Home - Hari Perempuan

Hari Perempuan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Jamaludin A.

Ini Hari Perempuan sedunia, Internatinal Women’s Day bahasa kerennya. Akun teman dan situs yang saya ikuti mengingatkan itu. Pagi-pagi di beranda fesbuk saya sudah tertempel pamflet, hari ini akan ada aksi bersama: jalan bareng sepanjang Malioboro. Bentuk perayaan yang bagi sebagian orang mungkin janggal.

Orang punya caranya masing-masing merayakan Hari Perempuan. Tapi bagi saya di Jogja memang unik. Punya pandangan lain atas identitas perempuan. Atau kalau tak hendak mengeneralkan, ada kelompok yang punya pandangan lain atas perempuan. Entah kalau di kota lain.

Unik karena sejauh yang saya tahu, pemahaman identitas kita kental akan atribut suku dan agama. Sehingga tidak sedikit juga yang memandang perempuan dalam konteks ini. Dalam kebudayaan Jawa, perempuan adalah manusia kelas dua. Ini tak berbeda dalam agama (setidaknya Islam lah) yang menempatkan posisi perempuan di bawah keluarga dan suami.

Sebenarnya tak cuma untuk perempuan. Identitas ke-Indonesia-an kita juga dikonstruksi dalam dua kategori ini. Contoh mudahnya adalah kolom agama dan status di Kartu Tanda Penduduk. Fakta gamblang tersebut menjadi penanda konkret bahwa orang kita selalu (dipaksa) memandang identitas dalam kategori tersebut.

Itulah kenapa, saya lihat kita ini semangat sekali jika soal agama. Ada yang Ahmadiyah, bakar. Rok mini dikutuk. Tulisan arab dianggap suci. Seolah-olah tanpa itu semua kita akan menderita hidup di dunia.

Minimnya referensi (serta konstruksi negara) inilah yang membuat identitas perempuan di Indonesia buram, karena ada aspek yang tak terbaca. Salah satunya adalah kelas ekonomi. Aspek kelas itulah yang saya lihat mau dikampanyekan gerakan di Malioboro.

Jika mau sedikit melihat sejarah, gagasan Hari Perempuan idenya dari konteks ekonomi itu. Yakni perjuangan buruh (perkerja/pegawai/karyawan) atas murahnya gaji dan buruknya perlakuan pabrik atasnya. Kita tahu bersama bahwa dulu upah buruh perempuan lebih rendah berbanding laki-laki, bahkan sekarang pun masih ada perusahaan yang menerapkannya.

Kesadaran atas kondisi ini kemudian memicu gerakan protes dari buruh perempuan di barat. Salah satunya adalah gerakan protes buruh tekstil perempuan pada 8 Maret 1857 di New York City. Konteks historis itu yang kemudian dijadikan landasan sebagai Hari Perempuan internasional oleh gerakan feminisme dunia.

Atas inisiatif gerakan di Malioboro saya tidak terlalu yakin akan banyak berdampak. Paling juga cuma kaum terdidik, itu pun tidak semua. Dengan background identitas di atas dan konstruksi kuat negara, aspek identitas satu ini akan terus dipinggirkan.

Di Malioboro nanti, bayangan saya, para perempuan akan berorasi soal hak ekonomi dan kesetaraan. Mereka akan berbusa-busa ngomong melalui corong pengeras suara. Sedang para perempuan pengunjung mall dan toko di Malioboro hanya menoleh sebentar tanpa melepaskan baju yang hendak dibeli. “Ngomong opo?” batinnya.

Untuk para perempuan yang berjuang, tak perlu terlampau pesimis. Karena justru dalam kondisi semacam inilah gerakan penyadaran itu perlu, bukan.[]