seorang seniman nyang merakyat, merdesa, dan nasionalis. Merdesa adalah sebuah ungkapan Wardi Bajang yang selalu diingat Novan, yang memiliki makna merdeka di desa ketimbang di kota yang hiruk pikuknya sangat padat, yang lebih kepopulasi alam, yang mana itu menjadi kekhawatiran almarhum juga. “Belakangan beliau sangat share dan konservasi kealam,” Novan mengenang.
Keunikan lain dari Wardi Bajang bisa dilihat dari karyanya. Lukisan Wardi tidak terbatas pada kanvas sebagai medianya. Dia kerap menggunakan kawat, kayu, besi, dalam mengekspresikan idenya. Bahkan terdapat lukisan yang berkanvas kain goni.
Benny menjelaskan orientasi dan ketidakterbatasan Wardi dalam berkarya. Visi dan misi Wardi untuk berkarya arahnya pada nasionalisme. “Jika ada ketidakmapanan di republik ini, Wardi Bajang peka. Meskipun dia jika membuat karya semaunya sendiri. Wesi, ya tempel wesi, kayu, ya tempel kayu. Pokoknya seadanya dia dan dia merasa nikmat di situ.”
Senada dengan Benny, Novan meceritakan karakter Wardi sebagai seniman murni tidak begitu memikirkan media. Namun bagaimana almarhum bisa menuangkan kegelisahan dan kerisauannya sehingga menjadi sebuah karya yang memonumental yang bisa menjadi acuan publik luas. “Medianya seperti apa tidak terbatas. Tapi bagaimana dia bisa mengolah gagasannya menjadi sebuah karya,” jelas Novan yang juga sempat berkolaborasi melukis dengan almarhum.
Menurut Aan (25), salah seorang pengunjung pameran mengaku dari pameran tersebut dia mendapatkan pesan dari segi media meskipun tidak terbatas menggunakn kanvas, melainkan juga menggunakan media lain. “Tidak terikat pada medianya, kanvas tapi memanfaatkan media lain,” jelas mahasisawa jurusan Pendidikan Seni IKIP Yogyakarta yang sudah di semester akhir ini.
Magang: Syakirun Niam
Redaktur: Isma Swastiningrum