…pikiranmu tidak dibatasi… (cuplikan dialog lakon Neosamting)
Lpmarena.com, Di sebuah galeri seni, dua aktor bernama Min (Wahyu Mukti Asri) dan Plus (Neneng Hanifah Maryam) tengah bercakap-cakap menekuni proses kreatif mereka. Min tengah asyik menggosok batu kecil di tangannya, sedangkan Plus mondar-mandi berpikir dan berceloteh pada Min. Plus kebingungan dengan tanah liat di depannya itu mau dijadikan apa. Plus tengah mencari sesuatu yang baru.
Adegan yang mengajak penonton berpikir ini merupakan bagian dari pertunjukkan terakhir Pentas Tiga Bayangan Teater Eska berjudul “Neosamting: Blues Tanpa Minor Harmonik” di Gelanggang Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, 2 April 2016. Pentas reportoar ini menjadi penutup yang merangkum dua pentas sebelumnya Jamais Vu dan Persoalan Hidup dan Beberapa Pertanyaan Payah.
Naskah Neosamting (Blues Tanpa Minor Harmonik) ditulis oleh sutradaranya langsung, Muhamad Saleh. Naskah dibuat Saleh dalam waktu dua minggu. Terinspirasi dari hobinya menonton film, salah satunya film Da Vinci, juga terinspirasi dari tetralogi Pramoedya Ananta Toer. “Terinspirasi dari Pram dan Utuy juga. Aku kan nulisnya dari bentuk, berpikir bentuknya, trus ini kata-kata yang cocok apa ya? Baru aku carikan dialognya,” ujar Saleh.
Naskah ini bercerita tentang tokoh Plus dan Min yang memiliki sifat berlawanan. Plus sangat berambisi menemukan hal yang baru dalam karyanya. Berhari-hari, bertahun-tahun, waktunya hanya habis untuk berpikir demi menemukan kebaruan. Hingga ia tak menghasilkan apa-apa. Sedangkan Min, ia terus bekerja dan menghasilkan karya meski itu tidak baru. “Sebenarnya Plus ini cuma berpikir, berpikir, berpikir terus untuk menemukan yang baru. Kalau yang Min, ya continue aja mengerjakan yang ia tekuni,” kata Saleh.
Hal ini ditangkap senada oleh Havid Anshori selaku penonton yang berujar pentas ini memperlihatkan dua sifat yang berbeda. “Satunya ayo realistis, satunya ayo mengkhayal,” kata Havid.
Kalau dikerucutkan ke seni, Saleh menjelaskan dalam seni rupa semua bentuk sudah banyak. Kalau ditujukan ke musik, semua aliran musik sudah ada. Bahkan yang tidak pakai kunci pun ada. “Mau buat bentuk kayak apa lagi? Yang baru itu seperti apa sih? Sebenarnya cuma kombinasi-kombinasi yang ada di bumi,” tutur Saleh.
Yang dilakukan Plus, ia tidak mau mengikuti jejak orang lain, ia ingin suatu perbedaan. Seperti yang dikatakan Min pada Plus: “Sebab kamu diam”, yang dimaksud diam bagi Saleh bukan diam tidak berpikir atau tidak berimajinasi atau tidak melakukan sesuatu hal. Imajinasi diam inilah yang dikritik oleh Min.
“Manusia mempunyai imajinasi, tapi nggak imajinasi yang kayak gini,” ucap Wahyu, pemain Min. Imajinasi yang dimaksud Wahyu adalah menekuni sesuatu hal yang ia bisa, sehingga menggali dan menghasilkan apa yang dia mau.
Hal yang ingin disampaikan Saleh, ia berujar dalam lakon ini orang bisa mengartikan dua hal. Pertama, yang baru itu memang tidak ada. Kedua, tentang ajakan untuk tidak mandeg. “Apa sih yang baru di muka bumi? tidak ada. Trus untuk orang yang benar-benar konsisten melakukan sesuatu hal, ia akan menghasilkan,” tutur sutradara asal Sumenep, Madura ini.
Di adegan penutup, kesia-siaan Plus yang tak mengasilkan apapun, ditutup dengan adegan surealis saat Plus berdiri mematung di tembok galeri dan Min melaburi tubuh Plus dengan cat. Plus tak bergerak, lalu pasrah. Sebagai simbol, Plus telah menghabiskan waktunya dengan sia-sia.
Reporter dan Redaktu: Isma Swastiningrum