Oleh: M. Wildan Sidqi P*
Jatuhnya Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret ini merupakan bentuk apresiasi terhadap kaum perempuan dalam upayanya meraih persamaan hak dan kesetaraan. Hal inilah yang menjadikan PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) pada tahun 1978 menetapkannya sebagai hari peringatan kepada kaum perempuan secara internasional. Tiga tahun sebelumnya, PBB sudah menetapkan tahun 1975 sebagai Tahun Perempuan (women’s year) dan bulan Maret sebagai Bulan Perempuan.
Penetapan 8 Maret ini bukan tanpa titik berangkat. Menilik pada 159 tahun lalu, ketika dunia mulai memasuki era ekonomi liberal dan industrialisasi, para pekerja benar-benar diperas tenaganya dengan upah yang minim. Terlebih bagi pekerja perempuan, dengan jam kerja yang lebih panjang tak sebanding dengan upah yang diberikan. Sementara pekerja laki-laki dengan jam yang sama mendapatkan upah yang lebih baik. Tentu hal ini menyulut gelombang protes besar-besaran yang dilakukan pekerja perempuan untuk menuntut persamaan dan perlakuan adil yang dilakukan pada 8 Maret 1857. Namun jauh panggang dari api, aksi tersebut terhenti oleh polisi yang membubarkan massa dengan cara represif. Akibatnya ratusan nyawa demonstran yang keseluruhan perempuan melayang.
Pun yang terjadi pada tahun 1911 di tanggal yang sama, dengan tragedi kebakaran di pabrik pakaian Triangle Shirtwaist, New York, Amerika Serikat. Selain membumi-hanguskan bangunan dan properti yang ada, 140 nyawa juga menjadi korban yang semuanya merupakan pekerja perempuan. Di Indonesia sendiri, apresiasi perjuangan perempuan juga diperingati pada 20 April, sebagai hari lahir R.A. Kartini, pejuang emansipasi Indonesia. Hal ini semakin memperkaya tonggak pengangkatan derajat perempuan.
Perjuangan perempuan dalam upaya menuntut persamaan hak dan kesetaraan gender selalu terhalang oleh tembok berlapis. Sejarah kehidupan sosial tidak terlepas dari pembagian peran stereotipe perempuan dan laki-laki. Pembagian ini bermula ketika dimulainya era industrialisasi dan peperangan. Aspek-aspek seperti sosial, budaya, ekonomi, bahkan agama yang seharusnya menyediakan ladang ekspresi yang sama antar gender malah jauh dari harapan. Alih-alih mendapat porsi yang sama, bias gender malah kian terasa.
Saat ini, perjuangan perempuan dalam penegakkan kesetaraan ini menunjukkan adanya desegregasi gender di segala aspek kehidupan. Termasuk dalam memperjuangkan hak pendidikan bagi perempuan yang getol diperjuangkan R. A. Kartini dahulu. Pun dengan porsi akses yang sama dalam bersuara di ruang publik. Hal ini bermuara pada eksistensi perempuan dalam peranannya di keluarga dan masyarakat. Sekarang sudah dapat dilihat bagaimana eksistensi perempuan di ruang publik yang sebelumnya hanya dikuasai oleh laki-laki. Seperti pegawai negeri/swasta, dokter, menteri, hingga presiden sudah diperankan oleh perempuan khususnya di Indonesia.
Lantas bagaimana dengan perempuan yang lebih nyaman berperan sebagai ibu rumah tangga ketimbang di ranah publik? Apakah masih bisa dikatakan bahwa perempuan yang berperan sebagai ibu rumah tangga itu tidak memanfaatkan peluang untuk bersuara di ruang publik?
Hal ini kembali kepada eksistensi dari masing-masing perempuan. Ada yang menemukan eksistensinya ketika hanya memasak, menjahit, dan mengurus keluarga. Pun ada yang lebih nyaman ketika bersuara di ruang publik. Semuanya sama-sama mengarah pada kebaikan ketika telah menempatkan kenyamanannya pada ranah eksistensi masing-masing.
Memaknai Hari Perempuan sedunia sebagai penyuaraan kesetaraan adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak. Karena kesetaraan pada dasarnya melekat dalam setiap individu. Dengan dibarengi hak asasi sebagai hak untuk bebas berekspresi, mengembangkan diri, jiwa yang merdeka, dan dihormati. Sudah sewajarnya dalam membangun peradaban yang lebih mumpuni dan sejahtera, dibutuhkan kerjasama dan sumbangsih gagasan serta tenaga dalam porsi yang sama.
Langit yang cerah pun terbentuk atas kerjasama pancaran matahari yang hangat dengan gugusan awan yang bersahabat. Selamat Hari Perempuan Sedunia bagi semua perempuan terkhusus ibu!
*Penulis mahasiswa jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga.