Oleh: Anisatul Umah*
Beberapa waktu setelah membaca buku berjudul Perbudakan Sekual yang ditulis oleh Anna Mariana saya merasakan kengerian nasib budak seks pada masa Jepang (Jugun Ianfu) dan istri tahanan politik zaman Soeharto. Anna menceritakan kondisi perempuan pada masa fasisme Jepang dan neofasisme Orde Baru. Jugun Ianfu berasal dari kata ‘ju’ artinya ikut, ‘gun’ artinya militer, dan ‘fu’ artinya perempuan, sehingga memiliki arti perempuan penghibur yang ikut militer.
Perempuan Jugun Ianfu dimanfaatkan tentara Jepang untuk memenuhi hasrat seksualnya selama perang. Perempuan-perempuan Jugun Ianfu didapatkan dengan menculik perempuan-perempuan muda dan dipaksa melayani seks tentara Jepang. Selain dengan penculikan perempuan Jugun Ianfu juga didapatkan dengan menipu perempuan muda untuk mendapatkan pekerjaan sehingga keluarga mereka melepaskan anak perempuan dengan harapan anak mereka bekerja, namun kenyataanya anak-anak perempuan mereka dijadikan budak seks.
Perempuan Jugun Ianfu setiap hari harus memberikan pelayanan seksual, bahkan ada yang mencapai 15 kali dalam sehari. Kekerasan seksual yang jelas sangat menyiksa fisik dan batin para perempuan Jugun Ianfu. Penderitaan mereka tidak berhenti di situ terkadang mereka harus memberikan pelayanan seksual tanpa dinding pembatas satu sama lain sehingga mereka bisa saling melihat hubungan seksual antar tentara dan Jugun Ianfu. Perlakuan tidak manusiawi mereka alami setiap hari ketika truk-truk para tentara datang kemudian para tentara berlarian dan langsung memperkosa para perempuan Jugun Ianfu.
Penyiksaan demi penyiksaan seksual dialami perempuan Jugun Ianfu, seperti salah satu pengakuan perempuan eks Jugun Ianfu yang pernah menjadi budak seks berlokasi di Sukabumi, Jawa Barat tepatnya di Gedung Kipers. Tubuh perempuan dieksploitasi secara fisik dan ekonomi. Keruagian secara ekonomi karena perempuan Jugun Ianfu dijadikan pendukung kebutuhan logistik tentara Jepang tanpa upah sama sekali. Setelah mereka menjadi budak seks, beberapa di antaranya tidak dapat memiliki keturunan karena kandungan mereka rusak. Bahkan ada beberapa yang rahim mereka harus diangkat.
Selain Jugun Ianfu, nasib serupa juga dialami perempuan istri tahanan politik (tapol) pada zaman Soeharto. Perempuan istri Tapol pada tahun 1965 mendapatkan teror seksual sejak suami mereka ditahan. Stigma yang dibuat oleh negara atas komunis menjadi semacam upaya pemukulan komunis sebagai musuh negara. Masyarakat pada umumnya mengamini stigma tapol adalah musuh negara sehingga masyarakat mendiskreditkan tapol dan keluarganya.
Di zaman Soekarno gerakan perempuan sangat progresif, terbukti dengan kesetaraan yang mereka dapatkan dalam berpolitik, bekerja, dan berpendidikan. Namun pasca G30S gerakan mereka menumpul karena para aktvis kiri ini dijadikan tapol dan dilemahkan secara organisasi. Melemahnya gerakan perempuan menjadikan mereka semakin tidak memiliki ruang untuk bersuara karena eksistensi mereka sudah dicerabut oleh militer.
Pelemahan perempuan pada masa Soeharto salah satunya adalah dengan melarang semua penerbitan, keuali media yang berafiliasi dengan militer. Berangkat dari hal ini maka wacana yang digulirkan media tentu akan sesuai dengan permintaan militer. Doktrin yang gencar pada masa Soeharto menjadikan masyarakatkan mengiyakan semua pengaburan dan pencitraan yang dilakukan militer. Sehingga berakibat pada stigma PKI dan perempuan korban kekerasan seksual yang dilabeli sebagai perempuan pelacur dan musuh negara.
Penderitaan perempuan eks Jugun Ianfu dan istri tapol masih berlanjut sampai sekarang, stigma masyarakat dan kurangnya perhatian hukum bagi mereka menjadikan penderitaan eks Jugun Ianfu dan perempuan istri tapol pada zaman Soeharto belum selesai. Hukum kurang memiliki perhatian atas perempuan korban budak seksual. Penderitaan yang mereka alami seolah tidak ada habisnya sampai ujung hayat. Selain sejarah penderitaan mereka kurang diwacanakan, negara pun tidak bertanggungjawab atas stigma yang dialaminya sampai hari ini.
Perempuan lebih rentan mendapatkan kekerasan dalam masa perang melalui eksploitasi seksual, ditambah lagi budaya patriarki yang dianut negara kita. Pola pikir patriarki ini semakin menyudutkan para perempuan korban seksual dan korban stigmatisasi masyarakat. Stigmatisasi masyarakat atas mereka menjadikan perempuan enggan untuk membuka kasus ini dan menceritakan kondisi objektif penderitaan yang mereka alami pada masanya.
Para perempuan takut menceritakan penderitaan yang mereka alami karena mendapatkan revictimisasi, mulai dari penderitaan psikologis, penderitaan fisik, dan penderitaan subordinasi dari masyrakat yang dialamatkan pada mereka. Dalam hal ini negara semestinya tidak mengaburkan sejarah penderitaan-penderitaan perempuan yang dialami perempuan korban kekerasan seksual yang sangat merugikan perempuan.
***
April dan perempuan akan melahirkan satu nama Kartini, nama Kartini selalu terlintas ketika membicarakan perempuan, di mana hari kelahirannya setiap tahun diperingati dengan berkebaya pada tanggal 21 April untuk mengenang jasa-jasanya dalam dunia pendidikan. Bahkan sejak saya duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK) cerita-cerita tentang Kartini dan usahanya dalam memperjuangkan hak perempuan untuk berpendidikan sudah saya dapatkan, tapi sejarah tentang perempuan Jugun Ianfu dan perempuan istri tapol tidak pernah saya dapatkan sampai SMA. Sejarah yang saya dapatkan adalah sejarah yang mengatakan bahwa PKI musuh negara, ateis, dan melakukan penyiksaan kepada jendral bersama Gerwani. Selama sekolah saya didoktrin untuk membenci PKI dan kroninya.
Hal ini menandakan bahwa memang ada sejarah yang diburamkan dan ada sejarah yang lebih didominankan. Permasalahan yang menimpa perempuan tidak semata-mata masalah pendidikan, untuk sekarang saya rasa hak perempuan untuk berpendidikan sudah diberikan, meskipun masih ada sebagian yang belum mendapatkan haknya. Namun, pada kenyataannya negara sudah mempersilahkan kita untuk sekolah setinggi-tingginya tanpa membedakan laki-laki dan perempuan. Iki low nasibe perempuan eks Jugun Ianfu karo istri tapol zaman Soeharto diperhatikan. Mesakke, menderita sampai ujung hayat mereka.
Saya rasa semua orang akan mendambakan keadilan seperti filsuf yang mendambakan kebijaksanaan. Begitu juga degan perempuan eks Jugun Ianfu dan istri tapol. Mereka pasti menginginkan pembenaran sejarah untuk mencabut stigma yang dialamatkan pada mereka. Kartini memang dianggap super hero bagi hak pendidikan perempuan, oke tidak masalah kalau akan selalu diperingati, tapi plis jangan lupakan nasib buruk para perempuan korban budak seks yang masih mengalami mimpi buruk sampai sekarang. Meminjam istilahnya Pram kaum terpelajar harus adil sejak dalam pikiran.
Daftar Pustaka : Mariana, Anna, Perbudakan Seksual (Perbandingan Antara Masa Fasisme Jepang dan Neofasisme Orde Baru), Serpong : Margin Kiri, 2015.
*Penulis mahasiswi jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga.